Jumat, 04 Oktober 2013

Perhentian terakhir


Kulihat telapak tanganku mulai pucat oleh dinginnya hujan di akhir musim penghujan ini. Tampaknya langit begitu puas melihat aktivitas seluruh makhluk bumi terhambat karenanya. Sejak pagi tadi air sudah menggenangi jalanan beraspal di seluruh sudut kota, atap seng perumahan gang sempit tempatku bermukim pun seakan kelelahan dan merindukan cahaya matahari pagi yang sudah seminggu tak nampak, sekali pun hanya untuk mengeringkan jemuran yang berhari-hari lembab dan kering hanya dengan bantuan kipas angin.
Kurapatkan jaketku untuk kembali menerobos derasnya guyuran hujan. Sesekali pula aku melompat untuk menghindari genangan, yang kutakutkan jika kuinjak akan terciprat dan membasahi buku yang baru saja kubeli. Kumantapkan langkahku, menuju ke sebuah halte terdekat di tengah kota. Dan selanjutnya akan berhenti di perhentian terakhir untuk mengerjakan sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu kuselesaikan.
Kembali kulihat telapak tanganku, semakin pucat dan gemetar karena dinginnya. Seberapa seringnya pun kurapatkan jaket, tetap saja tidak akan menyelamatkan tubuhku dari dinginnya atmosfer yang mengepung. Buku yang kubeli masih kukepit dengan lenganku, berharap tidak tersentuh air hujan setetes pun, meski yang menghalanginya hanyalah sebuah kantong kresek putih yang kudapatkan dari sebuah tokoh buku ternama di kota tempatku membeli buku tersebut. Aku tidak tahu buku jenis apa yang dia sukai. Kali ini kupilih sebuah buku yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga, jangan tanya kenapa, karena bagiku judul dari buku itu mewakili kepribadian seseorang yang sebentar lagi, padanya akan kuucapkan selamat hari jadi yang ke sembilan belas.
Akhirnya bus yang kutunggu datang juga. Walaupun tak terhitung lamanya aku menunggu di sebuah halte dengan atap yang sedikit bocor. Tapi, setidaknya itu sedikit menyelamatkanku.
Sebuah bus kota berhenti tepat di hadapanku, kibasan anginya masih kurasakan sesaat setelah kulangkahkan kakiku untuk mengambil tempat paling belakang. Pakaianku masih basah. Tapi setidaknya, aku mendapatkan sedikit rasa hangat dari sebuah kursi yang mungkin baru saja ditinggalkan oleh seseorang. Kurapatkan jendela kaca agar tak sedikit pun angin masuk untuk  mengelus kulit lembabku. Seluruh persendianku terasa kaku dan kakiku terasa beku. Perhentian terakhir masih jauh, sebaiknya kubuka dulu sepatu dan kaos kakiku agar secepatnya kembali kudapatkan rasa hangat.
Kusandarkan kepalaku sejenak dan kupejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh lelahku. Mungkin setelah ini aku akan demam, kurasakan tenggorokanku mulai sakit. Bagaimana tidak, sejak pagi tadi, sejak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah untuk berangkat ke kampus, meninggalkan jam kedua untuk membeli sebuah kado kecil, aku sudah kehujanan. Tapi, bukan saatnya untuk mengeluh. Kuperkirakan akan sampai tiga puluh menit lagi, tepatnya setelah jam kedua habis, dan setelah itu aku akan memberikan sebuah buku yang kubeli kepada seseorang, kemudian kukerjakan sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu kuselesaikan.
Bus berhenti di perhentian terakhir. Hujan pun kini hanya sebatas gerimis, aku masih harus ke seberang jalan untuk menuju ke gerbang kampus. Di sinilah pertama kali kami bertemu. Saat ospek, kami mendapatkan hukuman dari para senior. Selain menanyakan nama dan hal lain, aku juga menanyakan fakultas dan prodi apa yang ia ambil. Dan ternyata prodi kami sama dan pada akhirnya kami di tempatkan di kelas yang sama pula. Sejak saat itulah aku selalu memperhatikannya, mengagumi dan selalu ingin menjaganya. Aku menyayanginya.
Kini kudapati sosoknya berjalan ke arahku, kulihat dia berjalan dengan hati-hati untuk menghindari beberapa genangan air. Aku mendekatinya dengan buku yang masih kukupit, kusembunyikan di dalam jaketku. Wajahnya yang sedari tadi menunduk memperhatikan jalan, dia angkat, dan mendapatiku basah kuyup di hadapannya. Tanpa mengulur waktu, aku pun menggenggam pergelangan tangannya, kuarahkan telapak tangannya untuk mendarat di dadaku.
“Apakah kau merasakannya? ”
“Entah apa yang kau maksud, yang pasti hanya degup jantungmulah yang kini kurasakan
“Apa kau tahu sesuatu?”
“Ceritakanlah!”
“Sebelum hari ini, sebelum kau mampu merasakan degup jantungku. Aku sudah lama berusaha untuk merasakan, menerawang, dan memahami apa yang kau rasa dan inginkan. Sejak itu, hari di mana aku menemukan diriku untuk pertama kalinya merasakan rasa ingin melindungi seorang perempuan. Yang sampai hari ini kuyakini sebagai cinta pertamaku. Apa kau tahu itu?”
“Bagaimana mungkin aku mengetahui hal yang gamblang seperti itu?”
“Ya, maksudku, setidaknya kau mampu merasakannya”.
“Aku bisa apa?”
“Mulai hari ini, belajarlah untuk lebih memahami”.
“Bagaimana jika aku tidak bisa!”
“Kalau begitu belajarlah untuk sedikit memahami”.
“Apakah itu berbeda?”
“Setidaknya, yang kedua membuatku masih punya harapan”.
“Berhentilah berharap!”
“Baiklah, tapi aku tidak akan berhenti untuk menunggu”.
Tanpa sepatah kata pun lagi, dia pergi meninggalkanku. Bahkan sebelum aku sempat memberikan buku dan ucapan selamat ulang tahun kepadanya. Kurasakan kelopak mataku basah. Mungkin aku demam.

Cinta tak terbalas
 adalah hal lumrah yang dapat ditemui di belahan bumi manapun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar