D’MATA
(Sahabat atau Kepentingan)
“Tidak ada
sahabat sejati, yang ada hanya kepentingan!”. Sebuah kalimat pro kontra yang
sekilas terdengar jahat tapi di sisi lain tidak dapat dibenarkan kesalahannya.
Satu sisi kami sahabat tapi di sisi lain ada kepentingan yang terlihat jelas,
sedikit lucu tapi kebetulan. Sampai sekarang saya pribadi masih tidak bisa
membedakan antara sahabat dan kepentingan, mungkin karena sekat yang terlalu
tipis dan transparan itulah, sehingga ketika kita tidak menggunakan kacamata
nurani maka semuanya akan terlihat sempurna seperti sebuah kepentingan. Ya,
kepentingan yang terbungkus oleh kebersamaan.
Entah dari
mana aku akan dan ingin memulainya. Hmm, baiklah, aku akan memulainya dari kata
kunci kita hari ini. Kepentingan!. Kisah ini berawal dari kepentingan Mus
kepada kedua temannya yang juga temanku, Dien dan Ay kami bertiga berteman dan
dengan begitu, kemudian aku harus berteman dengannya. Apakah aku harus
menjelaskan kepentingan seperti apa yang kumaksud?, berusaha sedikit transparan
dan netral, akhirnya aku memutuskan untuk menjelaskannya lebih detail.
“Di dunia ini
tidak ada yang kebetulan, yang ada hanya sebab akibat”. Awalnya aku sedikit
membantahnya, tapi sekarang aku sadar akan kebenarannya. Tentunya dengan
melihat kenyataan dan realitas yang ada. Hari rabu, aku memutuskan pulang lebih
awal karena hanya ada satu mata kuliah hari itu. Pagi itu aku pergi dan
ternyata juga pulang lebih awal daripada kedua temanku, setelah tiba di depan kos
yang kurang lebih enam bulan telah kami huni itu, aku menyadari telah membuat
kesalahan fatal yang dampaknya mungkin akan jauh lebih buruk daripada yang
dibayangkan sebelumnya. Kunci pintu utama tertinggal di dalam kamar yang juga
pasti terkunci. Aku mengintip dari celah pintu yang sedikit membantu karena
telah menyisahkan celah untukku hari itu, tidak banyak membantu tapi setidaknya
ada sedikit tindakan berbentuk usaha untuk mencari jalan keluar untuk bisa
masuk di dalam ruangan yang ternyata terlihat bisu merindukan penghuninya. Ya,
tidak ada orang di dalam. Sedikit menyesal aku menengadah melihat kabar awan
yang kurang baik di atas sana, sepertinya hari ini alam tak bersahabat. Setelah
melalui panas yang amat panas, mungkin setelah ini aku harus berpapasan dengan
hujan. Hujan di bulan februari memang terkadang kurang konsisten, untungnya aku
berhasil berteduh sebelum amukan air yang berhasil lolos dari jeratan awan
hitam itu menghakimiku dengan sedikit tidak manusiawi.
Satu, dua,
tiga dan empat. Bukan bermaksud untuk berhitung apalagi memberi aba-aba, tapi
itu adalah rentang waktu dimana aku harus menunggu sesuatu yang pada akhirnya
bisa membawaku kesebuah tempat yang nyaman dan aman untukku kemudian
beristirahat, yaitu kamarku. Tapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda kehidupan,
semuanya seakan mati kecuali deretan huruf yang dari tadi mengajakku
bercengkrama dengan berbagai humor yang membuatku lupa untuk bosan dan lelah
untuk menunggu. Marmut Merah jambu,
karya non fiksi milik Raditya Dika
yang tidak terlalu tebal untuk ukuran novel tapi juga terlalu padat untuk
disebut novelet. Seperti pelangi setelah hujan, Dien dan Ay akhirnya datang
juga. Sedikit pun tidak membantu tapi setidaknya ada yang menemaniku untuk
mencari jalan keluar. Dan benar saja, Dien memberikan sebuah jalan keluar yang
tidak terlalu buruk untuk dicoba.
“bagaimana
kalau kita ke kos kak Mus, setidaknya sampai kak Riska datang”. Kak Riska
adalah penghuni kos selain kami, satu-satunya pemegang kunci yang dapat
menyelamatkan kami saat itu.
“ide bagus”
sambung Ay
“tidak ada
jalan lain”, kataku. Kesimpulan dari kami bertiga berujung pada keputusan. Dien
mengirim pesan singkat kepada kak Mus untuk menjemput kami bertiga di kondisi
yang sosial yang membutuhkan banyak bantuan.
Tidak
berselang lama, kak Mus datang dengan beberapa orang lainnya. Terlalu panjang
untuk disebutkan satu persatu. Yang pasti cukup memberikan tumpangan untuk kami
bertiga.
Tidak
membutuhkan waktu yang pajang untuk sampai di tempat tujuan karena tempatnya
tidak terlalu jauh, sekitar 500 meter dari tempat kami. Hmm ruangan ini
seketika hidup karena kehadiran kami, sedikit merasa asing aku memutuskan untuk
tidak banyak bicara karena orang-orang selain “kami” lebih tepatnya aku adalah
teman-teman sekelas Dien, Ay dan kak Mus. Memang aku tidak satu kelas dengan
mereka. Sampai pada akhirnya hanya tersisa aku, Dien, Ay dan kak Mus di ruangan
tiga kali empat itu.
“Assalamu
alaikum”. Terdengar suara dari balik pintu. Itu Lin, teman sekelas Dien, Ay dan
kak Mus, aku tahu dan kenal tapi tidak cukup banyak tahu dan kenal tentang
dirinya.
“Waalaikum
salam”. Jawab kami bersamaan bagaikan kelompok paduan suara yang menggelar
konser tunggal.
Mereka banyak
berbincang-bincang, banyak bercanda dan sesekali diiringi suara tawa yang
terdengar sangat lepas. Aku tidak terlalu bersuara tapi sesekali aku juga ikut
tertawa ketika Kak Mus sebagai pengendali suasana itu menceritakan atau
menciptakan humor-humor tertentu, aku masih sibuk dengan game Zuma yang kumainkan sejak aku datang di
tempat ini sampai pada akhirnya hujan kembali menyerang bumi dengan kemarahan
yang semakin ganas. Sesekali petir menyambar dan riuh angin bergemuruh menyapu
setiap pepohonan yang ia jumpai, terdengar sedikit ekstrem tapi itulah
kenyataannya.
Mereka
kemudian lebih banyak diam, mungkin mereka mengalah kepada gemuruh air hujan
yang menimpai atap kos yang sudah terlihat tua itu secara bertubi-tubi. Hanya
suara petikan senar gitar kak Mus yang mendominasi suara-suara yang ada di
dalam ruangan. Lagu demi lagu dan tawa demi tawa terjadi di ruangan itu, semua
terlihat baik-baik saja sampai sesuatu terjadi.
“atapnya
bocor”, kata Ay dengan ekspresi prihatin atau mengejek aku sulit membedakannya.
“temboknya
juga merembes”, sambung Dien.
Suasana pun
sedikit bising oleh suara tawa yang tak tertahankan lagi setelah baskom-baskom
bahkan stoples berserakan di mana-mana. Suara tawaku makin lepas, mungkin aku
sudah mulai terbiasa dengan mereka. Seketika tempat itu terlihat seperti water boom dengan genangan air di
mana-mana. Sepertinya banyak energi yang terbuang hari ini. Selain pikiran yang
terkuras di ruang perkuliahan, sepertinya tertawa sejak tadi juga menghabiskan
banyak energi. Oleh karena itu, kami mulai mendiskusikan makanan apa yang cukup
pas untuk mood kita hari ini. Tapi
sepertinya perbincangan itu melahirkan perbincangan yang baru. Inilah hidup,
tekadang ada sesuatu yang disebut rahasia, sedikit privasi dan tidak semua
orang bisa mengetahuinya. Ada sesuatu yang tidak kuketahui dan tidak ingin
kuketahui tapi sangat ingin diketahui oleh Dien dan Ay, sesuatu yang disembunyikan
oleh kak Mus dan Alin. Di luar hujan masih deras tapi mereka berdua terlihat
bodoh ketika membiarkan badan mereka basah kuyup, sebelumnya aku pernah melihat
kejadian seperti ini tapi hanya di sinetron dan FTV. Ada sesuatu yang kurasakan
setelah mereka pergi yaitu kekhawatiran Lin dan ketakutan kak Mus, takut
terjadi sesuatu kepada Dien dan Ay. Seketika aku merasakan energi positif yang
memenuhi setiap partikel yang ada di ruangan ini. Apakah sikap mereka sudah
cukup intim untuk dikategorikan sebagai sahabat?. Pertanyaanku terjawab
beberapa menit kemudian, ketika aku merasakan perhatian seseorang kepada
seseorang yang lain. Berlangsung sederhana, lambat tapi pasti.
Pukul 21 teng,
dan tidak ada lagi alasan untuk tinggal lebih lama di tempat yang makin lama
makin lembab ini (tidak ada maksud apa-apa). Sepertinya langit juga sudah mulai
mengerti, kini runtutan air hujan hanya sebatas gerimis. Usahanya pun untuk
membuat kuyup sudah terlihat minimum. Dengan mengendarai motor, aku
berboncengan dengan Lin, Dien dan Ay bersama kak Mus. Malam ini jalanan yang
kami lalui terlihat istimewa, bukan hamparan karpet merah tapi genangan air
yang berwarna kecokelatan. Ya, banjir. Banjir memang hal yang wajar di kota
ini, maklum saja hujan malam ini lumayan deras. Kapasitas air sudah cukup untuk
memenuhi got kemudian menggenangi jalan. Aku dan Lin tiba di kos dengan
selamat, sehat wal afiat, tidak kurang satu pun dan Alhamdulillah masih dalam keadaan bernyawa. Tapi ada apa dengan kak
Mus, Dien dan Ay. Sesekali aku dan Lin melihat ke belakang tapi belum ada
tanda-tanda keberadaan dari mereka, lambat tapi pasti guyuran hujan kembali
deras. Dalam hati menanyakan keadaan mereka tapi terlalu berlebihan jika
dianggap sebagai rasa khawatir. Lin menyusul mereka dan apa yang terjadi,
mereka benar basah kuyup. Bukan karena guyuran hujan dari awan melainkan dari
genangan air yang tingginya selutut. Sungguh ini hiburan malam yang
menyenangkan, melihat dua orang temanku seperti kucing kecebur got.
Malam ini
kepulangan kak Mus dan Lin dihalangi hujan, tidak ada alternatif lain selain nginap. Lantai malam ini sangat tidak
bersahabat, terlalu dingin untuk menyentuh kulit yang sedari tadi pori-porinya telah
lelah menyerap air hujan. Akhirnya kami berlima melepas lelah dengan berbagi
ruang di satu kasur yang sejujurnya hanya cukup untuk tiga orang itu, sekilas
kami terlihat seperti ikan sarden tapi malam itu adalah awal dari kepentingan
kami masing-masing. Kepentingan kami, aku Dien dan Ay kepada kak Mus dan Lin,
begitupun sebaliknya.
Sejak hari itu
kepentingan satu sama lain mewarnai hidup kami, memenuhi kebutuhan dan
harapan-harapan kami serta kebersamaan yang sulit digambarkan keindahannya.
Bukan karena terlalu indah melainkan kadang meragukan untuk dikategorikan
indah. Kak Mus adalah leader dalam
kehidupan kami, tidak berlebihan tapi hanya berusaha jujur. Ketika dia melucu,
kami tertawa, ketika dia berbagi kami menerimanya tanpa beban dan ketika dia
curhat kami mendengarkannya walaupun terkadang dia selalu lupa waktu. Bahkan
ketika dia marah, semuanya diam entah berbalik marah atau merasa bersalah. Yang
pasti dia sangat pandai mengendalikan hari-hari kami. Lin adalah filter dari
seorang kak Mus, menurutnya diam itu emas (ulaweng
mammekko’e), semuanya relatif dan yang pasti dia selalu terlihat bodoh
ketika membicarakan mantannya. Hahaha dan satu lagi, galau adalah kebutuhannya.
Ay adalah yang paling muda di antara kami berlima, tapi itu secara fisik. Di
sisi lain dia selalu menjadi orang yang paling tua, bukan keibuan tapi “kenenek’an”. Di dunia ini, lebih banyak
hal yang tidak disukai daripada disukainya. Mungkin dia berniat untuk mencari
dunianya sendiri setelah ini. Dien adalah partner
terbaik untuk kak Mus. Meskipun mereka sering bertengkar dan merajuk satu
sama lain tapi sadar atau tidak sadar, Dien selalu membutuhkan kak Mus dan
begitupun sebaliknya (kepentingan). Dan kabarnya Dien dan Ay akan menjadi istri
pertama dan kedua dari kak Mus, sementara aku hanya mendapatkan jatah menjadi
seorang pembantu. Sedikit tidak fair
tapi itu lebih baik daripada poligami. Dan aku adalah penonton terbaik dalam
cerita tak bernaskah ini, katanya aku adalah orang terbodoh kedua setelah Lin.
Setiap hari
kurang lebih dua belas jam kami berbagi kisah secara tersirat maupun tersurat.
Kisah tentang kak Mus dan khayalannya, Lin dan harapannya, Dien dan bayangannya,
Ay dan kenyataannya, serta aku dan kenanganku. 13 Maret 2013 kemarin, kami
menyatukan visi misi kami dalam sebuah organisasi yaitu D’MATA (Dien, Mus, Ay,
Tee dan Alin). Sebuah organisasi informal yang berlandaskan iman dan takwa
dengan sedikit pembohongan, dengan motto sahabat
atau kepentingan. Puncaknya adalah ketika kami berlima menuliskan
imajinasi, harapan dan untaian kata-kata terindah yang kami miliki di sebuah
tembok yang menjadi saksi bisu sekaligus artefak perjanjian serta kontrak
persahabatan di antara kami berlima. Kami menyebutnya dinding curhat.
Hari ini leader sekaligus Abang kami kembali
merajuk. Ngambek dan pergi begitu saja dengan alasan yang cukup absurd. “Aku
pergi bukan karena ‘apapun’ tapi karena ‘walaupun’!” katanya dua hari yang lalu
melalui pesan singkat. Entah itu salah atau keliru, kami berharap semua itu
tidak benar. Karena banyak hal yang merindukannya di tempat ini selain aku,
Dien, Ay dan Lin yaitu bintang dan hujan di malam hari. Walaupun beberapa hari
ini langit sudah mulai cerah tapi terjadi mendung di dalam hati kami, mendung
yang entah mengapa sangat ganjil dan menyisahkan kekosongan. Apakah kekosongan
ini akan terisi kembali atau kembali terbiasa? Entahlah.
Flashback tentang kebiasaan kami. Ay akan tidur ketika dia
lapar, Dien tiarap ketika sakit perut, Lin sedang galau ketika dia mendengarkan
musik lewat separuh hidupnya (handphone),
Mus menghabiskan banyak waktu luangnya bersama segelas kopi, dan aku yang akan
tidur nyenyak di samping tembok.
By: Kartini Ridwan, 24 maret 2013
Di antara kekosongan yang tercipta. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar