Aku
ingin memulainya dengan menarik napas panjang. Terkadang seseorang lupa
bagaimana dan kapan terakhir kali dia jujur kepada dirinya sendiri, bagaimana
dia memiliki raganya atau menguasai ilusinya. Apakah keterlaluan ketika
seseorang yang belum mengenali dirinya sendiri melangkah terlalu jauh? Bukannya
tidak mengenali. Mungkin saja khilaf, terlalu lama bersenang-senang, sampai
akhirnya dia menyadari bahwa selama ini dia melangkah tanpa tujuan. Kasihanilah
orang ini, dia hanya ingin hidup dengan bebas tanpa aturan norma yang mengikat.
Terlalu sering dia mengurungkan niatnya untuk jujur hanya karena realitas
sosial. Berharap ada undang-undang yang melampirkan aturan “ wahai engkau
masyarakat luas, bedakanlah kejujuran dengan ketidakmaluan “! Dan setelah itu orang-orang
jujur akan mendapatkan tempatnya sendiri di masyarakat tanpa predikat tidak tahu malu.
Aku hanya ingin jujur. Tapi, setelah ini apakah benar
akan terjamin bahwa semuanya akan baik-baik saja? Sungguh kenyataan yang
ambigu. Idealisme dan realisme masih dipertanyakan. Mengapa suatu teori harus
mengikut pada apa yang ada? Kira-kira sampai kapan kemapanan itu tetap kokoh
dan apa yang akan terjadi jika kemapanan realisme runtuh?
Seseorang harus menyeimbangkan antara logika dan
perasaannya! Membicarakannya saja gampang, lalu bagaimana kita
merealiasikannya? Logika adalah apa yang nampak dan perasaan adalah yang hanya
diketahui oleh pemilik perasaan itu. Apakah iya, sesuatu yang berlawanan bisa
berjalan beriringan? Lalu bagaimana kita menanggapi anggapan yang menyatakan
bahwa hidup adalah pilihan! Dalam hidup ini selalu ada yang lebih terlihat
daripada sesuatu yang lain. Jadi, jangan pernah memaksakan suatu keseimbangan
yang pada akhirnya berakhir pada ketidak konsistenan.
Semuanya masih dipertanyakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar