Terkadang yang salah tak
selalu salah. Lalu mengapa di sini aku yang salah, seperti tersambar petir di
siang bolong. Aku mendapati diriku seperti orang yang teramat takut. Ya, takut
akan kenyataan itupun tidak terlalu nyata untuk ukuran abege labil yang terkapar galau tak berdaya dan mungkin entar lagi tak bernyawa.
Sungguh
dramatis. Bukan. Ini bukan dramatis, hanya saja ini terlalu dibuat-buat. Wake up guys. Kata salah satu teman
memberi semangat. Lebih tepatnya dia memberitahu kalau seseorang yang cintanya
tak sampai tidak akan mati dalam hitungan hari.
Ini sahabatku dan ini
gebetanku, daripada gigit sahabat mending gigit gebetan (maaf, ini iklan
favoritku). Di suatu hari yang tenang, aku dan sahabatku membicarakan banyak
hal. Mulai dari hal kecil seperti bakteri sampai hal yang ngga pernah
terpikirkan sebelumnya seperti kantong ajaib Doraemon yang merupakan cikal
bakal lahirnya supermarket. Tiba-tiba handphonenya
bunyi memecah keheningan malam.
‘Telefon dari siapa sis?’
tanyaku tak bagitu ingin tahu.
‘Ngga penting’ jawabnya
dari kejauhan.
Sejak malam itu aku tak
pernah lagi menanyakan perkara penelfon misterius itu, karena intensitas orang
itu menelfon itu terlalu sering, sesekali aku kembali bertanya tapi jawabannya
selalu sama. Ya udah, mungkin itu privasi. Kataku merasa keren.
Sahabatku siska
(panjangannya siskamling) memang manis dan menarik. Dan itu fakta, aku juga
manis dan menarik. Dan itu opini. Soal cinta, temanku yang satu ini memang
sangat senior. Ibarat jenjang pendidikan dia sudah di tingkat universitas,
sementara aku masih di tingkat playgroup.
Perbandingannya sangat jelas katika kami berdua jalan bareng dan melewati
beberapa cowo komplek yang gayanya kece abis. Siska jalan bagaikan pemeran
utama di sebuah serial FTV sementara aku hanya pemeran pembantu yang mentok di
dapur, ngepel dan beres-beres. Selain itu Siska juga pandai mengajak orang
berkenalan. Sementara aku, baru ditanya ‘nama kamu siapa?’ paling standar
pucat, pingsan dan setelah itu kejang-kejang. Kasihan sekali.
‘Ah … biasa aja’. Padahal
dalam hati, Tuhan Siapakah aku?
Belakangan ini aku jatuh
cinta, sebelumnya kebahagiaan itu aku pendam sendiri sampai akhirnya aku
ketahuan karena sebuah kalimat yang tempo hari aku baca di status biadab yang kutemukan
di facebook. Untungnya aku tidak
terpengaruh (walaupun sempat sedikit ingin mencoba). Katanya kalau orang jatuh
cinta, tai kucing rasa cokelat. Aku kedapatan oleh Siska memperhatikan tai
kucing di halaman rumah. Karena bohong itu dosa akhirnya aku jujur dengan
sedikit berbohong. Awalnya aku malu menceritakan kedilemaanku ini, tapi dengan
gaya ala cherrybelle aku berhasil
menceritakannya kepada Siska.
‘Akhirnya kamu bisa jatuh
cinta juga!’. Kasarnya: maaf selama ini aku pikir kamu tidak normal.
‘Tapi jangan beritahu
teman-teman yang lain, aku malu’.
‘Siapa laki-laki spesial
itu?’. Tahun 2013, laki-laki mulai disejajarkan dengan martabak.
‘S-es Ssurya’, kataku
dengan wajah kemerahan, kadang hijau dan sesekali abu-abu. Tergantung
lingkungan (kenapa seperti bunglon?)
‘Ohh’ respon Siska
singkat.
Sejak hari itu, aku
mencintai Surya dengan caraku. Aku tidak megatakan tentang mencintai diam-diam
karena setidaknya ada orang lain yang kuberitahu, yaitu Siska. Suatu hari saat
aku dan Siska pulang kuliah, Surya menghampiri kami. Sapaannya sih biasa tapi
efeknya ngga bisa tidur sampai satu minggu. Surya adalah teman sekelas kami.
Cowo kece, sederhana tapi memesona, agak jaim dan ngga pernah ngacak-ngacak
tong sampah (nah lo!).
Hari-hari kulewati dengan
menikmati cinta monyetku. Lebih tepatnya cinta monyet yang udah ketuaan, cinta
monyet yang datangnya telat dan cinta monyet yang …. (sensor). Hari itu aku
mendapati Surya di pusat perbelanjaan, dari jauh dia terlihat seperti Edward di film twilight dan aku menghampirinya seakan-akan aku adalah Bella. Tiba-tiba aku melihat ada orang
ketiga di sana. Aku diam, apakah itu Jacob?
Tentu saja bukan, dia seorang perempuan. Itu sepertinya (diam sejenak) Siska!
Kataku dengan wajah ala Nikita Willi di sinetron Putri yang Tertukar, gregetnya
dapet banget. Sampai pada akhirnya ngga ada yang ngomong cut cut cut. Ya Tuhan, aku ngga lagi main sinetron, berarti ini
nyata.
Ternyata mereka udah
jadian. Cinta pertamaku kini telah menjadi milik sahabatku.
‘Maaf ya’, kata Siska hari
itu yang dengan sempurna berdiri di samping Surya dengan status mereka yang
baru p-a-c-a-r-a-n.
‘Nyantai aja’, padahal
dalam hati: ngga usah sok polos gembel.
‘Oh iya, kalian mau ke
mana?’
‘Nonton’, jawaban-jawaban
Siska tak sedikit pun mengandung unsur rasa bersalah. ‘kalau kamu mau ke mana?’
‘pulang’. Kepengen bakar semua bioskop yang ada di kota ini.
‘Mau ikutan ngga?’,
semakin dia ramah, semakin aku marah tapi jangan lupa untuk stay cool.
‘ngga usah, makasih’. Bagaimana kalau kalian yang ikut aku ke lantai
atas trus aku jorokin, kalau polisi nanya. Aku bakalan bilang mungkin mereka
lagi praktikum ilmu Fisika tentang gaya gravitasi bumi. Aku memang cerdas.
Sampai
sekarang aku selalu berusaha untuk melupakan kejadian itu, kejadian yang
membuat aku sadar kalau cinta monyet tak seharusnya sama dengan cinta pertama.
Lebih tepatnya lagi Surya adalah monyet pertama yang membuat aku takut untuk
mengenal monyet-monyet yang lain. Membahasakan cinta sejati sperti ilmu pasti,
1×1=1, ngga bisa dipaksa menjadi dua atau tiga. Begitulah cinta sejati, satu
aja cukup. Kalau ada dua mungkin namanya adalah dwicinta.
Kartini
Ridwan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar