Hem.
Untuk kesekian kalinya aku berdehem. Ini bukan kode keras, melainkan tanda akut
kalau tenggorokanku sudah kering. Sudah tiga jam mungkin bila tidak keliru.
Pasalnya, aku sudah tak pandai menghitung apalagi memperkirakan jangka waktu.
Sejak kapan? Sejak mengenalmu. Tapi, kapan itu? Sudah kubilang, sejak
mengenalmu waktu mengalir begitu saja. Lebih tepatnya, waktuku mengalir dan
sekarang bermuara entah ke mana.
Bisa saja kusempatkan diriku
meninggalkan tempat ini untuk membeli minum bahkan pulang untuk mandi dan
beristirahat agar besoknya, kembali aku bisa menunggumu di tempat ini atau bisa
jadi di tempat lain. Tapi, aku butuh untuk melihatmu agar malam ini aku bisa
tidur dan tersenyum sebelum memejamkan mata, dan bukan setelahnya. Andaikan
saja ada yang pandai menyampaikan sebuah maksud, aku berharap sesuatu itu
menerobos apa saja entah tembok beton atau bahkan jalanan beraspal. Bisa saja,
sekarang, siang ini, sosoknya sudah hadir di hadapanku, sejak dua jam yang
lalu. Sekarang aku berdiri sambil mengutuk diriku sendiri yang terbiasa berucap
andai saja dan bisa saja, padahal aku paham betul bahwasanya kata-kata seperti
itu hanya memberatkan langkah dan meringankan beban akal atas beberapa
pertimbangan.
Sambil memainkan gagang pintu, aku
melemparkan pandangan ke berbagai arah sampai pada akhirnya pandanganku kembali
pada gagang pintu keemasan itu. Lelah juga kakiku ini, merindukan nyamannya
duduk namun rasaku jauh lebih merindu. Kulihat sudut pintu sudah mulai terkikis
oleh rayap. Mungkin tempat ini sudah tua atau kualitas kayunya yang kurang
bagus, atau yang lebih mungkinnya lagi kepekaanku akan segala sesuatunya
mengalami stagnasi dan fokusku hanya pada keberadaannya. Maksudku, keegoisanku
untuk mengetahui keberadaannya tanpa dia sadar akan keberadaanku.
Bosan untuk menyidik ke berbagai
arah, sejenak kutundukkan kepala. Rasanya lelah juga. Sesekali kuketuk-ketukkan
ujung sepatuku ke lantai agar tak memberi kesempatan pada kesemutan untuk
mengikis kemampuan menungguku. Kadang pula kulangkahkan kakiku ke kiri kemudian
ke kanan, ke belakang lalu kembali ke depan. Tidak akan kubiarkan kakiku
melangkah terlalu jauh, sampai pada akhirnya aku melangkah pergi dan tak tahu
kembali. Pernah suatu hari langkahku kumundurkan jauh ke belakang. Dan pada
saat yang sama, dia datang dari arahku mundur. Menyesal sudah pasti. Karena
kesukaanku adalah menyambutnya di depan pintu, bukan melihatnya melewati pintu.
Tuhan, apakah kau tak merasa
kehilangan salah satu dewa langitmu? Lihatlah dia, sangat bersahaja. Segala
sesuatu adalah kelebihan pada dirinya. Tapi, dia benar bukan dewa langit kan,
Tuhan? Buktinya dia tak pernah peka akan kehadiranku di ambang pintu, di hari
senin sampai jumat. Dia tak pernah sadar akan langkah yang berat untuk
melangkah pergi ataupun kembali, dan juga tak pernah bisa menghargai lelahku
demi pertunjukan yang hanya kunikmati barang satu-dua detik.
Ketika semua orang datang dan pergi,
ada untuk eksis. Aku hanya bisa menunggu dan tak pernah bisa menciptakan
kehidupanku sendiri. Rasaku bermain dan menari-nari di atas awan dan kabarnya
tak menemukan jalan untuk turun ke bumi. Dan ketika air hujan menyertai harapan
itu, dengan cepat tanah tandus menyerapnya tanpa ampun. Kemarau di hatiku sepertinya
memiliki periode yang panjang tahun ini.
Mataku teduh, jauh ke dalam lensanya
menampilkan pertunjukan melow drama.
Pertunjukan yang takkan pernah terlupakan sepanjang masa dengan penonton
terbanyak namun pemainnya hanya aku dan dirinya. Tidak ada pemeran pembantu
ataupun aktor dan aktris pendukung, pigurannya pun tidak jelas apakah ada atau
tidak ada. Ditambah lagi dengan sudut pandang yang tidak pariatif, hanya ada
sudut pandang orang pertama. Di mana tokoh utama dalam skenario itu tidak
memberikan kesempatan kepada tokoh selain dirinya untuk bercerita. Dia terus
bercerita dan tanpa dia sadari, ceritanya tak berhenti di antiklimaks apalagi
memiliki penyelesaian. Berhenti di klimaks dan bersambung. Sekarang sang tokoh
utama membutuhkan bantuan agar kelak, ceritanya memiliki akhir tak peduli sekalipun
itu adalah sad ending.
Sepertinya aku sudah mati rasa. Atau
mungkin rasa ini sudah kadaluarsa? Sesungguhnya sudah lelah juga menambahkan
berbagai pengawet ke dalam kisah ini. Tapi sejauh ini akan terus kulanjutkan
tak peduli formalin atau boraks, selama hatiku belum jauh terinfeksi berbagai
macam bakteri, akan terus kulanjutkan. Tidak akan menyenangkan hidup ini tanpa
rasa cinta yang diciptakan oleh pemilik cinta itu sendiri. Pertanyaannya,
sampai kapan aku menikmati rasa yang hanya kunikmati sendiri, dengan caraku
sendiri.
Sungguh tak pandai diriku ini
membuat keputusan. Sudah berjam-jam kakiku menapaki bumi dengan atmosfer yang
tidak bersahabat. Tidak ada bau parfum bermerk yang tak pernah kuketahui wujud,
harga, kemasan dan yang lainnya. Yang kukenali hanya aromanya. Tidak ada
pribadi bersahaja, tenang dan menyenangkan. Yang kusadari, sosoknya memang
benar tak menghirup oksigen yang sama denganku di ruangan ini. Apakah ini
akhir? Sad ending atau sejenisnya?
Untuk sementara akan kusimpan pertanyaanku itu untuk diriku sendiri. Kutabahkan
hatiku, kurapikan lembaran-lembaran yang menjadi tujuan awalku. Tujuan awal
untuk menanyakan beberapa soal sekolah di tempat les privat dan tujuan utama
untuk bertemu dengan seorang tentor favorit adalah bukan hal yang buruk. Tapi,
kupikir ini buruk. Karena ini hari kamis dan dia tidak datang di sebuah ruangan
yang seharusnya dia datangi bila dia benar-benar datang.
Merasa tak pantas berlama-lama di
tempat umum dengan seragam putih-abu, kuputuskan untuk melangkah dengan resiko
malamnya tak bisa tersenyum sebelum memejamkan mata. Tapi sepertinya itu lebih
manusiawi daripada menunggu berlama-lama dengan rasa yang sudah kadaluarsa. Aku
pulang. Dia tidak datang!
Makassar, 26 september 2013
Makasih
rivalku J