Jumat, 20 September 2013

Satu Kali Satu Samadengan Satu


           
Terkadang yang salah tak selalu salah. Lalu mengapa di sini aku yang salah, seperti tersambar petir di siang bolong. Aku mendapati diriku seperti orang yang teramat takut. Ya, takut akan kenyataan itupun tidak terlalu nyata untuk ukuran abege labil yang terkapar galau tak berdaya dan mungkin  entar lagi tak bernyawa.
            Sungguh dramatis. Bukan. Ini bukan dramatis, hanya saja ini terlalu dibuat-buat. Wake up guys. Kata salah satu teman memberi semangat. Lebih tepatnya dia memberitahu kalau seseorang yang cintanya tak sampai tidak akan mati dalam hitungan hari.
Ini sahabatku dan ini gebetanku, daripada gigit sahabat mending gigit gebetan (maaf, ini iklan favoritku). Di suatu hari yang tenang, aku dan sahabatku membicarakan banyak hal. Mulai dari hal kecil seperti bakteri sampai hal yang ngga pernah terpikirkan sebelumnya seperti kantong ajaib Doraemon yang merupakan cikal bakal lahirnya supermarket. Tiba-tiba handphonenya bunyi memecah keheningan malam.
‘Telefon dari siapa sis?’ tanyaku tak bagitu ingin tahu.
‘Ngga penting’ jawabnya dari kejauhan.
Sejak malam itu aku tak pernah lagi menanyakan perkara penelfon misterius itu, karena intensitas orang itu menelfon itu terlalu sering, sesekali aku kembali bertanya tapi jawabannya selalu sama. Ya udah, mungkin itu privasi. Kataku merasa keren.
Sahabatku siska (panjangannya siskamling) memang manis dan menarik. Dan itu fakta, aku juga manis dan menarik. Dan itu opini. Soal cinta, temanku yang satu ini memang sangat senior. Ibarat jenjang pendidikan dia sudah di tingkat universitas, sementara aku masih di tingkat playgroup. Perbandingannya sangat jelas katika kami berdua jalan bareng dan melewati beberapa cowo komplek yang gayanya kece abis. Siska jalan bagaikan pemeran utama di sebuah serial FTV sementara aku hanya pemeran pembantu yang mentok di dapur, ngepel dan beres-beres. Selain itu Siska juga pandai mengajak orang berkenalan. Sementara aku, baru ditanya ‘nama kamu siapa?’ paling standar pucat, pingsan dan setelah itu kejang-kejang. Kasihan sekali.
‘Ah … biasa aja’. Padahal dalam hati, Tuhan Siapakah aku?
Belakangan ini aku jatuh cinta, sebelumnya kebahagiaan itu aku pendam sendiri sampai akhirnya aku ketahuan karena sebuah kalimat yang tempo hari aku baca di status biadab yang kutemukan di facebook. Untungnya aku tidak terpengaruh (walaupun sempat sedikit ingin mencoba). Katanya kalau orang jatuh cinta, tai kucing rasa cokelat. Aku kedapatan oleh Siska memperhatikan tai kucing di halaman rumah. Karena bohong itu dosa akhirnya aku jujur dengan sedikit berbohong. Awalnya aku malu menceritakan kedilemaanku ini, tapi dengan gaya ala cherrybelle aku berhasil menceritakannya kepada Siska.
‘Akhirnya kamu bisa jatuh cinta juga!’. Kasarnya: maaf selama ini aku pikir kamu tidak normal. 
‘Tapi jangan beritahu teman-teman yang lain, aku malu’.
‘Siapa laki-laki spesial itu?’. Tahun 2013, laki-laki mulai disejajarkan dengan martabak.
‘S-es Ssurya’, kataku dengan wajah kemerahan, kadang hijau dan sesekali abu-abu. Tergantung lingkungan (kenapa seperti bunglon?)
‘Ohh’ respon Siska singkat.
Sejak hari itu, aku mencintai Surya dengan caraku. Aku tidak megatakan tentang mencintai diam-diam karena setidaknya ada orang lain yang kuberitahu, yaitu Siska. Suatu hari saat aku dan Siska pulang kuliah, Surya menghampiri kami. Sapaannya sih biasa tapi efeknya ngga bisa tidur sampai satu minggu. Surya adalah teman sekelas kami. Cowo kece, sederhana tapi memesona, agak jaim dan ngga pernah ngacak-ngacak tong sampah (nah lo!).
Hari-hari kulewati dengan menikmati cinta monyetku. Lebih tepatnya cinta monyet yang udah ketuaan, cinta monyet yang datangnya telat dan cinta monyet yang …. (sensor). Hari itu aku mendapati Surya di pusat perbelanjaan, dari jauh dia terlihat seperti Edward di film twilight dan aku menghampirinya seakan-akan aku adalah Bella. Tiba-tiba aku melihat ada orang ketiga di sana. Aku diam, apakah itu Jacob? Tentu saja bukan, dia seorang perempuan. Itu sepertinya (diam sejenak) Siska! Kataku dengan wajah ala Nikita Willi di sinetron Putri yang Tertukar, gregetnya dapet banget. Sampai pada akhirnya ngga ada yang ngomong cut cut cut. Ya Tuhan, aku ngga lagi main sinetron, berarti ini nyata.
Ternyata mereka udah jadian. Cinta pertamaku kini telah menjadi milik sahabatku.
‘Maaf ya’, kata Siska hari itu yang dengan sempurna berdiri di samping Surya dengan status mereka yang baru p-a-c-a-r-a-n.
‘Nyantai aja’, padahal dalam hati: ngga usah sok polos gembel.
‘Oh iya, kalian mau ke mana?’
‘Nonton’, jawaban-jawaban Siska tak sedikit pun mengandung unsur rasa bersalah. ‘kalau kamu mau ke mana?’
‘pulang’. Kepengen bakar semua bioskop yang ada di kota ini.
‘Mau ikutan ngga?’, semakin dia ramah, semakin aku marah tapi jangan lupa untuk stay cool.
‘ngga usah, makasih’. Bagaimana kalau kalian yang ikut aku ke lantai atas trus aku jorokin, kalau polisi nanya. Aku bakalan bilang mungkin mereka lagi praktikum ilmu Fisika tentang gaya gravitasi bumi. Aku memang cerdas.
            Sampai sekarang aku selalu berusaha untuk melupakan kejadian itu, kejadian yang membuat aku sadar kalau cinta monyet tak seharusnya sama dengan cinta pertama. Lebih tepatnya lagi Surya adalah monyet pertama yang membuat aku takut untuk mengenal monyet-monyet yang lain. Membahasakan cinta sejati sperti ilmu pasti, 1×1=1, ngga bisa dipaksa menjadi dua atau tiga. Begitulah cinta sejati, satu aja cukup. Kalau ada dua mungkin namanya adalah dwicinta.

Kartini Ridwan









Tidak ada komentar:

Posting Komentar