Minggu, 05 April 2015

Namanya Manggasali



Ini aku ingin bercerita tentang mimpi. Ini tidaklah penting tapi mungkin bermanfaat walaupun hanya sekadar menambah perbendaharaan kata. Mimpi yang aneh, kupikir. Jika tidak begitu tidak akan kuceritakan. Bukankah sesuatu yang berulang berpotensi membuat manusia untuk berhenti hidup? Dalam artian hidup dengan menyenangkan, meski menyenangkan masih dapat dikategorikan relatif.
            Carl Gustav Jung, berasumsi tentang mimpi atau alam bawah sadar berkebalikan dengan apa yang diasumsikan Sang guru, Sigmund Freud, yang beranggapan bahwa “seseorang yang tidak berguna bagi psikoanalisa, dialah orang yang dianalisa oleh mimpinya dan bukan menganalisa mimpinya”. Tapi Jung bekeyakinan liar mengenai citra-citra dalam, penampakan yang muncul di mimpi tanpa didahului pengalaman*. Singkat cerita, Jung memilih untuk meninggalkan Sang guru atau mungkin diusir dengan sikap dingin dari lelehan antikritik. Bisa saja, saya meyakini salah satu atau bahkan keduanya. Tapi saat ini saya hanya ingin bercerita.
            Malam dingin masih melingkupi pusat kota, sisa dingin masih menggelayut di setiap jenjang kisah manusia biasa, sedang malaikat sibuk mengurusi urusan manusia. Katanya untuk membuat laporan kepada tuhan. Hmm mudah-mudahan tidak ada nepotisme di kehidupan selanjutnya. Manggasali adalah teman lama yang memilih tinggal di pinggiran kota, dekat pembuangan sampah umum yang jika hujan baunya bisa menembus lambung. Katanya ia ingin hidup menyatu dengan alam dengan memilih tempat yang strategis –surau dengan empat tiang, atap rumbia dengan sarang semut abadi, sepotong bambu penadah air hujan, serta satu pintu dan satu jendela di bagian depan dekat dipan bambu yang hanya muat untuk dua pantat- dekat dengan gundukan sampah organik, yang jika sempat ia buatkan lubang biopori dengan tujuan mengembangbiakkan cacing tanah, untuknya memancing mujair saat tak ada rapat paripurna di lantai enam puluh sembilan. Kalian cukup taulah ia sangat sibuk.
            Jelang tangah malam, penampakan gubuk Manggasali membuyarkan ingatan. Ada bias-bias serupa sefia dari celah-celah anyaman bambu, belum bisa dipastikan itu adalah pelita minyak tanah atau ia sudah mampu memanfaatkan lampu neon tenaga listrik. Cahaya itu seperti digerakkan angin. Benderang bila angin payah,  dan kadang redup jika angin berhembus ke delapan penjuru mata angin. Seakan-akan cahaya itu dipindahtempatkan ke dimensi lain yang hanya manusia tidak mampu menghayatinya, seperti mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang serba ketinggalan dan hanya memanfaatkan munafiknya untuk melenggang yakin. Sangat  yakin.
            Para kere bergunjing di sana setiap malam, setiap gubuk itu menjelma sefia.
            “warna itu memabukkan”, berkata salah satu dengan sedikit berbisik padahal tak bakal ada yang mendengarkan, apalagi Sang pemilik gubuk.
            “itu bukan warna. Itu bias”, tangkas yang satu dengan melirik sekali pada lawan bicaranya.
            “apa bedanya?”, suara itu sedikit meninggi.
            “oalah, jangan maksa biar saya jelaskan. Kita niat cuma pengen liat, bukan debat”, yang satu memilih untuk tak menjawab. Mungkin tak tahu jawabannya.
            “siapa yang kepengen debat? Ini kita cuma niat gunjing”, yang satunya lagi belum mau mengalah.
            “apa bedanya?”, mata itu mulai meletupkan cahaya dengan warna-warna ambigu.
            “nahloh. Cuma niat gunjing mas. Cuma gunjing”! percakapan itu terhenti sebab tak ada lagi jawaban ataupun pertanyaan lanjutan yang mampu menggairahkan lidah mereka berlama-lama di tempat itu.
Sering pula mereka hanya memandang kosong tak paham tentang ketakpahaman mereka. Mungkin menatap tanaman belukar berbunga indah yang jika siang berpenampakan tanaman hias tak betah tumbuh tapi tetap saja sangar membelit pagar bambu setinggi lutut bocah yang lebih mirip patok pembatas daripada pagar tanaman, dan kalau malam, terlebih sudah berlatar sefia, bunganya mengkilat bagai benda testil, bagai hamparan aspal basah dengan bias sorot kendaraan di malam hari, bagai laut tenang berbalut cahaya senja yang menyerah dengan tangguh. Sungguh mempesona. Sungguh ilusi yang sempurna. Siapa yang percaya kalau tanaman itu hanya makanan kambing, tempat ayam dan kucing singgah untuk membuang tai dan mengais-ngais di siang hari?
            Hampir subuh, terdengar bunyi jebyar-jebyur di balik dinding gubuk. Itu Manggasali sudah mandi dengan khidmat, siap menggelar sejadahnya, siap menengadahkan jiwa, bersyukur sejadi-jadinya sambil berdoa yang hanya bisa dipahami olehnya saja, beruntung tuhan maha mengetahui. Jika tidak, saya pun ragu tuhan akan mengangguk paham.
Di luar bau sampah masih menjejali atmosfer bumi, angin pagi menyerbu dari balik gunung-gunung sampah. Para kere sudah siap dengan karung di punggung serta tongkat pengais buatan tangan yang kadang tak sengaja mengait kaki sendiri. Mereka lalu lalang, datang dan pergi, bertahan dan tinggal sampai kelelahan dan rebah menyatu dengan sampah sampai petang. Dari kesemuanya, tak satu pun yang tak mengenal Manggasali, sebab untuk mencapai gundukan sampah, tak ayal mereka selalu bertemu dengan beliau. Sebab gubuknya adalah batas antara pusat dan tepi, ketaksadaran dan sadar, perasaan dan pikiran, tuhan dan hamba, sampah dan jalan alternatif menuju pusat kota yang belum pasti benar-benar pusat.
            “sudah rapi saja, tuan!”
            “ah, janganlah saya dipanggil tuan. Kita ini sama-sama tinggal di gundukan sampah”
            “tapi kan tuan berjas”
            “ah, ini hanya formalitas”
            “jadi tuan masih hidup berdasarkan formalitas ya?”
            “kok jadi ngomong-ngomong gitu, kaya bapak tau saja maksud dari kata formalitas”
            “kalau begitu, kenapa tuan ngajak ngomong formalitas?
            “lah biar kamu tau saja. Cukup taulah.Tak perlu paham”
            “saya  paham tuan”
            “nah!”
Selepas bercakap sebentar, Manggasali menenteng tas berisi penuh berkas menelusuri jalanan beraspal menuju pusat kota yang mungkin di tepi. Berjalan kaki dengan napas yang susah payah diatur sebab umur sudah mulai udzur, melenggang dengan yakin – dengan latar belakang sampah yang menggunung menyerupai tumpahan benda asing dari langit untuk dititipkan selama-lamanya di bumi. Manggasali tak perlu menumpangi angkutan umum sebab kini kakinya tak lagi menjejal aspal, ia kini di atas awan, berarak pelan menuju lantai enam puluh Sembilan tanpa perlu lagi menelusuri lobi dan berdesak-desakan di dalam lift. Manggasali lenyap, hanya ada bayangannya di sana. Mungkin sebentar sore, setelah selesai rapat, ia akan kembali terlihat, tak lagi sebatas penampakan hitam di lantai marmer. Mungkin beberapa jam lagi.
Itulah yang sempat tertinggal diingatan saya. Entah Freud entah Jung. Yang melekat diingatan hanyalah Manggasali. Teman lama yang baru saya kenal tadi pagi di sebuah gedung, di lantai enam puluh delapan. Lantai teratas.
*Kutipan dari novel Lalita karya Ayu Utami, mengalami sedikit perubahan untuk kepentingan fiksi.
Makassar, 10 Desember 2014
Vy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar