Rabu, 25 September 2013

Bermuara


Kau masih duduk di tempat yang seakan mati bersama harapanmu, tanganmu masih mengepal menahan apapun yang mungkin tak terbendung lagi. Hei, tegakkan kepalamu! Tak ada yang menakutkan dari seseorang yang menyatakan perasaan cintanya kepada seseorang yang disayanginya. Tak mungkin mengerikan ketika dua orang yang ada di hadapanmu itu saling mengungkapkan perasaan, lalu memutuskan untuk menjalin komitmen satu sama lain. Harapan akan cintamu mungkin saja berhenti, tapi tidak dengan kehidupanmu.
            Kemudian kau menengadahkan wajahmu, memandangi langit malam, mencoba untuk menaruh harapan di atas awan dan menghitung bintang hanya untuk sekadar menenangkan perasaanmu. Namun, kembali kau tunduk dan kini wajahmu tenggelam bersama siluet yang perlahan temaram oleh cahaya bulan, cahaya matamu pun sudah tak hidup lagi. Tak sama lagi ketika kau pertama kali mengagumi sebuah pribadi yang terlihat lain malam ini. Entah apa yang mereka bicarakan. Kau tak tahu dan tak pernah mau tahu, pura-pura tak tahu padahal kau mengerti, terlihat tenang tapi itu adalah diam yang amat kosong. Bahkan, sempat-sempatnya kau menutup telinga dengan telapak tanganmu, padahal hanya dengan memandang sekalipun kau sudah mengerti bahwa sosok yang kau kagumi itu akan dan telah berbeda setelah malam ini.
            Kau menggerak-gerakkan kakimu, itu adalah caramu agar tetap terlihat biasa. Tapi, kau tetap saja terlihat bodoh berada di antara dua orang yang saling mengungkapkan perasaan, yang sejak awal kau berharap bahwa kaulah yang berdiri di tempat itu. Bukannya duduk untuk menjadi penonton atas keberhasilan seseorang yang kau kagumi, menyatakan perasaannya kepada seseorang yang seharusnya mengerti bahwa kau sangat ingin berada di posisinya saat ini. Kau memang bodoh.
            Kembali kau terlihat tenang, mungkin kau berusaha merelakan sesuatu yang baru saja ingin kau usahakan untuk kau miliki. Atau lebih tepatnya, kau berharap keajaiban akan membawamu pergi ke suatu tempat yang amat jauh. Tak ada cinta, harapan dan persahabatan lagi. Tapi, kembali kau tesadar bahwa semua itu terlalu berlebihan dan tak memiliki ujung, sementara kau sendiri percaya bahwa segala sesuatu yang memiliki awal pasti akan berakhir. Entah bagaimana lagi kau memainkan perasaan dan logikamu, yang pasti kau menyadari bahwa semuanya tak sama lagi.
            Tanganmu masih menggenggam satu sama lain. Berkali-kali kau meyakinkan dirimu tapi kembali kau ragu dengan caramu meyakinkan dirimu sendiri. Lalu, mengapa kau tak marah saja, menumpahkan semua amarahmu dan katakan apa yang sangat ingin kau katakan jauh sebelum kau tahu bahwa kau akan berada di situasi seperti ini. Kau bukan malaikat yang bisa merelakan perasaanmu terbawa arus hanya demi kebahagiaan orang lain. Bukan malaikat yang mau melakukan apa saja demi kebahagiaan sahabatnya. Pikirkanlah, apa yang lebih menyakitkan dari cinta tak terbalas dan penghianatan seorang sahabat?
            Ya. Kau bukan malaikat tapi kau orang bijak, berhak mengatakan apapun yang ingin kau katakan tapi kau bukan orang egois. Segalanya bisa saja berubah tapi jangan pernah bermain-main dengan takdir. Ingat, hanya nasib yang dapat diubah, bukan takdir.
            Kau berdiri tapi bukan akhir. Ini adalah awal, awal dari sesuatu yang jelas telah berakhir, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya belum siap kau dengar untuk membawamu ke ujung jalan. Memang benar kau telah berada di ujung jalan, tapi perasaanmu kembali terkuak, membawamu kembali ke persimpangan yang gelap tanpa setitik cahaya pun. Persimpangan itu seperti persimpangan yang pernah kau temui dulu ketika pintu hati yang telah lama tertutup kembali kau buka. Namun, ada yang membedakannya. Persimpangan kali ini seakan membuat pergerakanmu terbatas, mungkin karena penerangan yang tak ada atau memang kau ragu dengan apa yang akan kau hadapi. Jurang jika kau salah melangkah dan jalan setapak ketika kau melangkah dengan perasaan yang kau tuntun, bukan perasaan yang menuntunmu.
            Apa lagi yang kau tunggu. Tinggalkan tempat itu! tidakkah kau sadar bahwa kini pijakanmu sangat rapuh. Sepandai apapun kau memainkan perasaanmu sendiri, tetap saja di sini kau sudah kalah. Kau sudah kalah dan memang logikamu seharusnya sudah kalah sejak awal. Jadi, apa lagi yang kau tunggu?
            Kau menyeka air matamu, akhirnya kau tak mampu menahannya lagi. Biarkan, jangan pernah menghalangi aliran luka yang menganak sungai di pipimu. Tinggalkan perih itu seiring menguapnya harapan yang akan menggantung di awan, bersama aliran yang akan berakhir di hulu, menyatu dengan asinnya air laut yang tentu saja akan menambah perih yang jelas terkuak, seketika setelah orang yang kau kagumi dan sahabatmu saling menatap dari jarak yang begitu dekat. Seketika uap yang telah sempurna menggantung di awan itu tiba-tiba mendung. Mungkin beban yang ditanggungnya sudah tak terbendung lagi, kini hatimu diselubungi awan hitam, terjadi mendung di hatimu. Mendung di musim kemarau sangat menakutkan bukan, akan ada petir yang menyambar-nyambar dan goresan kilat yang membelah angkasa. Apa kau tidak takut?
            Ahh. Apa yang perlu ditakutkan dari peristiwa manusiawi seperti ini. Cinta tak terbalas dan sebuah penghianatan adalah hal lumrah yang dapat ditemui di belahan bumi manapun. Berlari tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan berlari, kau akan membelakangi yang keberadaannya sudah jelas terpampang di depan mata. Mungkin memang benar kau tak lagi melihat yang tak ingin kau lihat. Tapi, apa kau tak ingin sejenak memahami apa yang tak ingin kau lihat itu? apa kau tidak ingin memahami sesuatu yang belum pernah kau dengar dan apakah kau ingin selamanya hidup dalam kepura-puraan? Kekecewaan akan lebih mendewasakan daripada kemunafikan. Kau tahu itu kan? Jelas kau tahu karena kau adalah orang yang amat bijaksana.
            Kau memang setegar kaktus di sebuah padang pasir yang luas. Tapi, semua orang juga tahu bahwa kaktus tak akan pernah menolak jika ditawarkan sepercik, setetes bahkan segelas air. Namun, kaktus tetaplah kaktus dan semua orang terlanjur mengenali mereka sebagai sosok yang tegar, ada atau tanpa air sekalipun. Sekarang, kutawarkan kau tiga pilihan. Yang pertama, tetaplah menjadi kaktus di tengah-tengah kehidupan mereka dengan memperkenalkan diri bahwa kau adalah kaktus yang tak pernah membutuhkan air untuk kesejukanmu, kemudian kau akan hidup abadi bersama kemunafikanmu. Yang kedua, katakan bahwa kau adalah kaktus yang juga membutuhkan kesejukan dari sepercik air yang telah lama kau nantikan, maka kau akan terlihat sempurna sebagai orang yang kalah dan hiduplah bersama rasa malu yang akan kau bawa sampai mati. Dan yang ketiga, hiduplah di tengah-tengah kehidupan mereka seperti kaktus yang dibicarakan oleh orang banyak, tanpa mereka sadari bahwa kau membutuhkan kesejukan. Tapi, kau akan terlihat sebagai seorang pengecut dan hiduplah dengan tenang bersama dengan jiwamu yang telah mati. Kelak jiwa itulah yang akan kembali menemuimu ketika kau benar-benar telah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar