Jumat, 20 September 2013

Bersama Angin Subuh



Angin berhembus kencang namun hanya sesaat, membuat rambut hitamku yang terurai menutupi wajah yang terlihat pucat pasih. Orang-orang berdatangan, mengambil jamuan dan memasuki sebuah ruangan. Ini terlihat seperti resepsi pernikahan. Sebagian kecil dari mereka adalah temanku. Iya, aku masih bisa menegenali mereka namun langkahku berat untuk menghampiri. Pandanganku yang semula terpaku pada seseorang berkebaya merah dengan dalaman putih beralih mencari suara yang entah datangnya dari mana. Mungkin karena terlalu lama melamun, aku tidak menyadari seseorang berdiri di sebelahku. Mungkin dari tadi atau baru saja aku juga tidak terlalu mengerti dan ragu untuk menerkanya lebih lanjut.
            Angin kembali berhembus namun kali ini hempasannya sangat lembut. Samar-samar aku mengenali sosok laki-laki di sebelahku ini, sepertinya usianya satu tahun di atasku dan, dan dia adalah kekasihku yang entah mengapa sangat aku rindukan. Kakiku seakan kaku untuk melangkah, yang terlihat kini hanyalah wajah yang sangat kurindukan, wajahnya dengan senyum yang sangat hangat. Aku menatapnya sangat lama sampai seseorang memanggilku dari kejauhan. Pandanganku kupalingkan begitu saja mencari suara yang memanggil namaku berulang-ulang dan sangat lantang. Dia iman, sepupuku. Dia menarik tanganku begitu saja. Hei, apa dia tidak melihatku bersama kekasihku yang sangat kurindukan itu, tidak seharusnya aku pergi tanpa mengajak ataupun meninggalkannya begitu saja.
            ‘Iman, di situ ada Ihsan. Kenapa kau mengajakku pergi?’. Kataku dengan tergesah-gesah. Aku heran, tidak seharusnya dia seperti itu karena dia tahu betul tentang hubungan kami. Dan mereka bersahabat sudah sangat lama. Dia mengabaikanku, tidak meresponku sedikit pun. Hanya menatap heran lalu kembali menarikku.
            ‘apa yang kau lakukan di tempat itu sendiri, acara akad nikah sudah akan di mulai, ayo kita masuk’.
            Mungkin karena terlalu lama berbalik, aku tidak mendengarnya pamit lalu meningalkanku di tempat itu.
            Heran masih terpampang di wajahku, aku mendatangi sebuah resepsi pernikahan tapi sejauh mata memandang dan menerawang tak terlihat sepasang calon pengantin pun. Tapi mengapa hanya aku yang heran di tempat ini, sementara yang lain masih terlihat biasa dan bersikap sewajarnya. Aku duduk di sebuah kursi plastik yang terlihat mengkilat, mungkin masih baru dengan baunya yang khas. Tiba-tiba seseorang menggenggam tanganku sangat erat, aku menoleh dan melihat Ihsan duduk di sebelahku, senyumnya masih hangat. Dia berbisik sangat lirih ‘aku menyayangimu’. Aku tersenyum simpul, tanpa harus kukeluarkan sepatah kata pun seharusnya dia sudah tahu tanggapanku.
            ‘calon pengantinnya mana ya? Dari tadi aku tidak melihatnya’. Kembali kupertanyakan karena kulihat sebentar lagi acara akan berakhir, ditutup dengan acara pengabadian beberapa potret. Kulihat mereka secara berombongan dipotret, bergantian dan sangat meriah. Tapi masih dengan tanpa calon pengantin yang mungkin sudah resmi menjadi sepasang suami istri.
            ‘calon pengantinnya ada di sini sayang, di tempat kita duduk sekarang. Kita adalah sepasang calon pengantin yang sangat bahagia, kau tahu itu kan?’. Jawabnya masih dengan binar mata yang memancarkan sejuta harapan dan kebahagiaan yang mungkin tersimpan jauh di relung hati berwujud keinginan, tangannya masih menggenggam hangat tanganku.
            Seseorang tiba-tiba membuyarkan senyumku. Iman mengajak untuk pulang. Katanya acara sudah selesai. Aku dan kekasihku berjalan beriringan sambil bergandengan tangan dan sesekali dia merangkul, mendekapku dan berbisik aku merindukanmu. Sungguh aku sangat bahagia, seakan-akan kekosongan yang selama ini telah terbiasa terisi kembali. Kami kembali berjalan bergandengan tangan melewati sebuah pagar besi dengan cat merah marun yang sudah terkelupas. Mungkin tempat ini sudah tua.
            ‘tidak bisakah kau lebih cepat lagi berjalan, sebentar lagi matahari tenggelam. Cepat naiklah ke atas motor. Kata Iman menawarkan boncengan’. Semuanya melihat ke arahku, aku baru sadar ternyata dari tadi kami berjalan berombongan. Beberapa orang sudah siap di atas motor dengan mesin motor yang sudah dinyalakan dan sebagiannya lagi sudah berdiri di dekat motor, menaiki motor untuk dibonceng. Sementara aku masih berdiri di dekat pagar besi tua dengan cat merah marun yang terkelupas itu, kulihat Ihsan masih menggenggam tanganku.  Apakah tadi kami datang berbonceng-boncengan? kenapa aku tidak ingat?
            ‘ayo naik!’ katanya kembali memerintahkan.
            ‘tidak, aku bareng Ihsan saja’.
            Kulihat tatapan heran itu lagi, kurasakan kakiku melangkah mendatangi sebuah motor yang ada di hadapanku. Kutahu Ihsan yang akan mengantarku pulang dan Iman tidak akan keberatan. Aku memeluk erat punggung itu, punggung yang entah kenapa sangat kurindukan. Kurasakan diriku terlelap sebentar dan seseorang menginterupsiku untuk turun. Aku turun dan sekali lagi aku ingin menatap wajah itu dalam-dalam.
            ‘Iman? Ihsan mana? Seharusnya dia yang mengantarku pulang? Ke mana dia? Padahal tadi dia menghampiriku, duduk di sebelahku, menggenggam tanganku, merangkul, mendekap dan ... dan mengatakan dia merindukanku. Kata-kata terakhirku mengusik ketenangan yang beberapa waktu aku dapatkan kembali. Semua pertanyaanku terjawab olehku sendiri. Kurasakan kembali angin berhembus, sangat lembut, lebih lembut melebihi  ketika kudapati dia berdiri di sampingku. Perlahan kubuka mataku, aku menangis. Dinginnya subuh seakan mengiris harapan-harapanku, harapan untuk kembali bertemu dan memeluk punggungnya. Kulihat kalender di atas meja, hari ini sebelas Mei. Tanggal yang dua tahu terakhir ini sering kuberi tanda melingkar berbentuk hati, karena seharusnya di tanggal itu dia datang melamarku. Dan dua tahun belakangan ini aku selalu memimpikan hal yang sama di tanggal yang sama, dan setelah bangun aku akan melakukan hal yang sama pula yaitu mengunjungi pusaranya.
Makassar, 11 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar