Tak
ada yang mengerti, hanya waktu mungkin. Itu pun sekadarnya saja. Satu menit,
dua menit, tiga menit dan ya! Tangannya terjabat seperti berdoa, matanya pun
ikut dipejamkan, senyum simpul terbaca sangat jelas dari raut wajahnya dan
sesekali air muka itu terlihat kecewa kemudian sedih. Siapa yang akan memahami,
jika sanggup, akan ada satu dari sekian ribu manusia yang dapat membaca setiap
kejadian per sekonnya. Apakah dengan saling memahami maka semuanya akan
berbeda?
Waktu selalu memberikan kesempatan untuk menghitung
waktunya sendiri. Waktu di mana dia akan memohon sesuatu yang sangat ia
impi-impikan jauh sebelum waktu-waktu yang ia lalui berubah kemudian berbeda.
Tak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya dia harapkan. Karena permohonannya
hanya sebatas suara hati, hanya napasnyalah yang merambat melalui medium udara,
juga degup jantungnya. Hampir di semua waktu yang ia sempatkan untuk membuat
permohonan adalah kesempatan untuk menghidupkan harapan yang telah lama mati.
Tidak akan menjadi mustahil jika satu atau dua dari seribu satu permohonan akan
terwujud, bukan? Sepertinya satu atau dua tidak akan berlaku. Karena sejak awal
permohonannya hanya satu. Dan jika diberi kesempatan menebak, mungkin
permohonannya hanya terdiri dari dua atau tiga kata saja, karena tidak banyak
waktu yang ia habiskan untuk mengucapkan satu permohonan setiap beberapa menit
kemudian.
Kata orang-orang, berdoalah kapanpun kesempatan itu ada
dan sembari kau mengucapkan pujian-pujian kepada Tuhanmu, selipkanlah satu atau
dua permohonan di dalamnya. Maka hatimu akan merasakan sedikit ketenangan.
Tapi, baginya berdoa dan membuat permohonan itu lain. Karena dia berdoa apa
saja kapanpun dia mau, namun permohonan yang ia buat hanya satu dan hanya pada
satu waktu di setiap waktu yang berbeda. Hanya satu.
Di suatu kesempatan seseorang menuliskan bahwa keajaiban
adalah sesuatu yang berentangan dengan hukum alam* dan dikesempatan yang lain
seseorang mengatakan bahwa keajaiban hanya terjadi bagi mereka yang
meyakininya. Bagaimana mungkin orang lemah, seseorang yang hanya menghabiskan
lebih banyak waktunya untuk menunggu, bisa memahami hal serumit itu. Andai
sanggup ia sangat ingin menggenggam keajaiban itu, memberi ruang dan melengkapi
waktunya yang telah banyak terbuang. Tapi, bagaimana mungkin ia sanggup
menyaksikan pertentangan itu sementara ia belum meyakini bahkan takut memulai
untuk meyakini. Dan sebenarnya, keajaiban macam apa yang ia harapkan. Keajaiban
dunia nyata ataukah mungkin hanya sebatas harapan di dunia imaji? Jika iya dan
jika tidak, kenapa dia harus menutup mata, tersenyum, lalu kecewa kemudian
sedih?
Melaui waktu dan berakhir pada satu waktu. Aneh memang.
Dia, mungkin hanya dialah yang melakukan hal bodoh itu. Memercayai kesakralan
di mana waktu menunjukkan jam dan menit yang sama. Sama konyolnya dengan
membuat permohonan ketika bintang jatuh ataupun meyakini sebuah ramalan bintang.
“ kembalikan dia”. Katanya di suatu malam. Tapi, apa yang
terjadi sebenarnya? Hal besar apa yang membuatnya tak lagi bungkam. Dia menangis,
sangat sakit mungkin. Dia menunduk dan bahunya terguncang sangat hebat,
mematung dan air mata itu membentuk lautan kecil di kakiya. Apa yang terjadi?
Tak ada lagi kegiatan menutup mata, tersenyum, lalu kecewa kemudian sedih. Kali
ini tak ada jedah panjang setelah membuat permohonan. Dia tak lagi menutup mata
karena sesegera mungkin dia ingin bangun dari keterpurukan, tak lagi tersenyum
karena harapan itu selamanya hanya harapan, dan tak lagi kecewa karena
seharusnya dari awal dia tahu bahwa yang telah pergi haruslah diikhlaskan.
Tapi, biarkan dia tetap sedih, karena selamanya dia tak akan pernah bisa
memahami.
Spesial thanks .
. .
Anggi,
Hume dan Naruto Shippuden ^_0
Pembaca aneh: Rahmat Ramdhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar