Selasa, 22 Oktober 2013

Resensi Buku Pengantar Ilmu Sastra



A.  Identitas Buku
Judul                    : Pengantar Ilmu Sastra
Penulis                 : Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn
Penerjemah          : Dick Hartoko
Penerbit               : PT Gramedia   
Tahun Terbit        :1984
Jumlah halaman   : 223
B.  Sinopsis
Pada dasarnya ilmu sastra dan bahasa memilki kaitan namun pelajaran sastra perlu diberikan secara tersendiri, tetapi ada juga alasan untuk membaurkan pengajaran bahasa dan sastra. Tidak sedikit pengertian sastra yang ada, karena tidak bisa dipungkiri bahwa sastra terus berkembang dan definisi mengikuti alur perkembangan itu.
Berbicara tentang sastra, tentu tak pernah lepas dari penikmat karya sastra yang notabennya adalah masyarakat pada umumnya. Sastra dan masyarakat terbagi menjadi dua yaitu mimesis(penjiplakan) dan fiksionalitas(menciptakan sebuah dunia sendiri).  Pertanyaan yang sering muncul adalah, seperti apa hubungan sastra dan masyarakat dan sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Menurut Plato, karya sastra sepenuhnya menjiplak kenyataan. Namun, Aristoteles beranggapan bahwa karya sastra tidak sepenuhnya menjiplak, melainkan merupakan proses kreatif, penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, mencitakan sesuatu yang baru. Sementara Marx dan Lenin memandang hubungan sastra dan masyarakat dari segi tatanan masyarakat. Lenin berpendapat bahwa karya sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan, sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat.
Di lain sisi, kaum formalis beranggapan bahwa sastra sama seperti seni yang lainnya, memunyai kemampuan untuk memperlihatkan kenyataan dengan suatu cara baru. Dengan demkian, kita menjadi lebih sadar akan kenyataan menurut sifat yang sesungguhnya. Setelah kaum formalis, muncul pula kaum strukturalis yang memliki pandangan tidak jauh berbeda namun kaum strukturalisme sangat mementingkan penelitian empirisme.
Jika di Eropa Timur berkembang aliran strukturalisme dan formalisme lebih kepada sifat-sifat umum kesastraan, maka di Eropa Barat kemudian di Amerika Serikat muncullah aliran-aliran yang menekuni analisa, tafsiran, dan evaluasi tiap-tiap karya sastra. Yang pertama adalah New Criticism yang menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Mereka bertugas untuk “ memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti ditawarkan kita pada sastra agung”. Sehingga, perhatian kita kembali terarahkan pada teks sastra itu sendiri. Dan yang kedua adalah Postrukturalisme atau Dekonstruksi yang lebih fokus ke arah pembaca. Para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks menceminkan kenyataan. Sebaliknya, teks membangun kenyataan.
Penilain-penilaian terhadap karya sastra tidaklah sama dari zaman ke zaman, itu disebabkan karena setiap karya yang lahir mewakili zamannya. Perubahan penilaian tentu saja berkaitan dengan perubahan dalam keadaan sosial dan historik masyarakat dan dengan pandangan mengenai sastra yang berubah. Perbedaan dalam penilaian tidak hanya terjadi dari zaman ke zaman, tetapi dalam kurun waktu yang sama kelihatan juga antara pembaca-pembaca dari berbagai aliran.
Berbicara tentang penilaian berarti kita tidak lepas dari peranan pembaca. di sini akan dibahas mengenai pembaca di dalam teks yaitu pembaca yang benar-benar memahami isi dan maksud yang ingin disampaikan oleh teks tersebut. Jika benar begitu, maka mereka telah mencapai estetika pembaca. untuk itu dibutuhkan pengolahan teks untuk mempermudah pembaca dalam menilai teks-teks sastra.
Secara umum ilmu sastra meneliti sekelompok teks tertentu. Teks-teks ditinjau sebagai pesan-pesan di dalam situasi komunikasi yang merupakan ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis dan pragmatik merupakan suatu kesatuan. Dalam sebuah teks tidaklah penting seberapa panjang teks tersebut. melainkan seberapa jelas teks itu diterjemahkan dan dianalisa yang pada akhirnya melahirkan sebuah tema. Untuk memahami teks dibutuhkan konteks yang merupakan acuan dari sebuah teks.
Pesatnya perkembangan sastra mengakibatkan dibaginya sastra menjadi berbagai jenis (genre). Pembagian itu didasarkan pada situasi bahasa, isi abstrak, tematik, gaya, akibat pragmatik dan bentuk material dan lahiriah. Pembagian itu kemudian hadir karena sukar dicapai kata sepakat mengenai ciri-ciri sastra yang berlaku umum, maka untuk menjabarkan modul-modul analisa jenis-jenis yang ada dijadikan tolok ukur, tanpa meragukan sahnya pembagian menurut jenis-jenis itu.
Setelah membahas teks secara umum, selanjutnya akan dibahas teks-teks naratif yang tidak dibatasi oleh teks sastra saja. Melainkan juga warta berita, laporan surat kabar dan sebagainya. Membicarakan teks naratif berarti membahas tentang teks dan juru bicara. Biasanya, seorang juru bicara mengutip sebuah teks untuk dibagikan ke pendengar dengan tujuan agar yang mendengar menangkap pesan yang telah dikirim. Ada pun objek yang difokalisasi, susunan dunia rekaan adalah tokoh-tokoh, ruang, penyajian peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan dalam kurun waktu.
Berbeda dengan teks naratif yang merupakan teks yang tidak bersifat dialog, teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur. Tidak hanya drama yang berbobot sastra, melainkan juga panggung terbuka. Dialog merupakan situasi bahasa utama dalam sebuah drama dan pertimbangan selanjutnya adalah mutlak atau tidaknya drama itu dan yang terakhir yang tidak kalah penting dalam teks drama adalah teks samping atau petunjuk-petunjuk untuk pementasan.
Selanjutnya adalah teks puisi yang merupakan teks-teks yang monolog, yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu, teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Pandangan Luxemburg dan kawan-kawan mengenai puisi sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka dengan puisi barat pada abad ke-19 dan ke-20. Pembangunan tema terjadi dengan cara-cara yang lain daripada dalam teks-teks naratif atau drama. Banyak tidak diungkapkan secara eksplisit. Kaidah-kaidah logika bahasa tidak berlaku. Pola-pola semantik sangat diperlukan sedemikian rupa, sehingga pembaca sendiri harus menafsirkannya. Variasi dalam hal sintaksis, bunyi, dan bentuk sajak merupakan gejala-gejala formal yang juga memunyai artinya.
Tematik yang merupakan ciri umum dalam sebuah puisi memiliki tiga pengembangan yang sangat khas yaitu melalui momen perbuatan, melalui kontras dan melalui penjumlahan. Selain tema, ciri lain dalam puisi adalah pola-pola makna (semantik sajak, bahasa kiasan dan pengungkapan yang tidak langsung), sintaksis, bunyi, versifikasi (sajak suku kata, metrum dan irama, rima dan skema rima dan bait), dan tata muka.
Dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang dan dewasa ini juga reaksi dari pihak pembaca. ini semuanya dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra, seperti misalnya perkembangan sosial dan filsafat. Sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya.
Penulisan sejarah sastra pada abad ke-19
Pada bagian kedua abad sembilan belas terjadi pengumpulan teks-teks kono sebagai kebutuhan akan tinjauan-tinjauan historik agar dengan demikian warisan kebudayaan dapat dipandang dalam perspektif sejarah dan sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Adapun filsafat positivisme bertolak pada prinsip kausalitas.
Formalisme, Strukturalisme, dan Sejarah Resepsi
Formalisme: Sjklovski berpendapat bahwa tugas khas kesenian adalah mengajak manusia melihat dunia yang meliputinya dengan suatu cara baru. Seperti semua bentuk, maka bentuk kesenian pun tunduk kepada automatisme pengamatan. Ini berarti bahwa seni, bila ingin memenuhi tugasnya yang khas itu, selalu harus memperbaharui diri, selalu harus menciptakan bentuk-bentuk baru.
Strukturalisme: Bila seorang ahli sejarah sastra mengetahui struktur-struktur sastra pada suatu saat tertentu, ia dapat menilai sejauh mana kemungkinan-kemungkinan dipergunakan yang terkandung dalam situasi yang bersangkutan.
Sejarah Resepsi: Baik Vodicka maupun Jauss menerapkan teori mereka dalam praktek dan melukiskan bagian-bagian dari sastra Ceko dan Jerman dalam perkembangannya dari abad ke abad. Dari karya-karya mereka nampaklah bahwa paket tugas yang oleh teori penulisan sejarah sastra dibebankan kepada peneliti sejarah sastra, tidak mudah dlaksanakan. Sekalipun demikian pandangan pandangan mereka telah memberikan dorongan baru bagi penulisan sejarah sastra.


C.  Timbangan Buku
a.       Kelebihan: Pembahasan dalam buku ini cukup bertahap, pembahasan dari satu bab ke bab selanjutnya selalu berkaitan satu sama lain sehingga mudah dimengerti dan pemahaman pembaca lebih terstruktur.
b.      Kekurangan: Karena buku ini merupakan buku terjemahan, sehingga ada beberapa kalimat yang terasa rancuh dan sulit untuk dipahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar