Ini aku ingin bercerita tentang mimpi.
Ini tidaklah penting tapi mungkin bermanfaat walaupun hanya sekadar menambah perbendaharaan
kata. Mimpi yang aneh, kupikir. Jika tidak begitu tidak akan kuceritakan.
Bukankah sesuatu yang berulang berpotensi membuat manusia untuk berhenti hidup?
Dalam artian hidup dengan menyenangkan, meski menyenangkan masih dapat dikategorikan
relatif.
Carl
Gustav Jung, berasumsi tentang mimpi atau alam bawah sadar berkebalikan dengan apa
yang diasumsikan Sang guru, Sigmund Freud, yang beranggapan bahwa “seseorang
yang tidak berguna bagi psikoanalisa, dialah orang yang dianalisa oleh mimpinya
dan bukan menganalisa mimpinya”. Tapi Jung bekeyakinan liar mengenai citra-citra
dalam, penampakan yang muncul di mimpi tanpa didahului pengalaman*. Singkat cerita,
Jung memilih untuk meninggalkan Sang guru atau mungkin diusir dengan sikap dingin
dari lelehan antikritik. Bisa saja, saya meyakini salah satu atau bahkan keduanya.
Tapi saat ini saya hanya ingin bercerita.
Malam
dingin masih melingkupi pusat kota, sisa dingin masih menggelayut di setiap jenjang
kisah manusia biasa, sedang malaikat sibuk mengurusi urusan manusia. Katanya untuk
membuat laporan kepada tuhan. Hmm mudah-mudahan tidak ada nepotisme di
kehidupan selanjutnya. Manggasali adalah teman lama yang memilih tinggal di
pinggiran kota, dekat pembuangan sampah umum yang jika hujan baunya bisa menembus
lambung. Katanya ia ingin hidup menyatu dengan alam dengan memilih tempat yang
strategis –surau dengan empat tiang, atap rumbia dengan sarang semut abadi,
sepotong bambu penadah air hujan, serta satu pintu dan satu jendela di bagian depan
dekat dipan bambu yang hanya muat untuk dua pantat- dekat dengan gundukan sampah
organik, yang jika sempat ia buatkan lubang biopori dengan tujuan mengembangbiakkan
cacing tanah, untuknya memancing mujair saat tak ada rapat paripurna di lantai enam
puluh sembilan. Kalian cukup taulah ia sangat sibuk.
Jelang
tangah malam, penampakan gubuk Manggasali membuyarkan ingatan. Ada bias-bias serupa
sefia dari celah-celah anyaman bambu, belum bisa dipastikan itu adalah pelita minyak
tanah atau ia sudah mampu memanfaatkan lampu neon tenaga listrik. Cahaya itu seperti
digerakkan angin. Benderang bila angin payah,
dan kadang redup jika angin berhembus ke delapan penjuru mata angin.
Seakan-akan cahaya itu dipindahtempatkan ke dimensi lain yang hanya manusia tidak
mampu menghayatinya, seperti mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang
serba ketinggalan dan hanya memanfaatkan munafiknya untuk melenggang yakin.
Sangat yakin.
Para
kere bergunjing di sana setiap malam, setiap gubuk itu menjelma sefia.
“warna
itu memabukkan”, berkata salah satu dengan sedikit berbisik padahal tak bakal ada
yang mendengarkan, apalagi Sang pemilik gubuk.
“itu
bukan warna. Itu bias”, tangkas yang satu dengan melirik sekali pada lawan bicaranya.
“apa
bedanya?”, suara itu sedikit meninggi.
“oalah,
jangan maksa biar saya jelaskan. Kita niat cuma pengen liat, bukan debat”, yang
satu memilih untuk tak menjawab. Mungkin tak tahu jawabannya.
“siapa
yang kepengen debat? Ini kita cuma niat gunjing”, yang satunya lagi belum mau mengalah.
“apa
bedanya?”, mata itu mulai meletupkan cahaya dengan warna-warna ambigu.
“nahloh.
Cuma niat gunjing mas. Cuma gunjing”! percakapan itu terhenti sebab tak ada lagi
jawaban ataupun pertanyaan lanjutan yang mampu menggairahkan lidah mereka berlama-lama
di tempat itu.
Sering pula mereka hanya memandang kosong
tak paham tentang ketakpahaman mereka. Mungkin menatap tanaman belukar berbunga
indah yang jika siang berpenampakan tanaman hias tak betah tumbuh tapi tetap saja
sangar membelit pagar bambu setinggi lutut bocah yang lebih mirip patok pembatas
daripada pagar tanaman, dan kalau malam, terlebih sudah berlatar sefia, bunganya
mengkilat bagai benda testil, bagai hamparan aspal basah dengan bias sorot kendaraan
di malam hari, bagai laut tenang berbalut cahaya senja yang menyerah dengan tangguh.
Sungguh mempesona. Sungguh ilusi yang sempurna. Siapa yang percaya kalau tanaman
itu hanya makanan kambing, tempat ayam dan kucing singgah untuk membuang tai dan
mengais-ngais di siang hari?
Hampir
subuh, terdengar bunyi jebyar-jebyur di balik dinding gubuk. Itu Manggasali
sudah mandi dengan khidmat, siap menggelar sejadahnya, siap menengadahkan jiwa,
bersyukur sejadi-jadinya sambil berdoa yang hanya bisa dipahami olehnya saja,
beruntung tuhan maha mengetahui. Jika tidak, saya pun ragu tuhan akan mengangguk
paham.
Di luar bau sampah masih menjejali atmosfer
bumi, angin pagi menyerbu dari balik gunung-gunung sampah. Para kere sudah siap
dengan karung di punggung serta tongkat pengais buatan tangan yang kadang tak sengaja
mengait kaki sendiri. Mereka lalu lalang, datang dan pergi, bertahan dan tinggal
sampai kelelahan dan rebah menyatu dengan sampah sampai petang. Dari
kesemuanya, tak satu pun yang tak mengenal Manggasali, sebab untuk mencapai gundukan
sampah, tak ayal mereka selalu bertemu dengan beliau. Sebab gubuknya adalah batas
antara pusat dan tepi, ketaksadaran dan sadar, perasaan dan pikiran, tuhan dan hamba,
sampah dan jalan alternatif menuju pusat kota yang belum pasti benar-benar pusat.
“sudah
rapi saja, tuan!”
“ah,
janganlah saya dipanggil tuan. Kita ini sama-sama tinggal di gundukan sampah”
“tapi
kan tuan berjas”
“ah,
ini hanya formalitas”
“jadi
tuan masih hidup berdasarkan formalitas ya?”
“kok
jadi ngomong-ngomong gitu, kaya bapak tau saja maksud dari kata formalitas”
“kalau
begitu, kenapa tuan ngajak ngomong formalitas?
“lah
biar kamu tau saja. Cukup taulah.Tak perlu paham”
“saya paham tuan”
“nah!”
Selepas bercakap sebentar,
Manggasali menenteng tas berisi penuh berkas menelusuri jalanan beraspal menuju
pusat kota yang mungkin di tepi. Berjalan kaki dengan napas yang susah payah diatur
sebab umur sudah mulai udzur, melenggang dengan yakin – dengan latar belakang sampah
yang menggunung menyerupai tumpahan benda asing dari langit untuk dititipkan selama-lamanya
di bumi. Manggasali tak perlu menumpangi angkutan umum sebab kini kakinya tak lagi
menjejal aspal, ia kini di atas awan, berarak pelan menuju lantai enam puluh
Sembilan tanpa perlu lagi menelusuri lobi dan berdesak-desakan di dalam lift. Manggasali lenyap, hanya ada bayangannya
di sana. Mungkin sebentar sore, setelah selesai rapat, ia akan kembali terlihat,
tak lagi sebatas penampakan hitam di lantai marmer. Mungkin beberapa jam lagi.
Itulah yang sempat tertinggal diingatan
saya. Entah Freud entah Jung. Yang melekat diingatan hanyalah Manggasali. Teman
lama yang baru saya kenal tadi pagi di sebuah gedung, di lantai enam puluh delapan.
Lantai teratas.
*Kutipan
dari novel Lalita karya Ayu Utami, mengalami sedikit perubahan untuk
kepentingan fiksi.
Makassar,
10 Desember 2014
Vy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar