Senin, 30 September 2013

Bisa Jadi Sad Ending


Hem. Untuk kesekian kalinya aku berdehem. Ini bukan kode keras, melainkan tanda akut kalau tenggorokanku sudah kering. Sudah tiga jam mungkin bila tidak keliru. Pasalnya, aku sudah tak pandai menghitung apalagi memperkirakan jangka waktu. Sejak kapan? Sejak mengenalmu. Tapi, kapan itu? Sudah kubilang, sejak mengenalmu waktu mengalir begitu saja. Lebih tepatnya, waktuku mengalir dan sekarang bermuara entah ke mana.
            Bisa saja kusempatkan diriku meninggalkan tempat ini untuk membeli minum bahkan pulang untuk mandi dan beristirahat agar besoknya, kembali aku bisa menunggumu di tempat ini atau bisa jadi di tempat lain. Tapi, aku butuh untuk melihatmu agar malam ini aku bisa tidur dan tersenyum sebelum memejamkan mata, dan bukan setelahnya. Andaikan saja ada yang pandai menyampaikan sebuah maksud, aku berharap sesuatu itu menerobos apa saja entah tembok beton atau bahkan jalanan beraspal. Bisa saja, sekarang, siang ini, sosoknya sudah hadir di hadapanku, sejak dua jam yang lalu. Sekarang aku berdiri sambil mengutuk diriku sendiri yang terbiasa berucap andai saja dan bisa saja, padahal aku paham betul bahwasanya kata-kata seperti itu hanya memberatkan langkah dan meringankan beban akal atas beberapa pertimbangan.
            Sambil memainkan gagang pintu, aku melemparkan pandangan ke berbagai arah sampai pada akhirnya pandanganku kembali pada gagang pintu keemasan itu. Lelah juga kakiku ini, merindukan nyamannya duduk namun rasaku jauh lebih merindu. Kulihat sudut pintu sudah mulai terkikis oleh rayap. Mungkin tempat ini sudah tua atau kualitas kayunya yang kurang bagus, atau yang lebih mungkinnya lagi kepekaanku akan segala sesuatunya mengalami stagnasi dan fokusku hanya pada keberadaannya. Maksudku, keegoisanku untuk mengetahui keberadaannya tanpa dia sadar akan keberadaanku.
            Bosan untuk menyidik ke berbagai arah, sejenak kutundukkan kepala. Rasanya lelah juga. Sesekali kuketuk-ketukkan ujung sepatuku ke lantai agar tak memberi kesempatan pada kesemutan untuk mengikis kemampuan menungguku. Kadang pula kulangkahkan kakiku ke kiri kemudian ke kanan, ke belakang lalu kembali ke depan. Tidak akan kubiarkan kakiku melangkah terlalu jauh, sampai pada akhirnya aku melangkah pergi dan tak tahu kembali. Pernah suatu hari langkahku kumundurkan jauh ke belakang. Dan pada saat yang sama, dia datang dari arahku mundur. Menyesal sudah pasti. Karena kesukaanku adalah menyambutnya di depan pintu, bukan melihatnya melewati pintu.
            Tuhan, apakah kau tak merasa kehilangan salah satu dewa langitmu? Lihatlah dia, sangat bersahaja. Segala sesuatu adalah kelebihan pada dirinya. Tapi, dia benar bukan dewa langit kan, Tuhan? Buktinya dia tak pernah peka akan kehadiranku di ambang pintu, di hari senin sampai jumat. Dia tak pernah sadar akan langkah yang berat untuk melangkah pergi ataupun kembali, dan juga tak pernah bisa menghargai lelahku demi pertunjukan yang hanya kunikmati barang satu-dua detik.
            Ketika semua orang datang dan pergi, ada untuk eksis. Aku hanya bisa menunggu dan tak pernah bisa menciptakan kehidupanku sendiri. Rasaku bermain dan menari-nari di atas awan dan kabarnya tak menemukan jalan untuk turun ke bumi. Dan ketika air hujan menyertai harapan itu, dengan cepat tanah tandus menyerapnya tanpa ampun. Kemarau di hatiku sepertinya memiliki periode yang panjang tahun ini.
            Mataku teduh, jauh ke dalam lensanya menampilkan pertunjukan melow drama. Pertunjukan yang takkan pernah terlupakan sepanjang masa dengan penonton terbanyak namun pemainnya hanya aku dan dirinya. Tidak ada pemeran pembantu ataupun aktor dan aktris pendukung, pigurannya pun tidak jelas apakah ada atau tidak ada. Ditambah lagi dengan sudut pandang yang tidak pariatif, hanya ada sudut pandang orang pertama. Di mana tokoh utama dalam skenario itu tidak memberikan kesempatan kepada tokoh selain dirinya untuk bercerita. Dia terus bercerita dan tanpa dia sadari, ceritanya tak berhenti di antiklimaks apalagi memiliki penyelesaian. Berhenti di klimaks dan bersambung. Sekarang sang tokoh utama membutuhkan bantuan agar kelak, ceritanya memiliki akhir tak peduli sekalipun itu adalah sad ending.
            Sepertinya aku sudah mati rasa. Atau mungkin rasa ini sudah kadaluarsa? Sesungguhnya sudah lelah juga menambahkan berbagai pengawet ke dalam kisah ini. Tapi sejauh ini akan terus kulanjutkan tak peduli formalin atau boraks, selama hatiku belum jauh terinfeksi berbagai macam bakteri, akan terus kulanjutkan. Tidak akan menyenangkan hidup ini tanpa rasa cinta yang diciptakan oleh pemilik cinta itu sendiri. Pertanyaannya, sampai kapan aku menikmati rasa yang hanya kunikmati sendiri, dengan caraku sendiri.
            Sungguh tak pandai diriku ini membuat keputusan. Sudah berjam-jam kakiku menapaki bumi dengan atmosfer yang tidak bersahabat. Tidak ada bau parfum bermerk yang tak pernah kuketahui wujud, harga, kemasan dan yang lainnya. Yang kukenali hanya aromanya. Tidak ada pribadi bersahaja, tenang dan menyenangkan. Yang kusadari, sosoknya memang benar tak menghirup oksigen yang sama denganku di ruangan ini. Apakah ini akhir? Sad ending atau sejenisnya? Untuk sementara akan kusimpan pertanyaanku itu untuk diriku sendiri. Kutabahkan hatiku, kurapikan lembaran-lembaran yang menjadi tujuan awalku. Tujuan awal untuk menanyakan beberapa soal sekolah di tempat les privat dan tujuan utama untuk bertemu dengan seorang tentor favorit adalah bukan hal yang buruk. Tapi, kupikir ini buruk. Karena ini hari kamis dan dia tidak datang di sebuah ruangan yang seharusnya dia datangi bila dia benar-benar datang.
            Merasa tak pantas berlama-lama di tempat umum dengan seragam putih-abu, kuputuskan untuk melangkah dengan resiko malamnya tak bisa tersenyum sebelum memejamkan mata. Tapi sepertinya itu lebih manusiawi daripada menunggu berlama-lama dengan rasa yang sudah kadaluarsa. Aku pulang. Dia tidak datang!
            Makassar, 26 september 2013
Makasih rivalku J

           

Numpang Coret

Salam! ketika seorang penulis menuangkan imajinasinya ke sebuah wadah yang mantap dengan cetakan yang pas. Saat itulah kisah tercipta di setiap deret huruf yang mampu bercakap dengan pembacanya. Frasa yang indah sebenarnya hanyalah bonus, pesan yang sampai adalah prioritas utama, dan mampu menggugah hati pembacanya adalah penghargaan yang luar biasa. Sampai di sini saya cuma mau bilang "kenapa setiap cerpen yang saya buat cenderung melow dan nggak pernah happy ending?". Saya berharap, ke depannya bisa bikin karya happy ending yang nggak garing!

Rabu, 25 September 2013

Bermuara


Kau masih duduk di tempat yang seakan mati bersama harapanmu, tanganmu masih mengepal menahan apapun yang mungkin tak terbendung lagi. Hei, tegakkan kepalamu! Tak ada yang menakutkan dari seseorang yang menyatakan perasaan cintanya kepada seseorang yang disayanginya. Tak mungkin mengerikan ketika dua orang yang ada di hadapanmu itu saling mengungkapkan perasaan, lalu memutuskan untuk menjalin komitmen satu sama lain. Harapan akan cintamu mungkin saja berhenti, tapi tidak dengan kehidupanmu.
            Kemudian kau menengadahkan wajahmu, memandangi langit malam, mencoba untuk menaruh harapan di atas awan dan menghitung bintang hanya untuk sekadar menenangkan perasaanmu. Namun, kembali kau tunduk dan kini wajahmu tenggelam bersama siluet yang perlahan temaram oleh cahaya bulan, cahaya matamu pun sudah tak hidup lagi. Tak sama lagi ketika kau pertama kali mengagumi sebuah pribadi yang terlihat lain malam ini. Entah apa yang mereka bicarakan. Kau tak tahu dan tak pernah mau tahu, pura-pura tak tahu padahal kau mengerti, terlihat tenang tapi itu adalah diam yang amat kosong. Bahkan, sempat-sempatnya kau menutup telinga dengan telapak tanganmu, padahal hanya dengan memandang sekalipun kau sudah mengerti bahwa sosok yang kau kagumi itu akan dan telah berbeda setelah malam ini.
            Kau menggerak-gerakkan kakimu, itu adalah caramu agar tetap terlihat biasa. Tapi, kau tetap saja terlihat bodoh berada di antara dua orang yang saling mengungkapkan perasaan, yang sejak awal kau berharap bahwa kaulah yang berdiri di tempat itu. Bukannya duduk untuk menjadi penonton atas keberhasilan seseorang yang kau kagumi, menyatakan perasaannya kepada seseorang yang seharusnya mengerti bahwa kau sangat ingin berada di posisinya saat ini. Kau memang bodoh.
            Kembali kau terlihat tenang, mungkin kau berusaha merelakan sesuatu yang baru saja ingin kau usahakan untuk kau miliki. Atau lebih tepatnya, kau berharap keajaiban akan membawamu pergi ke suatu tempat yang amat jauh. Tak ada cinta, harapan dan persahabatan lagi. Tapi, kembali kau tesadar bahwa semua itu terlalu berlebihan dan tak memiliki ujung, sementara kau sendiri percaya bahwa segala sesuatu yang memiliki awal pasti akan berakhir. Entah bagaimana lagi kau memainkan perasaan dan logikamu, yang pasti kau menyadari bahwa semuanya tak sama lagi.
            Tanganmu masih menggenggam satu sama lain. Berkali-kali kau meyakinkan dirimu tapi kembali kau ragu dengan caramu meyakinkan dirimu sendiri. Lalu, mengapa kau tak marah saja, menumpahkan semua amarahmu dan katakan apa yang sangat ingin kau katakan jauh sebelum kau tahu bahwa kau akan berada di situasi seperti ini. Kau bukan malaikat yang bisa merelakan perasaanmu terbawa arus hanya demi kebahagiaan orang lain. Bukan malaikat yang mau melakukan apa saja demi kebahagiaan sahabatnya. Pikirkanlah, apa yang lebih menyakitkan dari cinta tak terbalas dan penghianatan seorang sahabat?
            Ya. Kau bukan malaikat tapi kau orang bijak, berhak mengatakan apapun yang ingin kau katakan tapi kau bukan orang egois. Segalanya bisa saja berubah tapi jangan pernah bermain-main dengan takdir. Ingat, hanya nasib yang dapat diubah, bukan takdir.
            Kau berdiri tapi bukan akhir. Ini adalah awal, awal dari sesuatu yang jelas telah berakhir, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya belum siap kau dengar untuk membawamu ke ujung jalan. Memang benar kau telah berada di ujung jalan, tapi perasaanmu kembali terkuak, membawamu kembali ke persimpangan yang gelap tanpa setitik cahaya pun. Persimpangan itu seperti persimpangan yang pernah kau temui dulu ketika pintu hati yang telah lama tertutup kembali kau buka. Namun, ada yang membedakannya. Persimpangan kali ini seakan membuat pergerakanmu terbatas, mungkin karena penerangan yang tak ada atau memang kau ragu dengan apa yang akan kau hadapi. Jurang jika kau salah melangkah dan jalan setapak ketika kau melangkah dengan perasaan yang kau tuntun, bukan perasaan yang menuntunmu.
            Apa lagi yang kau tunggu. Tinggalkan tempat itu! tidakkah kau sadar bahwa kini pijakanmu sangat rapuh. Sepandai apapun kau memainkan perasaanmu sendiri, tetap saja di sini kau sudah kalah. Kau sudah kalah dan memang logikamu seharusnya sudah kalah sejak awal. Jadi, apa lagi yang kau tunggu?
            Kau menyeka air matamu, akhirnya kau tak mampu menahannya lagi. Biarkan, jangan pernah menghalangi aliran luka yang menganak sungai di pipimu. Tinggalkan perih itu seiring menguapnya harapan yang akan menggantung di awan, bersama aliran yang akan berakhir di hulu, menyatu dengan asinnya air laut yang tentu saja akan menambah perih yang jelas terkuak, seketika setelah orang yang kau kagumi dan sahabatmu saling menatap dari jarak yang begitu dekat. Seketika uap yang telah sempurna menggantung di awan itu tiba-tiba mendung. Mungkin beban yang ditanggungnya sudah tak terbendung lagi, kini hatimu diselubungi awan hitam, terjadi mendung di hatimu. Mendung di musim kemarau sangat menakutkan bukan, akan ada petir yang menyambar-nyambar dan goresan kilat yang membelah angkasa. Apa kau tidak takut?
            Ahh. Apa yang perlu ditakutkan dari peristiwa manusiawi seperti ini. Cinta tak terbalas dan sebuah penghianatan adalah hal lumrah yang dapat ditemui di belahan bumi manapun. Berlari tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan berlari, kau akan membelakangi yang keberadaannya sudah jelas terpampang di depan mata. Mungkin memang benar kau tak lagi melihat yang tak ingin kau lihat. Tapi, apa kau tak ingin sejenak memahami apa yang tak ingin kau lihat itu? apa kau tidak ingin memahami sesuatu yang belum pernah kau dengar dan apakah kau ingin selamanya hidup dalam kepura-puraan? Kekecewaan akan lebih mendewasakan daripada kemunafikan. Kau tahu itu kan? Jelas kau tahu karena kau adalah orang yang amat bijaksana.
            Kau memang setegar kaktus di sebuah padang pasir yang luas. Tapi, semua orang juga tahu bahwa kaktus tak akan pernah menolak jika ditawarkan sepercik, setetes bahkan segelas air. Namun, kaktus tetaplah kaktus dan semua orang terlanjur mengenali mereka sebagai sosok yang tegar, ada atau tanpa air sekalipun. Sekarang, kutawarkan kau tiga pilihan. Yang pertama, tetaplah menjadi kaktus di tengah-tengah kehidupan mereka dengan memperkenalkan diri bahwa kau adalah kaktus yang tak pernah membutuhkan air untuk kesejukanmu, kemudian kau akan hidup abadi bersama kemunafikanmu. Yang kedua, katakan bahwa kau adalah kaktus yang juga membutuhkan kesejukan dari sepercik air yang telah lama kau nantikan, maka kau akan terlihat sempurna sebagai orang yang kalah dan hiduplah bersama rasa malu yang akan kau bawa sampai mati. Dan yang ketiga, hiduplah di tengah-tengah kehidupan mereka seperti kaktus yang dibicarakan oleh orang banyak, tanpa mereka sadari bahwa kau membutuhkan kesejukan. Tapi, kau akan terlihat sebagai seorang pengecut dan hiduplah dengan tenang bersama dengan jiwamu yang telah mati. Kelak jiwa itulah yang akan kembali menemuimu ketika kau benar-benar telah mati.

Minggu, 22 September 2013

Kekasih Senja




            Terkadang saya heran, kenapa seseorang menyukai dan terlalu sering menuliskan sesuatu tentang senja. Apakah seagung itu senja di mata orang-orang terlebih untukmu sendiri? Atau kau memiliki potongan cerita tentang senja yang melengkapi serpihan hidupmu yang absurd itu? Kalau memang senja adalah keindahan yang sempurna dan kebahagiaan yang terhitung lengkap. Kenapa ada hari di mana kau tidak menyaksikan senja ditelan kegelapan malam. Apakah kau pernah mendengar bahwa kata indah dan bahagia hanyalah kata-kata dari surga yang diadopsi oleh pengguna bahasa yang ada di bumi? Jika tidak, mungkin sekarang kau sudah mengetahuinya. Tidakkah kau sadar bahwa senja hanyalah ilusi semata dan keindahannya hanyalah sebatas keinginan yang berujung pada harapan, bukan kehendak atau sebuah perwujudan. Setelah senja hilang, kehidupan akan kembali dikuasai oleh kegelapan, dan sesungguhnya itulah keabadian. Kau tahu bukan, segala sesuatu berasal dari suatu ketiadaan dan semuanya bersifat linear.
            “ hari ini hujan turun dan senja tidak suka itu “. Bisikmu lirih.
            “ sudahlah, masih ada senja besok “
            “ aku kangen senja “. Katamu semakin lirih, kau menunduk dan rambut panjangmu menutupi kening dan teruarai sepenuhnya menutupi wajahmu. Dan aku tidak menyukai itu.
            Aku bisa apa? Hanya diam, berusaha memahami dengan raut wajah yang sedikit jengkel. Keberadaanku selalu dinomor duakan oleh kedatangan serpihan waktu di kala sore. Senja. Namun, ada waktu di mana aku sangat berterima kasih kepada senja, karena ketika kau menikmati senja, maka aku akan menikmati senyumanmu. Lagi-lagi aku ingin marah saja, aku menyukai seseorang yang sangat menyukai apa yang tidak kusukai. Senja.

Takdirku di Tanah Bugis



Beberapa orang berjalan beriringan membawa sesuatu yang aku sendiri tidak terlalu mengerti. Kebanyakan di antara mereka adalah perempuan kepalatiga atau mungkin kepalaempat, berpakaian kebaya dengan berbagai warna renda dan manik yang berbaris lebih rapi daripada mereka. sambil membawa sesuatu di tangannya yang setelahnya kuketahui bahwa itu adalah erang-erang, sebagian dari mereka juga terlihat memegang bawahan yang mungkin jika dilepaskan akan menyentuh tanah. Sementara beberapa orang laki-laki terlihat menggunakan songkok dan setelan dengan warna gelap dan bawahannya berupa sarung dengan motif kotak-kotak. Seperti perbesaran pada sebuah lup, rombongan itu semakin mendekat ke arahku, dari atas teras aku bisa dengan jelas menyidik mereka satu persatu. Perasaanku mulai tidak karuan. Ada apa dan mengapa. Kedua pertanyaan itu bergantian mengisi pikiranku yang sejujurnya sangat ingin kukosongkan.
Mereka sudah datang. Seru tanteku yang tidak lain adalah adik bungsu dari ibuku. Ternyata memang benar, mereka adalah tamu orang tuaku. Mengapa aku tidak menyadarinya lebih awal. Keluarga berkumpul, ada onde-onde, baje’, kue lapis, dodor dan berbagai macam makanan khas bugis lainnya. Kulihat ibu dan salah satu dari perempuan yang berkebaya marun berbincang, kemudian memperkenalkan diriku kepada perempuan itu dan selanjutnya kepada seluruh rombongannya. Kini semua mata tertuju padaku. Kepadaku yang kaku dengan senyum dan pandangan yang lirih. Satelitku berusaha menangkap semua radar yang ada tapi jangkauanku terlalu pendek, aku berhenti dan terdiam sejenak. Pertanyaan ini kembali muncul. Apakah mungkin?
Umurku baru saja menginjak delapanbelas tahun dan aku memiliki seorang kakak dengan rentan umur tiga tahun lebih tua dariku. Iya, orang tuaku ingin menjodohkan kakak dengan laki-laki pilihan mereka, pikirku. Entah kenapa aku tidak ingin mengetahuinya lebih lanjut sampai pada akhirnya, mereka, ibu, bapak dan orang-orang yang dituakan dalam keluarga mendatangiku satu persatu, mengelus kepalaku dan mengatakan sesuatu yang tak pernah ingin aku dengarkan saat itu. Katanya, ‘pilihan dari orang tua adalah yang terbaik’, ‘bapak dan ibu pun dijodohkan dan lihatlah kami sekarang’, ‘tidak enak menolaknya karena orang tua mempelai pria adalah keluarga dekat’. Di tanah bugisku semua hal tersebut telah dan harus dibenarkan, tradisi yang mengalir dengan ritme yang tetap. Kadang aku berpikir, kenapa aku harus lahir di tanah bugis. Tanah yang khas dengan berbagai pimali, budaya dan mitosnya yang baru hari ini kurasakan menghancurkan kehidupanku dalam hitungan detik. Dengan tetesan air mata kebingungan aku berharap ini hanya mimpi tapi usapan mereka yang semakin terasa itu membenarkan kenyataan dan membunuh harapanku.
Mappettu ada pun dilaksanakan di ruangan yang seluruh dindingnya adalah kayu jati khas kalimantan itu. Bau baje’ sinru’ memenuhi ruangan berbaur dengan suara tawa yang terdengar bahagia, mungkin karena mereka mengingat sebentar lagi di rumah tersebut akan diadakan pesta besar-besaran dengan kemeriahan ganrang bulo yang menambah kepiluan hati sang calon pengantin yang masih merasa di permainkan oleh adat tanah bugisnya. Terdengar mereka melakukan tawar menawar harga. Mungkin memang benar, perempuan bugis tak ada bedanya dengan barang yang diperjualbelikan di pasar. Harga disesuaikan dengan berbagai pertimbangan kualitas keturunan ataupun pendidikan, sekarang semuanya terasa semakin mengerikan.
Pernyataan awalku kembali ingin kupertanyakan. Kenapa harus aku. Kenapa bukan kakak saja. Dan jawabannya kembali menambah beban dalam benak dan batinku. Ketika mereka datang melamar, mereka disuruh memilih antara aku dan kakakku dan ternyata akulah yang dipilih. Aku delapanbelas tahun dan calon suamiku duapuluhtujuh tahun, kata calon suami adalah sesuatu yang menyesakkan untuk seorang gadis delapanbelas tahun sepertiku. Seakan menemui jalan buntu, aku pun berusaha untuk berontak tapi lagi-lagi budaya menghalangiku. Aku mengalah.
Tanggal pernikahan telah ditetapkan, satu bulan kemudian janur kuning memenuhi teras dan rumah bagian dalam, tak ketinggalan kamar pun sudah dipenuhi oleh dekor biru muda dengan bunga plastik keemasan di setiap sudutnya, berbagai macam penganan telah tertata rapi dalam stoples maupun talang-talang seng yang berjejer di sudut ruangan bagian paling dalam. Setengah dari ruangan ini seakan dipenuhi oleh makanan yang berlimpah ruah, membuatku berpikir apakah ini akan habis dalam waktu beberapa hari ke depan, apakah ini tidak kebanyakan dan apakah tidak berlebihan. Ya, ini terlalu berlebihan untuk acara yang diharapkan kesakralannya. Tapi inilah tradisi bugisku, tradisi yang kental akan adat istiadat dan budayanya. Tak mungkin dihapuskan begitu saja sekalipun oleh proses yang cukup panjang.
Kini bau dupa memenuhi ruangan. Pagi tadi aku dimandikan, disiram secara bergantian oleh ibu dan bapak. Aku merasakan percik-percik air dari rangkaian dedaunan mengenai pipiku yang juga basah oleh air mata, kulihat beberapa recehan di dalam wajan yang barisi air sesekali memantulkan silau dari cahaya matahari pagi. Tradisi ini dinamakan mappassili yang dirangkaian dengan mabbessi enynying atau cukur alis. Malamnya acara mappaci akan dilaksanakan, piring-piring plastik berisi ka’ddo minynya memenuhi ruangan paling depan, beras ketan yang ditanak dengan campuran rempah-rempah khas indonesia seperti ketumbar, kayu manis dan kunyit untuk memberikan warna kuning ibarat bulan purnama yang menyilaukan mata dengan cahayanya. Kulit wajah delapanbelas tahunku kini sudah terasa menua dengan bedak dan gincu yang bersenti-senti ketebalannya, rambutku yang lurus seketika kusut oleh sasak yang mungkin nantinya akan sulit untuk diluruskan kembali. Ditambah aksesoris kepala, telinga, leher dan tangan yang membuat tubuh ini terasa sangat lelah hanya dalam hitungan menit dan lihatlah riasan dadasa’ yang berwarna hitam pekat memenuhi kening mengikuti postur wajahku yang agak lonjong, membuatku semakin tidak nyaman dan gelisah, ‘kapan ini akan berakhir?’.
Dari jendela kamarku aku melihat senja mulai ranum, redup dan tak berdaya lagi. Aku merasa matahari itu seperti keadaaanku saat ini, redup dan tak berdaya. Sesekali pandanganku tertuju pada orang-orang yang berlalu lalang di depan pintu kamarku, kudengar berbagai pujian terlontar dari mulut mereka. Sudahlah, kalian tidak mengerti perasaanku. Aku memang pernah memimpikan untuk menjadi seorang pengantin yang cantik tapi bukan sekarang.
Alunan barasanji terdengar merdu. Sekarang aku duduk bersila lengkap dengan riasan pengantin khas sulawesi selatan, kulihat daun pacar yang telah ditumbuk dengan ampas yang sesekali terlihat mengapung di genangan air berwarna merah tua, baskom kecil berisi beras dan masih dengan asap dupa yang sejujurnya aku tidak menyukai aromanya. Kurasakan dingin pada telapak tangan ketika orang-orang bergantian mengoleskan daun pacar yang dihaluskan tadi secara bergantian dengan kuas dari bulu ayam. Mulai dari pak ustaz, pak imam, kakek dari ibu, kakek dari bapak, nenek, beberapa tante dan om dan yang terakhir ibu dan bapak. Katanya, di sinilah letak kesakralan acara mappaci itu. 
Sisa riasan kemarin malam seakan masih tersisa dan hari ini kembali aku harus mengikhlaskan wajahku itu dipoles sedemikian rupa untuk acara akad nikah sore nanti. Di ruangan depan telah tertata rapi beberapa meja osing lengkap dengan bosara berisi kue-kue kering maupun basah di atasnya. Beberapa tamu yang selesai menikmati hidangan menyempatkan diri untuk melihatku, sang calon pengantin. Beberapa teman sekolah datang dengan bungkusan kado di tangan mereka, tak sedikit pun rasa prihatin terpancar dari wajah-wajah mereka, bahkan  dengan riangnya mereka mengambil gambar katanya untuk  kenang-kenangan. ‘Teman-teman, aku bahagia kalian datang tapi aku iri melihat kalian masih bisa menikmati masa muda tanpa beban dan tanggung jawab yang aku sendiri belum yakin bisa menjalaninya dan sejujurnya bagaimana keabadian dalam  potret itu berjalan beriringan dengan kenangan dan masa depanku, aku belum tahu dan yakin’.
Beberapa menit lagi acara akan segera dimulai, semuanya terlihat menyibukkan diri menyambut calon mempelai pria, calon suamiku. Semua keluarga, kerabat dan tetangga terlihat sudah tidak sabar menantikan kedatangan calon mempelai pria. Di sini tubuhku masih terpaku, duduk menunggu takdirku. ‘apa yang akan terjadi setelah ini?’.
Alunan ganrang bulo terdengar menggebu-gebu, ritmenya terdengar makin cepat. Mungkin calon suamiku sudah tiba di depan rumah. Terdengar sorakan riuh yang merambat sampai ke gendang telingaku melalui medium udara yang menyesakkan, mungkin calon suamiku sudah menginjakkan kakinya di anak tangga pertama. Gemuruh langkah kaki beberapa orang di ruang depan semakin menjadi-jadi, mungkin calon suamiku baru saja melangkahkan kakinya ke pintu. Kulihat ibu siaga di sampingku serta imam kampung dengan surat-surat penting ditangannya, sepertinya calon suamiku sebentar lagi melangkahkan kaki ke arah tempatku duduk. Peristiwa beruntut ini terasa begitu cepat mengalahkan degup jantungku, peluh seakan menetes dari keningku begitupun dengan air mata kepasrahanku. Aku menahan diri, tangan dan kakiku seakan menyentuh batu es, dingin dan kaku. Aku berusaha mengimbangi keadaanku sendiri, menunduk dan mengatur deruh napasku. Kudengar langkah itu makin mendekat, kulihat punggung kakinya, bawahan berwarna keemasan, atasan dengan badik di pinggang, tangan kanan memegang kipas dan yang kiri menjinjing bawahan yang keemasan itu, wajahnya. Wajah yang kutatap sedetik, wajah asing itu sebentar lagi akan menjadi suamiku.
Makassar, 9 Mei 2013
Inspirasi: Pertunjukan drama Perempuan dalam Etalase