Jumat, 20 September 2013

D’MATA (Sahabat atau Kepentingan)


D’MATA
(Sahabat atau Kepentingan)

“Tidak ada sahabat sejati, yang ada hanya kepentingan!”. Sebuah kalimat pro kontra yang sekilas terdengar jahat tapi di sisi lain tidak dapat dibenarkan kesalahannya. Satu sisi kami sahabat tapi di sisi lain ada kepentingan yang terlihat jelas, sedikit lucu tapi kebetulan. Sampai sekarang saya pribadi masih tidak bisa membedakan antara sahabat dan kepentingan, mungkin karena sekat yang terlalu tipis dan transparan itulah, sehingga ketika kita tidak menggunakan kacamata nurani maka semuanya akan terlihat sempurna seperti sebuah kepentingan. Ya, kepentingan yang terbungkus oleh kebersamaan.
Entah dari mana aku akan dan ingin memulainya. Hmm, baiklah, aku akan memulainya dari kata kunci kita hari ini. Kepentingan!. Kisah ini berawal dari kepentingan Mus kepada kedua temannya yang juga temanku, Dien dan Ay kami bertiga berteman dan dengan begitu, kemudian aku harus berteman dengannya. Apakah aku harus menjelaskan kepentingan seperti apa yang kumaksud?, berusaha sedikit transparan dan netral, akhirnya aku memutuskan untuk menjelaskannya lebih detail.
“Di dunia ini tidak ada yang kebetulan, yang ada hanya sebab akibat”. Awalnya aku sedikit membantahnya, tapi sekarang aku sadar akan kebenarannya. Tentunya dengan melihat kenyataan dan realitas yang ada. Hari rabu, aku memutuskan pulang lebih awal karena hanya ada satu mata kuliah hari itu. Pagi itu aku pergi dan ternyata juga pulang lebih awal daripada kedua temanku, setelah tiba di depan kos yang kurang lebih enam bulan telah kami huni itu, aku menyadari telah membuat kesalahan fatal yang dampaknya mungkin akan jauh lebih buruk daripada yang dibayangkan sebelumnya. Kunci pintu utama tertinggal di dalam kamar yang juga pasti terkunci. Aku mengintip dari celah pintu yang sedikit membantu karena telah menyisahkan celah untukku hari itu, tidak banyak membantu tapi setidaknya ada sedikit tindakan berbentuk usaha untuk mencari jalan keluar untuk bisa masuk di dalam ruangan yang ternyata terlihat bisu merindukan penghuninya. Ya, tidak ada orang di dalam. Sedikit menyesal aku menengadah melihat kabar awan yang kurang baik di atas sana, sepertinya hari ini alam tak bersahabat. Setelah melalui panas yang amat panas, mungkin setelah ini aku harus berpapasan dengan hujan. Hujan di bulan februari memang terkadang kurang konsisten, untungnya aku berhasil berteduh sebelum amukan air yang berhasil lolos dari jeratan awan hitam itu menghakimiku dengan sedikit tidak manusiawi.
Satu, dua, tiga dan empat. Bukan bermaksud untuk berhitung apalagi memberi aba-aba, tapi itu adalah rentang waktu dimana aku harus menunggu sesuatu yang pada akhirnya bisa membawaku kesebuah tempat yang nyaman dan aman untukku kemudian beristirahat, yaitu kamarku. Tapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda kehidupan, semuanya seakan mati kecuali deretan huruf yang dari tadi mengajakku bercengkrama dengan berbagai humor yang membuatku lupa untuk bosan dan lelah untuk menunggu. Marmut Merah jambu, karya non fiksi milik Raditya Dika yang tidak terlalu tebal untuk ukuran novel tapi juga terlalu padat untuk disebut novelet. Seperti pelangi setelah hujan, Dien dan Ay akhirnya datang juga. Sedikit pun tidak membantu tapi setidaknya ada yang menemaniku untuk mencari jalan keluar. Dan benar saja, Dien memberikan sebuah jalan keluar yang tidak terlalu buruk untuk dicoba.
“bagaimana kalau kita ke kos kak Mus, setidaknya sampai kak Riska datang”. Kak Riska adalah penghuni kos selain kami, satu-satunya pemegang kunci yang dapat menyelamatkan kami saat itu.
“ide bagus” sambung Ay
“tidak ada jalan lain”, kataku. Kesimpulan dari kami bertiga berujung pada keputusan. Dien mengirim pesan singkat kepada kak Mus untuk menjemput kami bertiga di kondisi yang sosial yang membutuhkan banyak bantuan.
Tidak berselang lama, kak Mus datang dengan beberapa orang lainnya. Terlalu panjang untuk disebutkan satu persatu. Yang pasti cukup memberikan tumpangan untuk kami bertiga.
Tidak membutuhkan waktu yang pajang untuk sampai di tempat tujuan karena tempatnya tidak terlalu jauh, sekitar 500 meter dari tempat kami. Hmm ruangan ini seketika hidup karena kehadiran kami, sedikit merasa asing aku memutuskan untuk tidak banyak bicara karena orang-orang selain “kami” lebih tepatnya aku adalah teman-teman sekelas Dien, Ay dan kak Mus. Memang aku tidak satu kelas dengan mereka. Sampai pada akhirnya hanya tersisa aku, Dien, Ay dan kak Mus di ruangan tiga kali empat itu.
“Assalamu alaikum”. Terdengar suara dari balik pintu. Itu Lin, teman sekelas Dien, Ay dan kak Mus, aku tahu dan kenal tapi tidak cukup banyak tahu dan kenal tentang dirinya.
“Waalaikum salam”. Jawab kami bersamaan bagaikan kelompok paduan suara yang menggelar konser tunggal.
Mereka banyak berbincang-bincang, banyak bercanda dan sesekali diiringi suara tawa yang terdengar sangat lepas. Aku tidak terlalu bersuara tapi sesekali aku juga ikut tertawa ketika Kak Mus sebagai pengendali suasana itu menceritakan atau menciptakan humor-humor tertentu, aku masih sibuk dengan game Zuma yang kumainkan sejak aku datang di tempat ini sampai pada akhirnya hujan kembali menyerang bumi dengan kemarahan yang semakin ganas. Sesekali petir menyambar dan riuh angin bergemuruh menyapu setiap pepohonan yang ia jumpai, terdengar sedikit ekstrem tapi itulah kenyataannya.
Mereka kemudian lebih banyak diam, mungkin mereka mengalah kepada gemuruh air hujan yang menimpai atap kos yang sudah terlihat tua itu secara bertubi-tubi. Hanya suara petikan senar gitar kak Mus yang mendominasi suara-suara yang ada di dalam ruangan. Lagu demi lagu dan tawa demi tawa terjadi di ruangan itu, semua terlihat baik-baik saja sampai sesuatu terjadi.
“atapnya bocor”, kata Ay dengan ekspresi prihatin atau mengejek aku sulit membedakannya.
“temboknya juga merembes”, sambung Dien.
Suasana pun sedikit bising oleh suara tawa yang tak tertahankan lagi setelah baskom-baskom bahkan stoples berserakan di mana-mana. Suara tawaku makin lepas, mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan mereka. Seketika tempat itu terlihat seperti water boom dengan genangan air di mana-mana. Sepertinya banyak energi yang terbuang hari ini. Selain pikiran yang terkuras di ruang perkuliahan, sepertinya tertawa sejak tadi juga menghabiskan banyak energi. Oleh karena itu, kami mulai mendiskusikan makanan apa yang cukup pas untuk mood kita hari ini. Tapi sepertinya perbincangan itu melahirkan perbincangan yang baru. Inilah hidup, tekadang ada sesuatu yang disebut rahasia, sedikit privasi dan tidak semua orang bisa mengetahuinya. Ada sesuatu yang tidak kuketahui dan tidak ingin kuketahui tapi sangat ingin diketahui oleh Dien dan Ay, sesuatu yang disembunyikan oleh kak Mus dan Alin. Di luar hujan masih deras tapi mereka berdua terlihat bodoh ketika membiarkan badan mereka basah kuyup, sebelumnya aku pernah melihat kejadian seperti ini tapi hanya di sinetron dan FTV. Ada sesuatu yang kurasakan setelah mereka pergi yaitu kekhawatiran Lin dan ketakutan kak Mus, takut terjadi sesuatu kepada Dien dan Ay. Seketika aku merasakan energi positif yang memenuhi setiap partikel yang ada di ruangan ini. Apakah sikap mereka sudah cukup intim untuk dikategorikan sebagai sahabat?. Pertanyaanku terjawab beberapa menit kemudian, ketika aku merasakan perhatian seseorang kepada seseorang yang lain. Berlangsung sederhana, lambat tapi pasti.
Pukul 21 teng, dan tidak ada lagi alasan untuk tinggal lebih lama di tempat yang makin lama makin lembab ini (tidak ada maksud apa-apa). Sepertinya langit juga sudah mulai mengerti, kini runtutan air hujan hanya sebatas gerimis. Usahanya pun untuk membuat kuyup sudah terlihat minimum. Dengan mengendarai motor, aku berboncengan dengan Lin, Dien dan Ay bersama kak Mus. Malam ini jalanan yang kami lalui terlihat istimewa, bukan hamparan karpet merah tapi genangan air yang berwarna kecokelatan. Ya, banjir. Banjir memang hal yang wajar di kota ini, maklum saja hujan malam ini lumayan deras. Kapasitas air sudah cukup untuk memenuhi got kemudian menggenangi jalan. Aku dan Lin tiba di kos dengan selamat, sehat wal afiat, tidak kurang satu pun dan Alhamdulillah masih dalam keadaan bernyawa. Tapi ada apa dengan kak Mus, Dien dan Ay. Sesekali aku dan Lin melihat ke belakang tapi belum ada tanda-tanda keberadaan dari mereka, lambat tapi pasti guyuran hujan kembali deras. Dalam hati menanyakan keadaan mereka tapi terlalu berlebihan jika dianggap sebagai rasa khawatir. Lin menyusul mereka dan apa yang terjadi, mereka benar basah kuyup. Bukan karena guyuran hujan dari awan melainkan dari genangan air yang tingginya selutut. Sungguh ini hiburan malam yang menyenangkan, melihat dua orang temanku seperti kucing kecebur got.
Malam ini kepulangan kak Mus dan Lin dihalangi hujan, tidak ada alternatif lain selain nginap. Lantai malam ini sangat tidak bersahabat, terlalu dingin untuk menyentuh kulit yang sedari tadi pori-porinya telah lelah menyerap air hujan. Akhirnya kami berlima melepas lelah dengan berbagi ruang di satu kasur yang sejujurnya hanya cukup untuk tiga orang itu, sekilas kami terlihat seperti ikan sarden tapi malam itu adalah awal dari kepentingan kami masing-masing. Kepentingan kami, aku Dien dan Ay kepada kak Mus dan Lin, begitupun sebaliknya.
Sejak hari itu kepentingan satu sama lain mewarnai hidup kami, memenuhi kebutuhan dan harapan-harapan kami serta kebersamaan yang sulit digambarkan keindahannya. Bukan karena terlalu indah melainkan kadang meragukan untuk dikategorikan indah. Kak Mus adalah leader dalam kehidupan kami, tidak berlebihan tapi hanya berusaha jujur. Ketika dia melucu, kami tertawa, ketika dia berbagi kami menerimanya tanpa beban dan ketika dia curhat kami mendengarkannya walaupun terkadang dia selalu lupa waktu. Bahkan ketika dia marah, semuanya diam entah berbalik marah atau merasa bersalah. Yang pasti dia sangat pandai mengendalikan hari-hari kami. Lin adalah filter dari seorang kak Mus, menurutnya diam itu emas (ulaweng mammekko’e), semuanya relatif dan yang pasti dia selalu terlihat bodoh ketika membicarakan mantannya. Hahaha dan satu lagi, galau adalah kebutuhannya. Ay adalah yang paling muda di antara kami berlima, tapi itu secara fisik. Di sisi lain dia selalu menjadi orang yang paling tua, bukan keibuan tapi “kenenek’an”. Di dunia ini, lebih banyak hal yang tidak disukai daripada disukainya. Mungkin dia berniat untuk mencari dunianya sendiri setelah ini. Dien adalah partner terbaik untuk kak Mus. Meskipun mereka sering bertengkar dan merajuk satu sama lain tapi sadar atau tidak sadar, Dien selalu membutuhkan kak Mus dan begitupun sebaliknya (kepentingan). Dan kabarnya Dien dan Ay akan menjadi istri pertama dan kedua dari kak Mus, sementara aku hanya mendapatkan jatah menjadi seorang pembantu. Sedikit tidak fair tapi itu lebih baik daripada poligami. Dan aku adalah penonton terbaik dalam cerita tak bernaskah ini, katanya aku adalah orang terbodoh kedua setelah Lin.
Setiap hari kurang lebih dua belas jam kami berbagi kisah secara tersirat maupun tersurat. Kisah tentang kak Mus dan khayalannya, Lin dan harapannya, Dien dan bayangannya, Ay dan kenyataannya, serta aku dan kenanganku. 13 Maret 2013 kemarin, kami menyatukan visi misi kami dalam sebuah organisasi yaitu D’MATA (Dien, Mus, Ay, Tee dan Alin). Sebuah organisasi informal yang berlandaskan iman dan takwa dengan sedikit pembohongan, dengan motto sahabat atau kepentingan. Puncaknya adalah ketika kami berlima menuliskan imajinasi, harapan dan untaian kata-kata terindah yang kami miliki di sebuah tembok yang menjadi saksi bisu sekaligus artefak perjanjian serta kontrak persahabatan di antara kami berlima. Kami menyebutnya dinding curhat.
Hari ini leader sekaligus Abang kami kembali merajuk. Ngambek dan pergi begitu saja dengan alasan yang cukup absurd. “Aku pergi bukan karena ‘apapun’ tapi karena ‘walaupun’!” katanya dua hari yang lalu melalui pesan singkat. Entah itu salah atau keliru, kami berharap semua itu tidak benar. Karena banyak hal yang merindukannya di tempat ini selain aku, Dien, Ay dan Lin yaitu bintang dan hujan di malam hari. Walaupun beberapa hari ini langit sudah mulai cerah tapi terjadi mendung di dalam hati kami, mendung yang entah mengapa sangat ganjil dan menyisahkan kekosongan. Apakah kekosongan ini akan terisi kembali atau kembali terbiasa? Entahlah.
Flashback tentang kebiasaan kami. Ay akan tidur ketika dia lapar, Dien tiarap ketika sakit perut, Lin sedang galau ketika dia mendengarkan musik lewat separuh hidupnya (handphone), Mus menghabiskan banyak waktu luangnya bersama segelas kopi, dan aku yang akan tidur nyenyak di samping tembok.
By: Kartini Ridwan, 24 maret 2013
Di antara kekosongan yang tercipta. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar