Minggu, 22 September 2013

Takdirku di Tanah Bugis



Beberapa orang berjalan beriringan membawa sesuatu yang aku sendiri tidak terlalu mengerti. Kebanyakan di antara mereka adalah perempuan kepalatiga atau mungkin kepalaempat, berpakaian kebaya dengan berbagai warna renda dan manik yang berbaris lebih rapi daripada mereka. sambil membawa sesuatu di tangannya yang setelahnya kuketahui bahwa itu adalah erang-erang, sebagian dari mereka juga terlihat memegang bawahan yang mungkin jika dilepaskan akan menyentuh tanah. Sementara beberapa orang laki-laki terlihat menggunakan songkok dan setelan dengan warna gelap dan bawahannya berupa sarung dengan motif kotak-kotak. Seperti perbesaran pada sebuah lup, rombongan itu semakin mendekat ke arahku, dari atas teras aku bisa dengan jelas menyidik mereka satu persatu. Perasaanku mulai tidak karuan. Ada apa dan mengapa. Kedua pertanyaan itu bergantian mengisi pikiranku yang sejujurnya sangat ingin kukosongkan.
Mereka sudah datang. Seru tanteku yang tidak lain adalah adik bungsu dari ibuku. Ternyata memang benar, mereka adalah tamu orang tuaku. Mengapa aku tidak menyadarinya lebih awal. Keluarga berkumpul, ada onde-onde, baje’, kue lapis, dodor dan berbagai macam makanan khas bugis lainnya. Kulihat ibu dan salah satu dari perempuan yang berkebaya marun berbincang, kemudian memperkenalkan diriku kepada perempuan itu dan selanjutnya kepada seluruh rombongannya. Kini semua mata tertuju padaku. Kepadaku yang kaku dengan senyum dan pandangan yang lirih. Satelitku berusaha menangkap semua radar yang ada tapi jangkauanku terlalu pendek, aku berhenti dan terdiam sejenak. Pertanyaan ini kembali muncul. Apakah mungkin?
Umurku baru saja menginjak delapanbelas tahun dan aku memiliki seorang kakak dengan rentan umur tiga tahun lebih tua dariku. Iya, orang tuaku ingin menjodohkan kakak dengan laki-laki pilihan mereka, pikirku. Entah kenapa aku tidak ingin mengetahuinya lebih lanjut sampai pada akhirnya, mereka, ibu, bapak dan orang-orang yang dituakan dalam keluarga mendatangiku satu persatu, mengelus kepalaku dan mengatakan sesuatu yang tak pernah ingin aku dengarkan saat itu. Katanya, ‘pilihan dari orang tua adalah yang terbaik’, ‘bapak dan ibu pun dijodohkan dan lihatlah kami sekarang’, ‘tidak enak menolaknya karena orang tua mempelai pria adalah keluarga dekat’. Di tanah bugisku semua hal tersebut telah dan harus dibenarkan, tradisi yang mengalir dengan ritme yang tetap. Kadang aku berpikir, kenapa aku harus lahir di tanah bugis. Tanah yang khas dengan berbagai pimali, budaya dan mitosnya yang baru hari ini kurasakan menghancurkan kehidupanku dalam hitungan detik. Dengan tetesan air mata kebingungan aku berharap ini hanya mimpi tapi usapan mereka yang semakin terasa itu membenarkan kenyataan dan membunuh harapanku.
Mappettu ada pun dilaksanakan di ruangan yang seluruh dindingnya adalah kayu jati khas kalimantan itu. Bau baje’ sinru’ memenuhi ruangan berbaur dengan suara tawa yang terdengar bahagia, mungkin karena mereka mengingat sebentar lagi di rumah tersebut akan diadakan pesta besar-besaran dengan kemeriahan ganrang bulo yang menambah kepiluan hati sang calon pengantin yang masih merasa di permainkan oleh adat tanah bugisnya. Terdengar mereka melakukan tawar menawar harga. Mungkin memang benar, perempuan bugis tak ada bedanya dengan barang yang diperjualbelikan di pasar. Harga disesuaikan dengan berbagai pertimbangan kualitas keturunan ataupun pendidikan, sekarang semuanya terasa semakin mengerikan.
Pernyataan awalku kembali ingin kupertanyakan. Kenapa harus aku. Kenapa bukan kakak saja. Dan jawabannya kembali menambah beban dalam benak dan batinku. Ketika mereka datang melamar, mereka disuruh memilih antara aku dan kakakku dan ternyata akulah yang dipilih. Aku delapanbelas tahun dan calon suamiku duapuluhtujuh tahun, kata calon suami adalah sesuatu yang menyesakkan untuk seorang gadis delapanbelas tahun sepertiku. Seakan menemui jalan buntu, aku pun berusaha untuk berontak tapi lagi-lagi budaya menghalangiku. Aku mengalah.
Tanggal pernikahan telah ditetapkan, satu bulan kemudian janur kuning memenuhi teras dan rumah bagian dalam, tak ketinggalan kamar pun sudah dipenuhi oleh dekor biru muda dengan bunga plastik keemasan di setiap sudutnya, berbagai macam penganan telah tertata rapi dalam stoples maupun talang-talang seng yang berjejer di sudut ruangan bagian paling dalam. Setengah dari ruangan ini seakan dipenuhi oleh makanan yang berlimpah ruah, membuatku berpikir apakah ini akan habis dalam waktu beberapa hari ke depan, apakah ini tidak kebanyakan dan apakah tidak berlebihan. Ya, ini terlalu berlebihan untuk acara yang diharapkan kesakralannya. Tapi inilah tradisi bugisku, tradisi yang kental akan adat istiadat dan budayanya. Tak mungkin dihapuskan begitu saja sekalipun oleh proses yang cukup panjang.
Kini bau dupa memenuhi ruangan. Pagi tadi aku dimandikan, disiram secara bergantian oleh ibu dan bapak. Aku merasakan percik-percik air dari rangkaian dedaunan mengenai pipiku yang juga basah oleh air mata, kulihat beberapa recehan di dalam wajan yang barisi air sesekali memantulkan silau dari cahaya matahari pagi. Tradisi ini dinamakan mappassili yang dirangkaian dengan mabbessi enynying atau cukur alis. Malamnya acara mappaci akan dilaksanakan, piring-piring plastik berisi ka’ddo minynya memenuhi ruangan paling depan, beras ketan yang ditanak dengan campuran rempah-rempah khas indonesia seperti ketumbar, kayu manis dan kunyit untuk memberikan warna kuning ibarat bulan purnama yang menyilaukan mata dengan cahayanya. Kulit wajah delapanbelas tahunku kini sudah terasa menua dengan bedak dan gincu yang bersenti-senti ketebalannya, rambutku yang lurus seketika kusut oleh sasak yang mungkin nantinya akan sulit untuk diluruskan kembali. Ditambah aksesoris kepala, telinga, leher dan tangan yang membuat tubuh ini terasa sangat lelah hanya dalam hitungan menit dan lihatlah riasan dadasa’ yang berwarna hitam pekat memenuhi kening mengikuti postur wajahku yang agak lonjong, membuatku semakin tidak nyaman dan gelisah, ‘kapan ini akan berakhir?’.
Dari jendela kamarku aku melihat senja mulai ranum, redup dan tak berdaya lagi. Aku merasa matahari itu seperti keadaaanku saat ini, redup dan tak berdaya. Sesekali pandanganku tertuju pada orang-orang yang berlalu lalang di depan pintu kamarku, kudengar berbagai pujian terlontar dari mulut mereka. Sudahlah, kalian tidak mengerti perasaanku. Aku memang pernah memimpikan untuk menjadi seorang pengantin yang cantik tapi bukan sekarang.
Alunan barasanji terdengar merdu. Sekarang aku duduk bersila lengkap dengan riasan pengantin khas sulawesi selatan, kulihat daun pacar yang telah ditumbuk dengan ampas yang sesekali terlihat mengapung di genangan air berwarna merah tua, baskom kecil berisi beras dan masih dengan asap dupa yang sejujurnya aku tidak menyukai aromanya. Kurasakan dingin pada telapak tangan ketika orang-orang bergantian mengoleskan daun pacar yang dihaluskan tadi secara bergantian dengan kuas dari bulu ayam. Mulai dari pak ustaz, pak imam, kakek dari ibu, kakek dari bapak, nenek, beberapa tante dan om dan yang terakhir ibu dan bapak. Katanya, di sinilah letak kesakralan acara mappaci itu. 
Sisa riasan kemarin malam seakan masih tersisa dan hari ini kembali aku harus mengikhlaskan wajahku itu dipoles sedemikian rupa untuk acara akad nikah sore nanti. Di ruangan depan telah tertata rapi beberapa meja osing lengkap dengan bosara berisi kue-kue kering maupun basah di atasnya. Beberapa tamu yang selesai menikmati hidangan menyempatkan diri untuk melihatku, sang calon pengantin. Beberapa teman sekolah datang dengan bungkusan kado di tangan mereka, tak sedikit pun rasa prihatin terpancar dari wajah-wajah mereka, bahkan  dengan riangnya mereka mengambil gambar katanya untuk  kenang-kenangan. ‘Teman-teman, aku bahagia kalian datang tapi aku iri melihat kalian masih bisa menikmati masa muda tanpa beban dan tanggung jawab yang aku sendiri belum yakin bisa menjalaninya dan sejujurnya bagaimana keabadian dalam  potret itu berjalan beriringan dengan kenangan dan masa depanku, aku belum tahu dan yakin’.
Beberapa menit lagi acara akan segera dimulai, semuanya terlihat menyibukkan diri menyambut calon mempelai pria, calon suamiku. Semua keluarga, kerabat dan tetangga terlihat sudah tidak sabar menantikan kedatangan calon mempelai pria. Di sini tubuhku masih terpaku, duduk menunggu takdirku. ‘apa yang akan terjadi setelah ini?’.
Alunan ganrang bulo terdengar menggebu-gebu, ritmenya terdengar makin cepat. Mungkin calon suamiku sudah tiba di depan rumah. Terdengar sorakan riuh yang merambat sampai ke gendang telingaku melalui medium udara yang menyesakkan, mungkin calon suamiku sudah menginjakkan kakinya di anak tangga pertama. Gemuruh langkah kaki beberapa orang di ruang depan semakin menjadi-jadi, mungkin calon suamiku baru saja melangkahkan kakinya ke pintu. Kulihat ibu siaga di sampingku serta imam kampung dengan surat-surat penting ditangannya, sepertinya calon suamiku sebentar lagi melangkahkan kaki ke arah tempatku duduk. Peristiwa beruntut ini terasa begitu cepat mengalahkan degup jantungku, peluh seakan menetes dari keningku begitupun dengan air mata kepasrahanku. Aku menahan diri, tangan dan kakiku seakan menyentuh batu es, dingin dan kaku. Aku berusaha mengimbangi keadaanku sendiri, menunduk dan mengatur deruh napasku. Kudengar langkah itu makin mendekat, kulihat punggung kakinya, bawahan berwarna keemasan, atasan dengan badik di pinggang, tangan kanan memegang kipas dan yang kiri menjinjing bawahan yang keemasan itu, wajahnya. Wajah yang kutatap sedetik, wajah asing itu sebentar lagi akan menjadi suamiku.
Makassar, 9 Mei 2013
Inspirasi: Pertunjukan drama Perempuan dalam Etalase

Tidak ada komentar:

Posting Komentar