Jumat, 20 September 2013

Ambigu



Aku ingin memulainya dengan menarik napas panjang. Terkadang seseorang lupa bagaimana dan kapan terakhir kali dia jujur kepada dirinya sendiri, bagaimana dia memiliki raganya atau menguasai ilusinya. Apakah keterlaluan ketika seseorang yang belum mengenali dirinya sendiri melangkah terlalu jauh? Bukannya tidak mengenali. Mungkin saja khilaf, terlalu lama bersenang-senang, sampai akhirnya dia menyadari bahwa selama ini dia melangkah tanpa tujuan. Kasihanilah orang ini, dia hanya ingin hidup dengan bebas tanpa aturan norma yang mengikat. Terlalu sering dia mengurungkan niatnya untuk jujur hanya karena realitas sosial. Berharap ada undang-undang yang melampirkan aturan “ wahai engkau masyarakat luas, bedakanlah kejujuran dengan ketidakmaluan “! Dan setelah itu orang-orang jujur akan mendapatkan tempatnya sendiri di masyarakat tanpa predikat tidak tahu malu.
            Aku hanya ingin jujur. Tapi, setelah ini apakah benar akan terjamin bahwa semuanya akan baik-baik saja? Sungguh kenyataan yang ambigu. Idealisme dan realisme masih dipertanyakan. Mengapa suatu teori harus mengikut pada apa yang ada? Kira-kira sampai kapan kemapanan itu tetap kokoh dan apa yang akan terjadi jika kemapanan realisme runtuh?
            Seseorang harus menyeimbangkan antara logika dan perasaannya! Membicarakannya saja gampang, lalu bagaimana kita merealiasikannya? Logika adalah apa yang nampak dan perasaan adalah yang hanya diketahui oleh pemilik perasaan itu. Apakah iya, sesuatu yang berlawanan bisa berjalan beriringan? Lalu bagaimana kita menanggapi anggapan yang menyatakan bahwa hidup adalah pilihan! Dalam hidup ini selalu ada yang lebih terlihat daripada sesuatu yang lain. Jadi, jangan pernah memaksakan suatu keseimbangan yang pada akhirnya berakhir pada ketidak konsistenan.


Semuanya masih dipertanyakan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar