Emmakmu tak pernah percaya tapi
diam-diam ia meyakininya. Bapak pun tak mau percaya tapi keyakinan emmakmu
membuat bapak menyesal tak menghilangkan tanda tula ini. Kau tahu anakku,
bapakmu ini lelaki patula-tula.
Asing
dan asin. Bagaimana mungkin semesta tak menerima simbol-simbol ketiadaan ini
dengan baik? Katakanlah siang itu, setidaknya langit mendung atau sedikit
berawan, perahu-perahu cadik menepih dengan tenang, dan angin laut bisa sedikit
lebih anggun. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Terik dan awan seakan
berlomba tak bersahabat, hasil-hasil laut berlimpah menyulut kesenangan, dan
angin laut berdengung sejadi-jadinya melewati daun telinga. Sedang seorang
lelaki muda terlihat menekuk lutut, menggigil dengan bayi merah yang sesekali
menguap meminta susu sementara ibunya tak lagi bernyawa di sebelahnya.
Aku
tak banyak tahu tentang emmak, dia meninggal di umurku yang baru dua hari. Dan
bapak, ingatan masa kecilku selalu berkata, ia tak pernah menyukai pun
membenciku. Seorang tetangga pernah berkata dengan iseng, “bapakmu itu sangat
sayang padamu, ia tidak mau kau juga mati seperti emmakmu”.
Setiap
orang hanya menjadikan alasan turut
berduka cita untuk selanjutnya bergunjing sudah kuduga ini akan terjadi ketika menuruni anak tangga sambil
menepi-nepiskan butiran pasir yang sudah mulai hangat, berserakan seperti
bekerja sama, seperti menyisahkan waktu luang bagi mereka untuk berkomentar
sementara kaki-kaki mereka berusaha mengenali alas kaki yang hampir menyatu
seluruhnya dengan pasir kering. Untuk beberapa alasan, kau bahkan bisa menyamai
Tuhan dalam hal garis penakdiran. Salah satunya dengan menjual mitos atau
menjajahkan kepercayaan tetuamu.
Aku
percaya, emmak mati karena waktunya memang telah habis. aku cukup dewasa untuk
menyadari bahwa sikap dingin bapak tak pernah terlepas dari rasa cemburunya
kepadaku, aku yang dengan hebatnya membunuh ibu dengan pembelaan kasih sayang
seorang ibu terhadap anaknya. Dan aku hanya membutuhkan dua hari untuk mengubah
keadaan ini tanpa celah. Bapak terlalu sibuk di dalam diamnya. Kepercayaan
dirinya sungguh memadai untuk menciptakan satu alasan pembunuhan. Padahal ini
tak pernah berhubungan dengannya. Akan kubuktikan bahwa ini adalah salahku meski
jawabannya adalah kematian.
Sejak
hari itu, lelaki muda itu menua dengan cepat. Merawat anak semata wayangnya
tanpa gairah. Menyekolahkan dan memenuhi semua kebutuhannya tanpa kasih sayang.
Ia tahu, akan ada waktu yang tepat untuknya bercerita tentang keengganannya,
kekhawatiran, dan rasa bersalahnya. Kelak jika ia yakin bahwa anaknya sudah
cukup dewasa.
Tidak
pernah kutanyakan banyak hal kepada bapak, bagiku ia tak ada bedanya dengan
orang asing. Usahaku untuk berbuat baik selalu sia-sia. Masakanku tak pernah
disentuhnya, bahkan aku tak pernah tahu apa yang diminumnya. Kopi kah? Teh kah?
Ia selalu berhasil menghapuskan jejak-jejak pengetahuanku tentangnya. Jika
cuaca buruk dan ia tak melaut, disuruhnyaku untuk pergi meninggalkan rumah dan
pulang saat ia sudah tidur. Bahkan aku tak pernah punya kesempatan cukup untuk
menatap setiap lekukan di wajahnya. Apakah berlebihan jika kupanggil ia bapak?
Tak
ada yang tahu pasti tentang kematian istrinya, ia tak pernah terlihat sakit.
Bahkan diusia kandungannya yang sudah menginjak usia delapan bulan, Ia masih
sempat massire, membuat pukat pesanan
warga untuk penghasilan tambahan biaya lahirannya. Sehari setelah melahirkan ia sudah bisa
menyiapkan sarapan untuk suaminya, menyiapkan air hangat untuk mandi anaknya,
melipat pakaian, dan menyapu teras rumah. Di hari kematiannya pun tak ada yang
tahu sebab pastinya, dukun pun dokter.
Sekali
waktu kudapati bapak berdiri di depan cermin dengan posisi membelakang, ada
benda berkilauan di tangannya, silet. Aku mendekat dan menyaksikan ia
mengarahkan benda tajam itu ke tengkuknya. Spontan aku berteriak dengan suara
yang entah bagaimana tak tertahan sedikit pun. Ia tersentak dan terlihat
mengurungkan niat awalnya. Sebelum berlalu kudengar ia berbisik, “karena bapak
ingin kau hidup jauh labih lama”. Di lain kesempatan, akan kuceritakan tentang
cermin yang tidak dapat memantulkan bayangan jika kau tak memintanya.
Ketika
semua orang terlihat bertanya-tanya perihal kematian istrinya, ia hanya diam
seolah telah memahami tentang hakikat melepas. Di malam ke tujuh kepergian
istrinya, tepat di bulan purnama penuh, bau asin menyeruak. Ia tahu arwah
istrinya masih berada di bilik bambu dingin itu, mengajaknya bercengkrama dan
membelai-belai kepala putri semata wayang mereka sambil berbisik, “hiduplah
lebih lama anakku”. Tiba-tiba debur ombak terasa begitu dekat, ia yakin alam
memberinya tanda bahwa sebenarnya kematian itu di luar dari takdir hidup yang
sebenarnya.
Di
tepian yang lepas, di sepanjang deretan bakau yang menyisahkan setumpuk tiram,
dapat kaurasakan tentang basahnya butiran pasir yang mengendap sedemikian rupa.
Deretan batang-batang kelor yang membentuk semak menutupi batu-batu nisan.
Meski lautan menyambut kematiannya dengan kemeriahan yang berbeda tapi perlahan
jilatan ombaklah yang menemani sunyinya liang lahat. Siapakah yang lebih
memahami kematian dalam hidup ini selain Si mati itu sendiri? Masih dibutuhkankah
pemahaman itu ketika kita sudah mati?
Ingatanku
mengembara menyusuri langit-langit kamar yang masih berhiaskan kelambu dan
bunga plastik. Baru saja kupejamkan mata ketika suamiku datang dan mendekatkan
wajahnya pada wajahku. Ia mengecup wajahku secara memburu, ke leher dan entah
ke mana lagi. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berusaha meraba-raba dengan
telapak tanganku. Selagi ia kembali melumat bibirku kusadari aku menyentuh
sesuatu di tengkuknya. Akankah aku juga akan mati?
Sisi kiri ruangan, 29 Maret 2015
Vy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar