Beberapa
orang berjalan beriringan membawa sesuatu yang aku sendiri tidak terlalu
mengerti. Kebanyakan di antara mereka adalah perempuan kepalatiga atau mungkin kepalaempat,
berpakaian kebaya dengan berbagai warna renda dan manik yang berbaris lebih
rapi daripada mereka. sambil membawa sesuatu di tangannya yang setelahnya
kuketahui bahwa itu adalah erang-erang,
sebagian dari mereka juga terlihat memegang bawahan yang mungkin jika
dilepaskan akan menyentuh tanah. Sementara beberapa orang laki-laki terlihat
menggunakan songkok dan setelan dengan warna gelap dan bawahannya berupa sarung
dengan motif kotak-kotak. Seperti perbesaran pada sebuah lup, rombongan itu
semakin mendekat ke arahku, dari atas teras aku bisa dengan jelas menyidik
mereka satu persatu. Perasaanku mulai tidak karuan. Ada apa dan mengapa. Kedua
pertanyaan itu bergantian mengisi pikiranku yang sejujurnya sangat ingin
kukosongkan.
Mereka
sudah datang. Seru tanteku yang tidak lain adalah adik bungsu dari ibuku.
Ternyata memang benar, mereka adalah tamu orang tuaku. Mengapa aku tidak
menyadarinya lebih awal. Keluarga berkumpul, ada onde-onde, baje’, kue lapis,
dodor dan berbagai macam makanan khas bugis lainnya. Kulihat ibu dan salah satu
dari perempuan yang berkebaya marun berbincang, kemudian memperkenalkan diriku
kepada perempuan itu dan selanjutnya kepada seluruh rombongannya. Kini semua
mata tertuju padaku. Kepadaku yang kaku dengan senyum dan pandangan yang lirih.
Satelitku berusaha menangkap semua radar yang ada tapi jangkauanku terlalu
pendek, aku berhenti dan terdiam sejenak. Pertanyaan ini kembali muncul. Apakah
mungkin?
Umurku
baru saja menginjak delapanbelas tahun dan aku memiliki seorang kakak dengan rentan
umur tiga tahun lebih tua dariku. Iya, orang tuaku ingin menjodohkan kakak
dengan laki-laki pilihan mereka, pikirku. Entah kenapa aku tidak ingin
mengetahuinya lebih lanjut sampai pada akhirnya, mereka, ibu, bapak dan
orang-orang yang dituakan dalam keluarga mendatangiku satu persatu, mengelus
kepalaku dan mengatakan sesuatu yang tak pernah ingin aku dengarkan saat itu.
Katanya, ‘pilihan dari orang tua adalah yang terbaik’, ‘bapak dan ibu pun
dijodohkan dan lihatlah kami sekarang’, ‘tidak enak menolaknya karena orang tua
mempelai pria adalah keluarga dekat’. Di tanah bugisku semua hal tersebut telah
dan harus dibenarkan, tradisi yang mengalir dengan ritme yang tetap. Kadang aku
berpikir, kenapa aku harus lahir di tanah bugis. Tanah yang khas dengan berbagai
pimali, budaya dan mitosnya yang baru hari ini kurasakan menghancurkan
kehidupanku dalam hitungan detik. Dengan tetesan air mata kebingungan aku
berharap ini hanya mimpi tapi usapan mereka yang semakin terasa itu membenarkan
kenyataan dan membunuh harapanku.
Mappettu ada
pun dilaksanakan di ruangan yang seluruh dindingnya adalah kayu jati khas
kalimantan itu. Bau baje’ sinru’
memenuhi ruangan berbaur dengan suara tawa yang terdengar bahagia, mungkin
karena mereka mengingat sebentar lagi di rumah tersebut akan diadakan pesta
besar-besaran dengan kemeriahan ganrang
bulo yang menambah kepiluan hati sang calon pengantin yang masih merasa di
permainkan oleh adat tanah bugisnya. Terdengar mereka melakukan tawar menawar harga.
Mungkin memang benar, perempuan bugis tak ada bedanya dengan barang yang
diperjualbelikan di pasar. Harga disesuaikan dengan berbagai pertimbangan
kualitas keturunan ataupun pendidikan, sekarang semuanya terasa semakin
mengerikan.
Pernyataan
awalku kembali ingin kupertanyakan. Kenapa harus aku. Kenapa bukan kakak saja.
Dan jawabannya kembali menambah beban dalam benak dan batinku. Ketika mereka
datang melamar, mereka disuruh memilih antara aku dan kakakku dan ternyata akulah
yang dipilih. Aku delapanbelas tahun dan calon suamiku duapuluhtujuh tahun,
kata calon suami adalah sesuatu yang menyesakkan untuk seorang gadis
delapanbelas tahun sepertiku. Seakan menemui jalan buntu, aku pun berusaha
untuk berontak tapi lagi-lagi budaya menghalangiku. Aku mengalah.
Tanggal
pernikahan telah ditetapkan, satu bulan kemudian janur kuning memenuhi teras
dan rumah bagian dalam, tak ketinggalan kamar pun sudah dipenuhi oleh dekor biru
muda dengan bunga plastik keemasan di setiap sudutnya, berbagai macam penganan
telah tertata rapi dalam stoples maupun talang-talang seng yang berjejer di
sudut ruangan bagian paling dalam. Setengah dari ruangan ini seakan dipenuhi
oleh makanan yang berlimpah ruah, membuatku berpikir apakah ini akan habis
dalam waktu beberapa hari ke depan, apakah ini tidak kebanyakan dan apakah
tidak berlebihan. Ya, ini terlalu berlebihan untuk acara yang diharapkan
kesakralannya. Tapi inilah tradisi bugisku, tradisi yang kental akan adat
istiadat dan budayanya. Tak mungkin dihapuskan begitu saja sekalipun oleh
proses yang cukup panjang.
Kini
bau dupa memenuhi ruangan. Pagi tadi aku dimandikan, disiram secara bergantian
oleh ibu dan bapak. Aku merasakan percik-percik air dari rangkaian dedaunan
mengenai pipiku yang juga basah oleh air mata, kulihat beberapa recehan di
dalam wajan yang barisi air sesekali memantulkan silau dari cahaya matahari
pagi. Tradisi ini dinamakan mappassili
yang dirangkaian dengan mabbessi enynying
atau cukur alis. Malamnya acara mappaci
akan dilaksanakan, piring-piring plastik berisi ka’ddo minynya memenuhi ruangan paling depan, beras ketan yang
ditanak dengan campuran rempah-rempah khas indonesia seperti ketumbar, kayu
manis dan kunyit untuk memberikan warna kuning ibarat bulan purnama yang
menyilaukan mata dengan cahayanya. Kulit wajah delapanbelas tahunku kini sudah
terasa menua dengan bedak dan gincu yang bersenti-senti ketebalannya, rambutku
yang lurus seketika kusut oleh sasak yang mungkin nantinya akan sulit untuk diluruskan
kembali. Ditambah aksesoris kepala, telinga, leher dan tangan yang membuat
tubuh ini terasa sangat lelah hanya dalam hitungan menit dan lihatlah riasan dadasa’ yang berwarna hitam pekat
memenuhi kening mengikuti postur wajahku yang agak lonjong, membuatku semakin
tidak nyaman dan gelisah, ‘kapan ini akan berakhir?’.
Dari
jendela kamarku aku melihat senja mulai ranum, redup dan tak berdaya lagi. Aku merasa
matahari itu seperti keadaaanku saat ini, redup dan tak berdaya. Sesekali
pandanganku tertuju pada orang-orang yang berlalu lalang di depan pintu
kamarku, kudengar berbagai pujian terlontar dari mulut mereka. Sudahlah, kalian
tidak mengerti perasaanku. Aku memang pernah memimpikan untuk menjadi seorang
pengantin yang cantik tapi bukan sekarang.
Alunan
barasanji terdengar merdu. Sekarang aku duduk bersila lengkap dengan riasan
pengantin khas sulawesi selatan, kulihat daun pacar yang telah ditumbuk dengan
ampas yang sesekali terlihat mengapung di genangan air berwarna merah tua,
baskom kecil berisi beras dan masih dengan asap dupa yang sejujurnya aku tidak
menyukai aromanya. Kurasakan dingin pada telapak tangan ketika orang-orang
bergantian mengoleskan daun pacar yang dihaluskan tadi secara bergantian dengan
kuas dari bulu ayam. Mulai dari pak ustaz, pak imam, kakek dari ibu, kakek dari
bapak, nenek, beberapa tante dan om dan yang terakhir ibu dan bapak. Katanya,
di sinilah letak kesakralan acara mappaci
itu.
Sisa
riasan kemarin malam seakan masih tersisa dan hari ini kembali aku harus
mengikhlaskan wajahku itu dipoles sedemikian rupa untuk acara akad nikah sore
nanti. Di ruangan depan telah tertata rapi beberapa meja osing lengkap dengan bosara
berisi kue-kue kering maupun basah di atasnya. Beberapa tamu yang selesai
menikmati hidangan menyempatkan diri untuk melihatku, sang calon pengantin.
Beberapa teman sekolah datang dengan bungkusan kado di tangan mereka, tak
sedikit pun rasa prihatin terpancar dari wajah-wajah mereka, bahkan dengan riangnya mereka mengambil gambar
katanya untuk kenang-kenangan.
‘Teman-teman, aku bahagia kalian datang tapi aku iri melihat kalian masih bisa
menikmati masa muda tanpa beban dan tanggung jawab yang aku sendiri belum yakin
bisa menjalaninya dan sejujurnya bagaimana keabadian dalam potret itu berjalan beriringan dengan
kenangan dan masa depanku, aku belum tahu dan yakin’.
Beberapa
menit lagi acara akan segera dimulai, semuanya terlihat menyibukkan diri
menyambut calon mempelai pria, calon suamiku. Semua keluarga, kerabat dan
tetangga terlihat sudah tidak sabar menantikan kedatangan calon mempelai pria.
Di sini tubuhku masih terpaku, duduk menunggu takdirku. ‘apa yang akan terjadi
setelah ini?’.
Alunan
ganrang bulo terdengar menggebu-gebu,
ritmenya terdengar makin cepat. Mungkin calon suamiku sudah tiba di depan
rumah. Terdengar sorakan riuh yang merambat sampai ke gendang telingaku melalui
medium udara yang menyesakkan, mungkin calon suamiku sudah menginjakkan kakinya
di anak tangga pertama. Gemuruh langkah kaki beberapa orang di ruang depan
semakin menjadi-jadi, mungkin calon suamiku baru saja melangkahkan kakinya ke
pintu. Kulihat ibu siaga di sampingku serta imam kampung dengan surat-surat
penting ditangannya, sepertinya calon suamiku sebentar lagi melangkahkan kaki
ke arah tempatku duduk. Peristiwa beruntut ini terasa begitu cepat mengalahkan
degup jantungku, peluh seakan menetes dari keningku begitupun dengan air mata
kepasrahanku. Aku menahan diri, tangan dan kakiku seakan menyentuh batu es,
dingin dan kaku. Aku berusaha mengimbangi keadaanku sendiri, menunduk dan
mengatur deruh napasku. Kudengar langkah itu makin mendekat, kulihat punggung
kakinya, bawahan berwarna keemasan, atasan dengan badik di pinggang, tangan
kanan memegang kipas dan yang kiri menjinjing bawahan yang keemasan itu,
wajahnya. Wajah yang kutatap sedetik, wajah asing itu sebentar lagi akan
menjadi suamiku.
Makassar, 9 Mei 2013
Inspirasi: Pertunjukan drama Perempuan dalam Etalase
Tidak ada komentar:
Posting Komentar