Angin
berhembus kencang namun hanya sesaat, membuat rambut hitamku yang terurai
menutupi wajah yang terlihat pucat pasih. Orang-orang berdatangan, mengambil
jamuan dan memasuki sebuah ruangan. Ini terlihat seperti resepsi pernikahan.
Sebagian kecil dari mereka adalah temanku. Iya, aku masih bisa menegenali
mereka namun langkahku berat untuk menghampiri. Pandanganku yang semula terpaku
pada seseorang berkebaya merah dengan dalaman putih beralih mencari suara yang
entah datangnya dari mana. Mungkin karena terlalu lama melamun, aku tidak
menyadari seseorang berdiri di sebelahku. Mungkin dari tadi atau baru saja aku
juga tidak terlalu mengerti dan ragu untuk menerkanya lebih lanjut.
Angin kembali berhembus namun kali ini hempasannya sangat
lembut. Samar-samar aku mengenali sosok laki-laki di sebelahku ini, sepertinya
usianya satu tahun di atasku dan, dan dia adalah kekasihku yang entah mengapa
sangat aku rindukan. Kakiku seakan kaku untuk melangkah, yang terlihat kini
hanyalah wajah yang sangat kurindukan, wajahnya dengan senyum yang sangat
hangat. Aku menatapnya sangat lama sampai seseorang memanggilku dari kejauhan.
Pandanganku kupalingkan begitu saja mencari suara yang memanggil namaku
berulang-ulang dan sangat lantang. Dia iman, sepupuku. Dia menarik tanganku
begitu saja. Hei, apa dia tidak melihatku bersama kekasihku yang sangat
kurindukan itu, tidak seharusnya aku pergi tanpa mengajak ataupun
meninggalkannya begitu saja.
‘Iman, di situ ada Ihsan. Kenapa kau mengajakku pergi?’.
Kataku dengan tergesah-gesah. Aku heran, tidak seharusnya dia seperti itu
karena dia tahu betul tentang hubungan kami. Dan mereka bersahabat sudah sangat
lama. Dia mengabaikanku, tidak meresponku sedikit pun. Hanya menatap heran lalu
kembali menarikku.
‘apa yang kau lakukan di tempat itu sendiri, acara akad
nikah sudah akan di mulai, ayo kita masuk’.
Mungkin karena terlalu lama berbalik, aku tidak
mendengarnya pamit lalu meningalkanku di tempat itu.
Heran masih terpampang di wajahku, aku mendatangi sebuah
resepsi pernikahan tapi sejauh mata memandang dan menerawang tak terlihat
sepasang calon pengantin pun. Tapi mengapa hanya aku yang heran di tempat ini,
sementara yang lain masih terlihat biasa dan bersikap sewajarnya. Aku duduk di
sebuah kursi plastik yang terlihat mengkilat, mungkin masih baru dengan baunya
yang khas. Tiba-tiba seseorang menggenggam tanganku sangat erat, aku menoleh
dan melihat Ihsan duduk di sebelahku, senyumnya masih hangat. Dia berbisik
sangat lirih ‘aku menyayangimu’. Aku tersenyum simpul, tanpa harus kukeluarkan
sepatah kata pun seharusnya dia sudah tahu tanggapanku.
‘calon pengantinnya mana ya? Dari tadi aku tidak
melihatnya’. Kembali kupertanyakan karena kulihat sebentar lagi acara akan
berakhir, ditutup dengan acara pengabadian beberapa potret. Kulihat mereka
secara berombongan dipotret, bergantian dan sangat meriah. Tapi masih dengan
tanpa calon pengantin yang mungkin sudah resmi menjadi sepasang suami istri.
‘calon pengantinnya ada di sini sayang, di tempat kita
duduk sekarang. Kita adalah sepasang calon pengantin yang sangat bahagia, kau
tahu itu kan?’. Jawabnya masih dengan binar mata yang memancarkan sejuta
harapan dan kebahagiaan yang mungkin tersimpan jauh di relung hati berwujud
keinginan, tangannya masih menggenggam hangat tanganku.
Seseorang tiba-tiba membuyarkan senyumku. Iman mengajak
untuk pulang. Katanya acara sudah selesai. Aku dan kekasihku berjalan
beriringan sambil bergandengan tangan dan sesekali dia merangkul, mendekapku
dan berbisik aku merindukanmu. Sungguh aku sangat bahagia, seakan-akan
kekosongan yang selama ini telah terbiasa terisi kembali. Kami kembali berjalan
bergandengan tangan melewati sebuah pagar besi dengan cat merah marun yang
sudah terkelupas. Mungkin tempat ini sudah tua.
‘tidak bisakah kau lebih cepat lagi berjalan, sebentar
lagi matahari tenggelam. Cepat naiklah ke atas motor. Kata Iman menawarkan
boncengan’. Semuanya melihat ke arahku, aku baru sadar ternyata dari tadi kami
berjalan berombongan. Beberapa orang sudah siap di atas motor dengan mesin
motor yang sudah dinyalakan dan sebagiannya lagi sudah berdiri di dekat motor,
menaiki motor untuk dibonceng. Sementara aku masih berdiri di dekat pagar besi
tua dengan cat merah marun yang terkelupas itu, kulihat Ihsan masih menggenggam
tanganku. Apakah tadi kami datang
berbonceng-boncengan? kenapa aku tidak ingat?
‘ayo naik!’ katanya kembali memerintahkan.
‘tidak, aku bareng Ihsan saja’.
Kulihat tatapan heran itu lagi, kurasakan kakiku
melangkah mendatangi sebuah motor yang ada di hadapanku. Kutahu Ihsan yang akan
mengantarku pulang dan Iman tidak akan keberatan. Aku memeluk erat punggung
itu, punggung yang entah kenapa sangat kurindukan. Kurasakan diriku terlelap
sebentar dan seseorang menginterupsiku untuk turun. Aku turun dan sekali lagi
aku ingin menatap wajah itu dalam-dalam.
‘Iman? Ihsan mana? Seharusnya dia yang mengantarku
pulang? Ke mana dia? Padahal tadi dia menghampiriku, duduk di sebelahku,
menggenggam tanganku, merangkul, mendekap dan ... dan mengatakan dia
merindukanku. Kata-kata terakhirku mengusik ketenangan yang beberapa waktu aku
dapatkan kembali. Semua pertanyaanku terjawab olehku sendiri. Kurasakan kembali
angin berhembus, sangat lembut, lebih lembut melebihi ketika kudapati dia berdiri di sampingku.
Perlahan kubuka mataku, aku menangis. Dinginnya subuh seakan mengiris
harapan-harapanku, harapan untuk kembali bertemu dan memeluk punggungnya.
Kulihat kalender di atas meja, hari ini sebelas Mei. Tanggal yang dua tahu
terakhir ini sering kuberi tanda melingkar berbentuk hati, karena seharusnya di
tanggal itu dia datang melamarku. Dan dua tahun belakangan ini aku selalu
memimpikan hal yang sama di tanggal yang sama, dan setelah bangun aku akan
melakukan hal yang sama pula yaitu mengunjungi pusaranya.
Makassar, 11 Mei
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar