Minggu, 05 April 2015

Senja, Rengkuhan, dan Ciuman



“apakah kau tahu Plato dan teori keindahannya?”
“ya, jika kau mencintainya tentu ia akan terlihat indah”
“apakah aku indah?”
“aku tak suka ditanya”
“lantas?”
“cukuplah kau tetap di sampingku!”
***
Di sebuah masa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah percintaan manusia. Hiduplah sepasang kekasih yang ditandai dengan matinya kepercayaan manusia baru tentang kebencian. Tak jelas kapan dan mengapa, segalanya mengalir begitu saja, seperti air, seperti angin, seperti awan, seperti embun, seperti apapun yang mewakili waktu dalam ruangnya yang menjelma ada kemudian tiada.
Sepasang kekasih ini bernama Si bunga dan Si rumput. Bukan. Mereka bukan sejenis tumbuhan liar, mereka manusia biasa. Itu hanya sekadar julukan karena tidak ada yang tahu pasti siapa nama dan dari mana mereka berasal. Si perempuan bekerja sebagai pencari rumput dan Si lelaki kesehariannya mencari bunga di balik bukit, selanjutnya dijajahkan untuk keperluan mandi gadis-gadis desa. Di balik bukit itulah mereka sama-sama bekerja dan saling mengawasi satu sama lain. Saling mencuri pandang dan saling mencintai dengan cara yang begitu-begitu saja.
“kau mencintaiku?” Si rumput bertanya sambil menyeka keringat Si bunga, tatapannya mengalahkan sengatan matahari siang, sesekali angin mengibas, membuat mereka hanya memandang satu sama lain dengan mata terpicing. Entah matahari, entah angin.
“apakah itu pertanyaan?” Si bunga balas menyeka keringan Si rumput, rambut panjang Si rumput mempermainkan punggung jarinya. Matahari tetap membuat kulit pedih tapi kebekuan itu ada ketika Si bunga menyentuh bulir bening yang menitik begitu saja tanpa ia sadari.
“kau balik bertanya?” Si rumput menghentikan usapan, dan menghilangkan jarak di antara mereka.
“mengapa kau tak jawab saja?” tangan Si bunga jatuh dengan pasrah menyentuh bahu Si rumput.
“tapi aku yang lebih dulu bertanya” entah siapa yang memulai, mereka berciuman sampai matahari tenggelam seutuhnya. Mereka pulang tanpa kalimat perjanjian.
Begitulah cara cinta terjawab oleh mereka. Ada yang bertanya dan yang sedia untuk ditanyai. Pilih saja salah satunya karena keduanya baik. Posisinya saja yang lain. Kesempatan pun bisa jadi berbeda. Karena berdasarkan pengalaman banyak pecinta, bertanya berarti kuasa, sedang menjawab adalah pasrah. Maka berlangsunglah yang demikian setiap saat , mungkin sampai mereka belajar mengenal kebencian.
“mungkinkah kau sudah tidak mencintaiku lagi?” terka Si rumput dengan tatapan mengancam setelah selesai mengumpulkan rumput, menyatukannya ke dalam satu ikatan kulit kayu, dengan telapak tangan yang dikebaskan satu sama lain sambil menunggu jawaban Sang kekasih.
“maksudnya?” Si bunga sedikit terganggu dengan pertanyaan yang terdengar menuduh. Dikumpulkannya bunga berbagai warna yang masih lengkap dengan batang dan daunnya itu ke dalam buntalan kain, mengikatkatkan keempat ujungnya kemudian berdiri, menangkap tatapan menantang Si rumput.
“belajarlah untuk lebih tanggap” cahaya mata Si rumput mulai redup, dia terlihat memberikan sentuhan akhir pada ikatan rumput sebelum diangkatnya ke atas kepala untuk dibawa menuruni bukit.
“setelah kau sudah cukup peka” Si bunga pun terdengar sedikit berbisik, mengemas segalanya dan menuruni bukit dengan arah yang berlawanan di mana Si rumput menghilang ditelan keremangan senja. Tentu dengan buntalan kain di pundaknya.
Dan begitu pulalah mereka mempelajari cinta. Jawaban tidak pernah cukup, belum tentu dapat mewakili setiap tanda tanya. Sampai akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan. Jangan pernah mencari jawaban dalam hal cinta. Karena jawaban belum tentu mewakili jawab.
“aku mencintaimu” teriak Si rumput di lain kesempatan dari kejauhan.
“aku juga mencintaimu” balasan dari Si bunga datang secepat rambat udara membelah kabut.
“aku sangat mencintaimu” Si rumput kembali berteriak, lebih keras, seolah ingin menunjukkan bahwa cintanya jauh lebih besar dibanding Sang kekasih.
“tak ada kata yang mampu mewakili rasa cintaku padamu” teriakan Si bunga menyisahkan gema yang panjang sampai ke kaki bukit. Membuat segala aktivitas warga terhenti sejenak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba waktu pun ikut terhenti. Tapi tidak dengan mereka yang terus berlari sambil menghampiri satu sama lain, saling menatap namun tak tahu harus berkata apa. Dan begitulah seterusnya sampai waktu kembali berjalan normal.
Hari-hari berlalu tanpa satupun kalimat tanya dalam percakapan mereka. Percuma, takkan ada yang mau menjawab.
Sementara waktu menjadi jauh, sepasang kekasih yang saling mencintai itu semakin jarang terlihat bersama. Si bunga semakin jarang untuk naik ke bukit karena permintaan bebungaan sudah mulai berkurang tergantikan oleh posisi bahan sulfur, begitupun dengan Si rumput, musim semi telah berlalu, rumput kering tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak, memaksanya untuk mempelajari bukit-bukit lain yang mungkin ada. Orang-orang mulai bergunjing tentang sepasang kekasih yang mungkin telah berpisah itu. Sungguh disayangkan jika mereka benar berpisah padahal hubungan keduanya terlihat baik-baik saja, tak pernah terlihat pertengkaran pun perselisihan. Orang-orang meyakini bahwa mereka adalah sepasang kekasih dengan hati yang tak pernah dititipkan hal lain kecuali cinta di hati masing-masing.
***
Sementara orang terus mengenang mereka. Si bunga dengan persedian kelopak yang tak seberapa tetap terlihat di pinggiran sungai menunggu gadis-gadis datang untuk mandi. Betah betul ia berlama-lama di sana meski sadar bahwa usahanya sia-sia belaka. Belakangan ia mengagumi seorang gadis cantik bertubuh sintal dengan betis berwarna lobak. Orang-orang menamainya Si batu kali karena kebiasaannya yang selalu berlama-lama di dalam air, merendam badan dengan lilitan batik cokelat, persis gundukan batu. Dengan hanya kepala yang terlihat di permukaan, cukup mudah orang-orang membedakannya dengan batu kali.
            Si batu kali, katanya ia tak pernah menyukai nama pemberian orang tuanya maka diputuskannya untuk meninggalkan jejak pemberian itu. Ia meyakini bahwa air adalah sebuah asal maka diputuskannya untuk lahir kembali dengan memahami aliran air dan darahnya secara bersamaan. Kemudian ia meyakini bahwa keyakinan akan sesuatu tidaklah pernah memadai untuk memahami. Ia selalu ragu perihat tempat untuk pulang. Kecuali sungai itu, meski ia tak menyebutnya pulang. Tapi kembali.
Sunyi malam pelan menuntun riak air untuk lebih riuh lagi, yang ditunggu akhirnya terjadi juga. Si batu kali berdiri lalu berjalan ke tepi. Warna kulit lobaknya seakan-akan adalah satu-satunya pencahayaan di tempat itu. Si lelaki menghampirinya dengan takjub. Selagi Si batu kali hendak berganti kain, ia datang memperkenalkan diri, “panggil aku dengan apapun yang kau inginkan”. Si batu kali terlihat santai, terlihat tak perlu menjawab pertanyaan itu.
“apakah kau mencintaiku?”
“iya, aku mencintaimu”, Si lelaki menjawab dengan kata yang memburu, terdengar seperti jawaban yang sudah sejak lama ia tahan di tenggorokan, hanya menunggu persetujuan dari perintah otak kiri saja untuk diteruskan.
“kalau begitu lakukanlah apa yang ingin kau lakukan”. Dengan tangan gemetar Si lelaki menyentuh pipi Si gadis sebagai penegasan bahwa yang ada di hadapannya bukanlah hayalan. Sementara Si gadis hanya terdiam dengan sikap dingin.
“kau yakin hanya ingin menyentuh pipiku?” Tanya Si gadis masih dengan sikap yang dingin.
“sejujurnya aku sudah menikmati tubuhmu jauh sebelum aku menyentuhmu, aku mencintaimu, kau sungguh indah, benar-benar indah”, tegasnya gugup.
Tiba-tiba Si batu kali menepis dengan lembut telapak tangan Si lelaki, melonggarkan kainnya dan membiarkan kain itu jatuh tanpa perlawanan. Tiba-tiba malam begitu dingin, lebih dingin dari biasanya.
***
Bukit mana lagi yang belum pernah didatanginya, mencari rumput tanpa pertanyaan cinta adalah kondisi yang tak pernah mendapat toleransi. Perlahan ia merindukan senja, rengkuhan, dan ciuman dari Sang kekasih. Si rumput merindukan Si bunga. Demi itu ia kembali ke sebuah bukit yang selalu mempertemukan mereka. Mencabuti rumput hanya demi menebus rindu. Suatu ketika ia terus mencabuti rumput sampai benar-benar kelelahan dan tak punya tenaga untuk menuruni bukit. Jadilah ia pasrah diserbu angin malam, rebah di bawah rembulan untuk menunggu tenaganya kembali terkumpul. Besoknya ia benar-benar menyaksikan langit telah berlatar cahaya kekuningan, ia bangun terlalu siang. Di perjalanan ia bertemu dengan seorang pengembala parubaya yang duduk termenung di bawah rindang pohon menunggui kambing-kambingnya untuk berjemur.
“boleh saya duduk di sini tuan?”
“tentu”, katanya ramah sambil menggeser duduknya, “apa yang kau bawa itu?”, katanya melanjutkan.
“ini rumput dari bukit yang di sana”, berkata ia sambil mengarahkan telunjuk ke sebuah bukit. “tadinya ingin kubuang saja karena terlalu lelah untuk membawanya”, tukasnya sambil bersandar ke batang pohon.
“tinggallah lebih lama di sini, makan sianglah bersamaku, daripada kaubuang rumput itu lebih baik untuk kambing-kambingku saja. Rumahku tak jauh dari sini. Menikahlah denganku dan berhentilah untuk mencari rumput”.
“tapi aku tidak mencintaimu”
“aku tidak menanyakan itu”
***
Akhirnya ia kembali mencari bunga. Meski sulfur menggantikan wewangian bunga tapi gundukan tanah pemakaman baru membutuhkannya lebih dari yang kalian tahu. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, sesuatu yang hangat dan membuatnya rindu. Senja, rengkuhan, dan ciuman. Si bunga merindukan rumput. Di bukit yang bersejarah itu ia merasakan rasa yang luar biasa untuk cinta yang menurutnya biasa-biasa saja. Dipilihnya satu bunga terbaik untuk diserahkannya kepada Si rumput kalau saja waktu kembali mempertemukan mereka. Di luar dari segalanya bunga tetaplah lambang cinta secara konvensional. Si bunga terus mencari dan mencari ke seluruh bukit yang bisa ditemukannya dengan bunga di tangan yang hampir layu sampai ke batang-batangnya. Jadilah sebuah pemandangan aneh, seorang lelaki yang naik turun bukit dengan setangkai bunga kering di tangannya.
***
ia benar-benar berhenti merumput dan menghabiskan waktunya di bawah pohon bersama kambing-kambingnya. Sementara ia diam, ingatannya tetap berbicara. Memaksanya untuk berbuat sesuatu sedang ia tetap saja pasrah. Terlihatlah kemudian pemandangan yang aneh. Perempuan sendu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk mengembala tanpa sekalipun memberi makan ternak-ternaknya dengan rumput. Jadilah kambing- kambing dan keturunannya itu memakan daun kering dan ranting pohon. Tak ada yang tahu pasti tentang kisah cinta mereka. Ada yang mengatakan bahwa sampai mati mereka tak pernah bertemu lagi, ada yang mempercayai bahwa pada akhirnya Si bunga hanya berhasil meletakkan setangkai kembangnya di atas gundukan tanah kering. Namun ada pula yang menegaskan bahwa Sang rumput yang telah menjanda menolak Si bunga karena kambing tak suka makan batang bunga kering.
Kosan, 28 Februari 2015
Vy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar