A. Identitas Buku
Judul :
Pengantar Ilmu Sastra
Penulis :
Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn
Penerjemah : Dick Hartoko
Penerbit :
PT Gramedia
Tahun Terbit :1984
Jumlah halaman : 223
B. Sinopsis
Pada dasarnya ilmu sastra dan bahasa
memilki kaitan namun pelajaran sastra perlu diberikan secara tersendiri, tetapi
ada juga alasan untuk membaurkan pengajaran bahasa dan sastra. Tidak sedikit
pengertian sastra yang ada, karena tidak bisa dipungkiri bahwa sastra terus
berkembang dan definisi mengikuti alur perkembangan itu.
Berbicara tentang sastra, tentu tak
pernah lepas dari penikmat karya sastra yang notabennya adalah masyarakat pada
umumnya. Sastra dan masyarakat terbagi menjadi dua yaitu mimesis(penjiplakan)
dan fiksionalitas(menciptakan sebuah dunia sendiri). Pertanyaan yang sering muncul adalah, seperti
apa hubungan sastra dan masyarakat dan sejauh mana sastra mencerminkan
kenyataan. Menurut Plato, karya sastra sepenuhnya menjiplak kenyataan. Namun,
Aristoteles beranggapan bahwa karya sastra tidak sepenuhnya menjiplak,
melainkan merupakan proses kreatif, penyair, sambil bertitik pangkal pada
kenyataan, mencitakan sesuatu yang baru. Sementara Marx dan Lenin memandang
hubungan sastra dan masyarakat dari segi tatanan masyarakat. Lenin berpendapat
bahwa karya sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan, sastra dapat dan harus
turut membangun masyarakat.
Di lain sisi, kaum formalis beranggapan
bahwa sastra sama seperti seni yang lainnya, memunyai kemampuan untuk
memperlihatkan kenyataan dengan suatu cara baru. Dengan demkian, kita menjadi
lebih sadar akan kenyataan menurut sifat yang sesungguhnya. Setelah kaum
formalis, muncul pula kaum strukturalis yang memliki pandangan tidak jauh
berbeda namun kaum strukturalisme sangat mementingkan penelitian empirisme.
Jika di Eropa Timur berkembang aliran
strukturalisme dan formalisme lebih kepada sifat-sifat umum kesastraan, maka di
Eropa Barat kemudian di Amerika Serikat muncullah aliran-aliran yang menekuni
analisa, tafsiran, dan evaluasi tiap-tiap karya sastra. Yang pertama adalah New Criticism yang menuduh ilmu dan
teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya
berat sebelah. Mereka bertugas untuk “ memperlihatkan dan memelihara
pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti ditawarkan kita pada sastra
agung”. Sehingga, perhatian kita kembali terarahkan pada teks sastra itu
sendiri. Dan yang kedua adalah Postrukturalisme
atau Dekonstruksi yang lebih fokus ke
arah pembaca. Para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks menceminkan kenyataan.
Sebaliknya, teks membangun kenyataan.
Penilain-penilaian terhadap karya sastra
tidaklah sama dari zaman ke zaman, itu disebabkan karena setiap karya yang
lahir mewakili zamannya. Perubahan penilaian tentu saja berkaitan dengan
perubahan dalam keadaan sosial dan historik masyarakat dan dengan pandangan
mengenai sastra yang berubah. Perbedaan dalam penilaian tidak hanya terjadi
dari zaman ke zaman, tetapi dalam kurun waktu yang sama kelihatan juga antara
pembaca-pembaca dari berbagai aliran.
Berbicara tentang penilaian berarti kita
tidak lepas dari peranan pembaca. di sini akan dibahas mengenai pembaca di
dalam teks yaitu pembaca yang benar-benar memahami isi dan maksud yang ingin
disampaikan oleh teks tersebut. Jika benar begitu, maka mereka telah mencapai
estetika pembaca. untuk itu dibutuhkan pengolahan teks untuk mempermudah
pembaca dalam menilai teks-teks sastra.
Secara umum ilmu sastra meneliti
sekelompok teks tertentu. Teks-teks ditinjau sebagai pesan-pesan di dalam
situasi komunikasi yang merupakan ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis
dan pragmatik merupakan suatu kesatuan. Dalam sebuah teks tidaklah penting
seberapa panjang teks tersebut. melainkan seberapa jelas teks itu diterjemahkan
dan dianalisa yang pada akhirnya melahirkan sebuah tema. Untuk memahami teks
dibutuhkan konteks yang merupakan acuan dari sebuah teks.
Pesatnya perkembangan sastra
mengakibatkan dibaginya sastra menjadi berbagai jenis (genre). Pembagian itu
didasarkan pada situasi bahasa, isi abstrak, tematik, gaya, akibat pragmatik
dan bentuk material dan lahiriah. Pembagian itu kemudian hadir karena sukar
dicapai kata sepakat mengenai ciri-ciri sastra yang berlaku umum, maka untuk
menjabarkan modul-modul analisa jenis-jenis yang ada dijadikan tolok ukur,
tanpa meragukan sahnya pembagian menurut jenis-jenis itu.
Setelah membahas teks secara umum,
selanjutnya akan dibahas teks-teks naratif yang tidak dibatasi oleh teks sastra
saja. Melainkan juga warta berita, laporan surat kabar dan sebagainya.
Membicarakan teks naratif berarti membahas tentang teks dan juru bicara.
Biasanya, seorang juru bicara mengutip sebuah teks untuk dibagikan ke pendengar
dengan tujuan agar yang mendengar menangkap pesan yang telah dikirim. Ada pun
objek yang difokalisasi, susunan dunia rekaan adalah tokoh-tokoh, ruang,
penyajian peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan dalam kurun waktu.
Berbeda dengan teks naratif yang
merupakan teks yang tidak bersifat dialog, teks-teks drama ialah semua teks
yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur. Tidak
hanya drama yang berbobot sastra, melainkan juga panggung terbuka. Dialog
merupakan situasi bahasa utama dalam sebuah drama dan pertimbangan selanjutnya
adalah mutlak atau tidaknya drama itu dan yang terakhir yang tidak kalah penting
dalam teks drama adalah teks samping atau petunjuk-petunjuk untuk pementasan.
Selanjutnya adalah teks puisi yang
merupakan teks-teks yang monolog, yang isinya tidak pertama-tama merupakan
sebuah alur. Selain itu, teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Pandangan
Luxemburg dan kawan-kawan mengenai puisi sangat dipengaruhi oleh pengalaman
mereka dengan puisi barat pada abad ke-19 dan ke-20. Pembangunan tema terjadi
dengan cara-cara yang lain daripada dalam teks-teks naratif atau drama. Banyak
tidak diungkapkan secara eksplisit. Kaidah-kaidah logika bahasa tidak berlaku.
Pola-pola semantik sangat diperlukan sedemikian rupa, sehingga pembaca sendiri
harus menafsirkannya. Variasi dalam hal sintaksis, bunyi, dan bentuk sajak
merupakan gejala-gejala formal yang juga memunyai artinya.
Tematik yang merupakan ciri umum dalam
sebuah puisi memiliki tiga pengembangan yang sangat khas yaitu melalui momen
perbuatan, melalui kontras dan melalui penjumlahan. Selain tema, ciri lain
dalam puisi adalah pola-pola makna (semantik sajak, bahasa kiasan dan
pengungkapan yang tidak langsung), sintaksis, bunyi, versifikasi (sajak suku
kata, metrum dan irama, rima dan skema rima dan bait), dan tata muka.
Dalam sejarah sastra dibahas
periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang
dan dewasa ini juga reaksi dari pihak pembaca. ini semuanya dapat dihubungkan
dengan perkembangan di luar bidang sastra, seperti misalnya perkembangan sosial
dan filsafat. Sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus
sejarah dan di dalam konteksnya.
Penulisan sejarah
sastra pada abad ke-19
Pada
bagian kedua abad sembilan belas terjadi pengumpulan teks-teks kono sebagai
kebutuhan akan tinjauan-tinjauan historik agar dengan demikian warisan
kebudayaan dapat dipandang dalam perspektif sejarah dan sangat dipengaruhi oleh
filsafat positivisme. Adapun filsafat positivisme bertolak pada prinsip
kausalitas.
Formalisme,
Strukturalisme, dan Sejarah Resepsi
Formalisme:
Sjklovski berpendapat bahwa tugas khas kesenian adalah mengajak manusia melihat
dunia yang meliputinya dengan suatu cara baru. Seperti semua bentuk, maka
bentuk kesenian pun tunduk kepada automatisme pengamatan. Ini berarti bahwa
seni, bila ingin memenuhi tugasnya yang khas itu, selalu harus memperbaharui
diri, selalu harus menciptakan bentuk-bentuk baru.
Strukturalisme:
Bila seorang ahli sejarah sastra mengetahui struktur-struktur sastra pada suatu
saat tertentu, ia dapat menilai sejauh mana kemungkinan-kemungkinan
dipergunakan yang terkandung dalam situasi yang bersangkutan.
Sejarah
Resepsi: Baik Vodicka maupun Jauss menerapkan teori mereka dalam praktek dan
melukiskan bagian-bagian dari sastra Ceko dan Jerman dalam perkembangannya dari
abad ke abad. Dari karya-karya mereka nampaklah bahwa paket tugas yang oleh
teori penulisan sejarah sastra dibebankan kepada peneliti sejarah sastra, tidak
mudah dlaksanakan. Sekalipun demikian pandangan pandangan mereka telah
memberikan dorongan baru bagi penulisan sejarah sastra.
C. Timbangan Buku
a. Kelebihan:
Pembahasan dalam buku ini cukup bertahap, pembahasan dari satu bab ke bab
selanjutnya selalu berkaitan satu sama lain sehingga mudah dimengerti dan
pemahaman pembaca lebih terstruktur.
b.
Kekurangan: Karena buku ini merupakan
buku terjemahan, sehingga ada beberapa kalimat yang terasa rancuh dan sulit
untuk dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar