“apakah
kau tahu Plato dan teori keindahannya?”
“ya,
jika kau mencintainya tentu ia akan terlihat indah”
“apakah
aku indah?”
“aku
tak suka ditanya”
“lantas?”
“cukuplah
kau tetap di sampingku!”
***
Di
sebuah masa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah percintaan manusia.
Hiduplah sepasang kekasih yang ditandai dengan matinya kepercayaan manusia baru
tentang kebencian. Tak jelas kapan dan mengapa, segalanya mengalir begitu saja,
seperti air, seperti angin, seperti awan, seperti embun, seperti apapun yang
mewakili waktu dalam ruangnya yang menjelma ada kemudian tiada.
Sepasang
kekasih ini bernama Si bunga dan Si rumput. Bukan. Mereka bukan sejenis
tumbuhan liar, mereka manusia biasa. Itu hanya sekadar julukan karena tidak ada
yang tahu pasti siapa nama dan dari mana mereka berasal. Si perempuan bekerja
sebagai pencari rumput dan Si lelaki kesehariannya mencari bunga di balik bukit,
selanjutnya dijajahkan untuk keperluan mandi gadis-gadis desa. Di balik bukit
itulah mereka sama-sama bekerja dan saling mengawasi satu sama lain. Saling
mencuri pandang dan saling mencintai dengan cara yang begitu-begitu saja.
“kau
mencintaiku?” Si rumput bertanya sambil menyeka keringat Si bunga, tatapannya
mengalahkan sengatan matahari siang, sesekali angin mengibas, membuat mereka
hanya memandang satu sama lain dengan mata terpicing. Entah matahari, entah
angin.
“apakah
itu pertanyaan?” Si bunga balas menyeka keringan Si rumput, rambut panjang Si
rumput mempermainkan punggung jarinya. Matahari tetap membuat kulit pedih tapi
kebekuan itu ada ketika Si bunga menyentuh bulir bening yang menitik begitu
saja tanpa ia sadari.
“kau
balik bertanya?” Si rumput menghentikan usapan, dan menghilangkan jarak di
antara mereka.
“mengapa
kau tak jawab saja?” tangan Si bunga jatuh dengan pasrah menyentuh bahu Si
rumput.
“tapi
aku yang lebih dulu bertanya” entah siapa yang memulai, mereka berciuman sampai
matahari tenggelam seutuhnya. Mereka pulang tanpa kalimat perjanjian.
Begitulah
cara cinta terjawab oleh mereka. Ada yang bertanya dan yang sedia untuk
ditanyai. Pilih saja salah satunya karena keduanya baik. Posisinya saja yang
lain. Kesempatan pun bisa jadi berbeda. Karena berdasarkan pengalaman banyak
pecinta, bertanya berarti kuasa, sedang menjawab adalah pasrah. Maka
berlangsunglah yang demikian setiap saat , mungkin sampai mereka belajar
mengenal kebencian.
“mungkinkah
kau sudah tidak mencintaiku lagi?” terka Si rumput dengan tatapan mengancam
setelah selesai mengumpulkan rumput, menyatukannya ke dalam satu ikatan kulit
kayu, dengan telapak tangan yang dikebaskan satu sama lain sambil menunggu
jawaban Sang kekasih.
“maksudnya?”
Si bunga sedikit terganggu dengan pertanyaan yang terdengar menuduh.
Dikumpulkannya bunga berbagai warna yang masih lengkap dengan batang dan
daunnya itu ke dalam buntalan kain, mengikatkatkan keempat ujungnya kemudian
berdiri, menangkap tatapan menantang Si rumput.
“belajarlah
untuk lebih tanggap” cahaya mata Si rumput mulai redup, dia terlihat memberikan
sentuhan akhir pada ikatan rumput sebelum diangkatnya ke atas kepala untuk
dibawa menuruni bukit.
“setelah
kau sudah cukup peka” Si bunga pun terdengar sedikit berbisik, mengemas
segalanya dan menuruni bukit dengan arah yang berlawanan di mana Si rumput
menghilang ditelan keremangan senja. Tentu dengan buntalan kain di pundaknya.
Dan
begitu pulalah mereka mempelajari cinta. Jawaban tidak pernah cukup, belum
tentu dapat mewakili setiap tanda tanya. Sampai akhirnya mereka sampai kepada
satu kesimpulan. Jangan pernah mencari jawaban dalam hal cinta. Karena jawaban
belum tentu mewakili jawab.
“aku
mencintaimu” teriak Si rumput di lain kesempatan dari kejauhan.
“aku
juga mencintaimu” balasan dari Si bunga datang secepat rambat udara membelah
kabut.
“aku
sangat mencintaimu” Si rumput kembali berteriak, lebih keras, seolah ingin
menunjukkan bahwa cintanya jauh lebih besar dibanding Sang kekasih.
“tak
ada kata yang mampu mewakili rasa cintaku padamu” teriakan Si bunga menyisahkan
gema yang panjang sampai ke kaki bukit. Membuat segala aktivitas warga terhenti
sejenak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba waktu pun
ikut terhenti. Tapi tidak dengan mereka yang terus berlari sambil menghampiri
satu sama lain, saling menatap namun tak tahu harus berkata apa. Dan begitulah
seterusnya sampai waktu kembali berjalan normal.
Hari-hari
berlalu tanpa satupun kalimat tanya dalam percakapan mereka. Percuma, takkan
ada yang mau menjawab.
Sementara
waktu menjadi jauh, sepasang kekasih yang saling mencintai itu semakin jarang
terlihat bersama. Si bunga semakin jarang untuk naik ke bukit karena permintaan
bebungaan sudah mulai berkurang tergantikan oleh posisi bahan sulfur, begitupun
dengan Si rumput, musim semi telah berlalu, rumput kering tak pernah cukup
untuk memenuhi kebutuhan ternak, memaksanya untuk mempelajari bukit-bukit lain
yang mungkin ada. Orang-orang mulai bergunjing tentang sepasang kekasih yang
mungkin telah berpisah itu. Sungguh disayangkan jika mereka benar berpisah
padahal hubungan keduanya terlihat baik-baik saja, tak pernah terlihat
pertengkaran pun perselisihan. Orang-orang meyakini bahwa mereka adalah
sepasang kekasih dengan hati yang tak pernah dititipkan hal lain kecuali cinta
di hati masing-masing.
***
Sementara
orang terus mengenang mereka. Si bunga dengan persedian kelopak yang tak
seberapa tetap terlihat di pinggiran sungai menunggu gadis-gadis datang untuk
mandi. Betah betul ia berlama-lama di sana meski sadar bahwa usahanya sia-sia
belaka. Belakangan ia mengagumi seorang gadis cantik bertubuh sintal dengan
betis berwarna lobak. Orang-orang menamainya Si batu kali karena kebiasaannya
yang selalu berlama-lama di dalam air, merendam badan dengan lilitan batik
cokelat, persis gundukan batu. Dengan hanya kepala yang terlihat di permukaan,
cukup mudah orang-orang membedakannya dengan batu kali.
Si batu kali, katanya ia tak pernah menyukai
nama pemberian orang tuanya maka diputuskannya untuk meninggalkan jejak
pemberian itu. Ia meyakini bahwa air adalah sebuah asal maka diputuskannya
untuk lahir kembali dengan memahami aliran air dan darahnya secara bersamaan.
Kemudian ia meyakini bahwa keyakinan akan sesuatu tidaklah pernah memadai untuk
memahami. Ia selalu ragu perihat tempat untuk pulang. Kecuali sungai itu, meski
ia tak menyebutnya pulang. Tapi kembali.
Sunyi
malam pelan menuntun riak air untuk lebih riuh lagi, yang ditunggu akhirnya
terjadi juga. Si batu kali berdiri lalu berjalan ke tepi. Warna kulit lobaknya
seakan-akan adalah satu-satunya pencahayaan di tempat itu. Si lelaki
menghampirinya dengan takjub. Selagi Si batu kali hendak berganti kain, ia
datang memperkenalkan diri, “panggil aku dengan apapun yang kau inginkan”. Si
batu kali terlihat santai, terlihat tak perlu menjawab pertanyaan itu.
“apakah
kau mencintaiku?”
“iya,
aku mencintaimu”, Si lelaki menjawab dengan kata yang memburu, terdengar
seperti jawaban yang sudah sejak lama ia tahan di tenggorokan, hanya menunggu
persetujuan dari perintah otak kiri saja untuk diteruskan.
“kalau
begitu lakukanlah apa yang ingin kau lakukan”. Dengan tangan gemetar Si lelaki
menyentuh pipi Si gadis sebagai penegasan bahwa yang ada di hadapannya bukanlah
hayalan. Sementara Si gadis hanya terdiam dengan sikap dingin.
“kau
yakin hanya ingin menyentuh pipiku?” Tanya Si gadis masih dengan sikap yang
dingin.
“sejujurnya
aku sudah menikmati tubuhmu jauh sebelum aku menyentuhmu, aku mencintaimu, kau
sungguh indah, benar-benar indah”, tegasnya gugup.
Tiba-tiba
Si batu kali menepis dengan lembut telapak tangan Si lelaki, melonggarkan
kainnya dan membiarkan kain itu jatuh tanpa perlawanan. Tiba-tiba malam begitu
dingin, lebih dingin dari biasanya.
***
Bukit
mana lagi yang belum pernah didatanginya, mencari rumput tanpa pertanyaan cinta
adalah kondisi yang tak pernah mendapat toleransi. Perlahan ia merindukan
senja, rengkuhan, dan ciuman dari Sang kekasih. Si rumput merindukan Si bunga.
Demi itu ia kembali ke sebuah bukit yang selalu mempertemukan mereka. Mencabuti
rumput hanya demi menebus rindu. Suatu ketika ia terus mencabuti rumput sampai
benar-benar kelelahan dan tak punya tenaga untuk menuruni bukit. Jadilah ia
pasrah diserbu angin malam, rebah di bawah rembulan untuk menunggu tenaganya
kembali terkumpul. Besoknya ia benar-benar menyaksikan langit telah berlatar
cahaya kekuningan, ia bangun terlalu siang. Di perjalanan ia bertemu dengan
seorang pengembala parubaya yang duduk termenung di bawah rindang pohon
menunggui kambing-kambingnya untuk berjemur.
“boleh
saya duduk di sini tuan?”
“tentu”,
katanya ramah sambil menggeser duduknya, “apa yang kau bawa itu?”, katanya
melanjutkan.
“ini
rumput dari bukit yang di sana”, berkata ia sambil mengarahkan telunjuk ke
sebuah bukit. “tadinya ingin kubuang saja karena terlalu lelah untuk membawanya”,
tukasnya sambil bersandar ke batang pohon.
“tinggallah
lebih lama di sini, makan sianglah bersamaku, daripada kaubuang rumput itu
lebih baik untuk kambing-kambingku saja. Rumahku tak jauh dari sini. Menikahlah
denganku dan berhentilah untuk mencari rumput”.
“tapi
aku tidak mencintaimu”
“aku
tidak menanyakan itu”
***
Akhirnya
ia kembali mencari bunga. Meski sulfur menggantikan wewangian bunga tapi
gundukan tanah pemakaman baru membutuhkannya lebih dari yang kalian tahu.
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, sesuatu yang hangat dan membuatnya rindu.
Senja, rengkuhan, dan ciuman. Si bunga merindukan rumput. Di bukit yang bersejarah
itu ia merasakan rasa yang luar biasa untuk cinta yang menurutnya biasa-biasa
saja. Dipilihnya satu bunga terbaik untuk diserahkannya kepada Si rumput kalau
saja waktu kembali mempertemukan mereka. Di luar dari segalanya bunga tetaplah
lambang cinta secara konvensional. Si bunga terus mencari dan mencari ke
seluruh bukit yang bisa ditemukannya dengan bunga di tangan yang hampir layu
sampai ke batang-batangnya. Jadilah sebuah pemandangan aneh, seorang lelaki
yang naik turun bukit dengan setangkai bunga kering di tangannya.
***
ia
benar-benar berhenti merumput dan menghabiskan waktunya di bawah pohon bersama
kambing-kambingnya. Sementara ia diam, ingatannya tetap berbicara. Memaksanya
untuk berbuat sesuatu sedang ia tetap saja pasrah. Terlihatlah kemudian
pemandangan yang aneh. Perempuan sendu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk
mengembala tanpa sekalipun memberi makan ternak-ternaknya dengan rumput.
Jadilah kambing- kambing dan keturunannya itu memakan daun kering dan ranting
pohon. Tak ada yang tahu pasti tentang kisah cinta mereka. Ada yang mengatakan
bahwa sampai mati mereka tak pernah bertemu lagi, ada yang mempercayai bahwa
pada akhirnya Si bunga hanya berhasil meletakkan setangkai kembangnya di atas
gundukan tanah kering. Namun ada pula yang menegaskan bahwa Sang rumput yang
telah menjanda menolak Si bunga karena kambing tak suka makan batang bunga
kering.
Kosan, 28 Februari 2015
Vy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar