Senin, 30 September 2013

Bisa Jadi Sad Ending


Hem. Untuk kesekian kalinya aku berdehem. Ini bukan kode keras, melainkan tanda akut kalau tenggorokanku sudah kering. Sudah tiga jam mungkin bila tidak keliru. Pasalnya, aku sudah tak pandai menghitung apalagi memperkirakan jangka waktu. Sejak kapan? Sejak mengenalmu. Tapi, kapan itu? Sudah kubilang, sejak mengenalmu waktu mengalir begitu saja. Lebih tepatnya, waktuku mengalir dan sekarang bermuara entah ke mana.
            Bisa saja kusempatkan diriku meninggalkan tempat ini untuk membeli minum bahkan pulang untuk mandi dan beristirahat agar besoknya, kembali aku bisa menunggumu di tempat ini atau bisa jadi di tempat lain. Tapi, aku butuh untuk melihatmu agar malam ini aku bisa tidur dan tersenyum sebelum memejamkan mata, dan bukan setelahnya. Andaikan saja ada yang pandai menyampaikan sebuah maksud, aku berharap sesuatu itu menerobos apa saja entah tembok beton atau bahkan jalanan beraspal. Bisa saja, sekarang, siang ini, sosoknya sudah hadir di hadapanku, sejak dua jam yang lalu. Sekarang aku berdiri sambil mengutuk diriku sendiri yang terbiasa berucap andai saja dan bisa saja, padahal aku paham betul bahwasanya kata-kata seperti itu hanya memberatkan langkah dan meringankan beban akal atas beberapa pertimbangan.
            Sambil memainkan gagang pintu, aku melemparkan pandangan ke berbagai arah sampai pada akhirnya pandanganku kembali pada gagang pintu keemasan itu. Lelah juga kakiku ini, merindukan nyamannya duduk namun rasaku jauh lebih merindu. Kulihat sudut pintu sudah mulai terkikis oleh rayap. Mungkin tempat ini sudah tua atau kualitas kayunya yang kurang bagus, atau yang lebih mungkinnya lagi kepekaanku akan segala sesuatunya mengalami stagnasi dan fokusku hanya pada keberadaannya. Maksudku, keegoisanku untuk mengetahui keberadaannya tanpa dia sadar akan keberadaanku.
            Bosan untuk menyidik ke berbagai arah, sejenak kutundukkan kepala. Rasanya lelah juga. Sesekali kuketuk-ketukkan ujung sepatuku ke lantai agar tak memberi kesempatan pada kesemutan untuk mengikis kemampuan menungguku. Kadang pula kulangkahkan kakiku ke kiri kemudian ke kanan, ke belakang lalu kembali ke depan. Tidak akan kubiarkan kakiku melangkah terlalu jauh, sampai pada akhirnya aku melangkah pergi dan tak tahu kembali. Pernah suatu hari langkahku kumundurkan jauh ke belakang. Dan pada saat yang sama, dia datang dari arahku mundur. Menyesal sudah pasti. Karena kesukaanku adalah menyambutnya di depan pintu, bukan melihatnya melewati pintu.
            Tuhan, apakah kau tak merasa kehilangan salah satu dewa langitmu? Lihatlah dia, sangat bersahaja. Segala sesuatu adalah kelebihan pada dirinya. Tapi, dia benar bukan dewa langit kan, Tuhan? Buktinya dia tak pernah peka akan kehadiranku di ambang pintu, di hari senin sampai jumat. Dia tak pernah sadar akan langkah yang berat untuk melangkah pergi ataupun kembali, dan juga tak pernah bisa menghargai lelahku demi pertunjukan yang hanya kunikmati barang satu-dua detik.
            Ketika semua orang datang dan pergi, ada untuk eksis. Aku hanya bisa menunggu dan tak pernah bisa menciptakan kehidupanku sendiri. Rasaku bermain dan menari-nari di atas awan dan kabarnya tak menemukan jalan untuk turun ke bumi. Dan ketika air hujan menyertai harapan itu, dengan cepat tanah tandus menyerapnya tanpa ampun. Kemarau di hatiku sepertinya memiliki periode yang panjang tahun ini.
            Mataku teduh, jauh ke dalam lensanya menampilkan pertunjukan melow drama. Pertunjukan yang takkan pernah terlupakan sepanjang masa dengan penonton terbanyak namun pemainnya hanya aku dan dirinya. Tidak ada pemeran pembantu ataupun aktor dan aktris pendukung, pigurannya pun tidak jelas apakah ada atau tidak ada. Ditambah lagi dengan sudut pandang yang tidak pariatif, hanya ada sudut pandang orang pertama. Di mana tokoh utama dalam skenario itu tidak memberikan kesempatan kepada tokoh selain dirinya untuk bercerita. Dia terus bercerita dan tanpa dia sadari, ceritanya tak berhenti di antiklimaks apalagi memiliki penyelesaian. Berhenti di klimaks dan bersambung. Sekarang sang tokoh utama membutuhkan bantuan agar kelak, ceritanya memiliki akhir tak peduli sekalipun itu adalah sad ending.
            Sepertinya aku sudah mati rasa. Atau mungkin rasa ini sudah kadaluarsa? Sesungguhnya sudah lelah juga menambahkan berbagai pengawet ke dalam kisah ini. Tapi sejauh ini akan terus kulanjutkan tak peduli formalin atau boraks, selama hatiku belum jauh terinfeksi berbagai macam bakteri, akan terus kulanjutkan. Tidak akan menyenangkan hidup ini tanpa rasa cinta yang diciptakan oleh pemilik cinta itu sendiri. Pertanyaannya, sampai kapan aku menikmati rasa yang hanya kunikmati sendiri, dengan caraku sendiri.
            Sungguh tak pandai diriku ini membuat keputusan. Sudah berjam-jam kakiku menapaki bumi dengan atmosfer yang tidak bersahabat. Tidak ada bau parfum bermerk yang tak pernah kuketahui wujud, harga, kemasan dan yang lainnya. Yang kukenali hanya aromanya. Tidak ada pribadi bersahaja, tenang dan menyenangkan. Yang kusadari, sosoknya memang benar tak menghirup oksigen yang sama denganku di ruangan ini. Apakah ini akhir? Sad ending atau sejenisnya? Untuk sementara akan kusimpan pertanyaanku itu untuk diriku sendiri. Kutabahkan hatiku, kurapikan lembaran-lembaran yang menjadi tujuan awalku. Tujuan awal untuk menanyakan beberapa soal sekolah di tempat les privat dan tujuan utama untuk bertemu dengan seorang tentor favorit adalah bukan hal yang buruk. Tapi, kupikir ini buruk. Karena ini hari kamis dan dia tidak datang di sebuah ruangan yang seharusnya dia datangi bila dia benar-benar datang.
            Merasa tak pantas berlama-lama di tempat umum dengan seragam putih-abu, kuputuskan untuk melangkah dengan resiko malamnya tak bisa tersenyum sebelum memejamkan mata. Tapi sepertinya itu lebih manusiawi daripada menunggu berlama-lama dengan rasa yang sudah kadaluarsa. Aku pulang. Dia tidak datang!
            Makassar, 26 september 2013
Makasih rivalku J

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar