Kau masih duduk di tempat yang
seakan mati bersama harapanmu, tanganmu masih mengepal menahan apapun yang
mungkin tak terbendung lagi. Hei, tegakkan kepalamu! Tak ada yang menakutkan
dari seseorang yang menyatakan perasaan cintanya kepada seseorang yang
disayanginya. Tak mungkin mengerikan ketika dua orang yang ada di hadapanmu itu
saling mengungkapkan perasaan, lalu memutuskan untuk menjalin komitmen satu
sama lain. Harapan akan cintamu mungkin saja berhenti, tapi tidak dengan
kehidupanmu.
Kemudian
kau menengadahkan wajahmu, memandangi langit malam, mencoba untuk menaruh
harapan di atas awan dan menghitung bintang hanya untuk sekadar menenangkan
perasaanmu. Namun, kembali kau tunduk dan kini wajahmu tenggelam bersama siluet
yang perlahan temaram oleh cahaya bulan, cahaya matamu pun sudah tak hidup
lagi. Tak sama lagi ketika kau pertama kali mengagumi sebuah pribadi yang
terlihat lain malam ini. Entah apa yang mereka bicarakan. Kau tak tahu dan tak
pernah mau tahu, pura-pura tak tahu padahal kau mengerti, terlihat tenang tapi
itu adalah diam yang amat kosong. Bahkan, sempat-sempatnya kau menutup telinga
dengan telapak tanganmu, padahal hanya dengan memandang sekalipun kau sudah
mengerti bahwa sosok yang kau kagumi itu akan dan telah berbeda setelah malam
ini.
Kau
menggerak-gerakkan kakimu, itu adalah caramu agar tetap terlihat biasa. Tapi,
kau tetap saja terlihat bodoh berada di antara dua orang yang saling
mengungkapkan perasaan, yang sejak awal kau berharap bahwa kaulah yang berdiri
di tempat itu. Bukannya duduk untuk menjadi penonton atas keberhasilan
seseorang yang kau kagumi, menyatakan perasaannya kepada seseorang yang
seharusnya mengerti bahwa kau sangat ingin berada di posisinya saat ini. Kau
memang bodoh.
Kembali
kau terlihat tenang, mungkin kau berusaha merelakan sesuatu yang baru saja
ingin kau usahakan untuk kau miliki. Atau lebih tepatnya, kau berharap
keajaiban akan membawamu pergi ke suatu tempat yang amat jauh. Tak ada cinta,
harapan dan persahabatan lagi. Tapi, kembali kau tesadar bahwa semua itu
terlalu berlebihan dan tak memiliki ujung, sementara kau sendiri percaya bahwa
segala sesuatu yang memiliki awal pasti akan berakhir. Entah bagaimana lagi kau
memainkan perasaan dan logikamu, yang pasti kau menyadari bahwa semuanya tak
sama lagi.
Tanganmu
masih menggenggam satu sama lain. Berkali-kali kau meyakinkan dirimu tapi
kembali kau ragu dengan caramu meyakinkan dirimu sendiri. Lalu, mengapa kau tak
marah saja, menumpahkan semua amarahmu dan katakan apa yang sangat ingin kau
katakan jauh sebelum kau tahu bahwa kau akan berada di situasi seperti ini. Kau
bukan malaikat yang bisa merelakan perasaanmu terbawa arus hanya demi
kebahagiaan orang lain. Bukan malaikat yang mau melakukan apa saja demi
kebahagiaan sahabatnya. Pikirkanlah, apa yang lebih menyakitkan dari cinta tak
terbalas dan penghianatan seorang sahabat?
Ya.
Kau bukan malaikat tapi kau orang bijak, berhak mengatakan apapun yang ingin
kau katakan tapi kau bukan orang egois. Segalanya bisa saja berubah tapi jangan
pernah bermain-main dengan takdir. Ingat, hanya nasib yang dapat diubah, bukan
takdir.
Kau
berdiri tapi bukan akhir. Ini adalah awal, awal dari sesuatu yang jelas telah
berakhir, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya belum siap kau
dengar untuk membawamu ke ujung jalan. Memang benar kau telah berada di ujung
jalan, tapi perasaanmu kembali terkuak, membawamu kembali ke persimpangan yang
gelap tanpa setitik cahaya pun. Persimpangan itu seperti persimpangan yang
pernah kau temui dulu ketika pintu hati yang telah lama tertutup kembali kau
buka. Namun, ada yang membedakannya. Persimpangan kali ini seakan membuat
pergerakanmu terbatas, mungkin karena penerangan yang tak ada atau memang kau
ragu dengan apa yang akan kau hadapi. Jurang jika kau salah melangkah dan jalan
setapak ketika kau melangkah dengan perasaan yang kau tuntun, bukan perasaan
yang menuntunmu.
Apa
lagi yang kau tunggu. Tinggalkan tempat itu! tidakkah kau sadar bahwa kini
pijakanmu sangat rapuh. Sepandai apapun kau memainkan perasaanmu sendiri, tetap
saja di sini kau sudah kalah. Kau sudah kalah dan memang logikamu seharusnya
sudah kalah sejak awal. Jadi, apa lagi yang kau tunggu?
Kau
menyeka air matamu, akhirnya kau tak mampu menahannya lagi. Biarkan, jangan
pernah menghalangi aliran luka yang menganak sungai di pipimu. Tinggalkan perih
itu seiring menguapnya harapan yang akan menggantung di awan, bersama aliran
yang akan berakhir di hulu, menyatu dengan asinnya air laut yang tentu saja
akan menambah perih yang jelas terkuak, seketika setelah orang yang kau kagumi
dan sahabatmu saling menatap dari jarak yang begitu dekat. Seketika uap yang
telah sempurna menggantung di awan itu tiba-tiba mendung. Mungkin beban yang
ditanggungnya sudah tak terbendung lagi, kini hatimu diselubungi awan hitam,
terjadi mendung di hatimu. Mendung di musim kemarau sangat menakutkan bukan,
akan ada petir yang menyambar-nyambar dan goresan kilat yang membelah angkasa.
Apa kau tidak takut?
Ahh.
Apa yang perlu ditakutkan dari peristiwa manusiawi seperti ini. Cinta tak
terbalas dan sebuah penghianatan adalah hal lumrah yang dapat ditemui di
belahan bumi manapun. Berlari tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan berlari,
kau akan membelakangi yang keberadaannya sudah jelas terpampang di depan mata.
Mungkin memang benar kau tak lagi melihat yang tak ingin kau lihat. Tapi, apa
kau tak ingin sejenak memahami apa yang tak ingin kau lihat itu? apa kau tidak
ingin memahami sesuatu yang belum pernah kau dengar dan apakah kau ingin
selamanya hidup dalam kepura-puraan? Kekecewaan akan lebih mendewasakan
daripada kemunafikan. Kau tahu itu kan? Jelas kau tahu karena kau adalah orang
yang amat bijaksana.
Kau
memang setegar kaktus di sebuah padang pasir yang luas. Tapi, semua orang juga
tahu bahwa kaktus tak akan pernah menolak jika ditawarkan sepercik, setetes
bahkan segelas air. Namun, kaktus tetaplah kaktus dan semua orang terlanjur
mengenali mereka sebagai sosok yang tegar, ada atau tanpa air sekalipun.
Sekarang, kutawarkan kau tiga pilihan. Yang pertama, tetaplah menjadi kaktus di
tengah-tengah kehidupan mereka dengan memperkenalkan diri bahwa kau adalah
kaktus yang tak pernah membutuhkan air untuk kesejukanmu, kemudian kau akan
hidup abadi bersama kemunafikanmu. Yang kedua, katakan bahwa kau adalah kaktus
yang juga membutuhkan kesejukan dari sepercik air yang telah lama kau nantikan,
maka kau akan terlihat sempurna sebagai orang yang kalah dan hiduplah bersama
rasa malu yang akan kau bawa sampai mati. Dan yang ketiga, hiduplah di
tengah-tengah kehidupan mereka seperti kaktus yang dibicarakan oleh orang
banyak, tanpa mereka sadari bahwa kau membutuhkan kesejukan. Tapi, kau akan
terlihat sebagai seorang pengecut dan hiduplah dengan tenang bersama dengan
jiwamu yang telah mati. Kelak jiwa itulah yang akan kembali menemuimu ketika
kau benar-benar telah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar