Minggu, 05 April 2015

Setelah Menyentuhnya, Kutahu Aku Akan Mati



Emmakmu tak pernah percaya tapi diam-diam ia meyakininya. Bapak pun tak mau percaya tapi keyakinan emmakmu membuat bapak menyesal tak menghilangkan tanda tula ini. Kau tahu anakku, bapakmu ini lelaki patula-tula.

Asing dan asin. Bagaimana mungkin semesta tak menerima simbol-simbol ketiadaan ini dengan baik? Katakanlah siang itu, setidaknya langit mendung atau sedikit berawan, perahu-perahu cadik menepih dengan tenang, dan angin laut bisa sedikit lebih anggun. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Terik dan awan seakan berlomba tak bersahabat, hasil-hasil laut berlimpah menyulut kesenangan, dan angin laut berdengung sejadi-jadinya melewati daun telinga. Sedang seorang lelaki muda terlihat menekuk lutut, menggigil dengan bayi merah yang sesekali menguap meminta susu sementara ibunya tak lagi bernyawa di sebelahnya.
Aku tak banyak tahu tentang emmak, dia meninggal di umurku yang baru dua hari. Dan bapak, ingatan masa kecilku selalu berkata, ia tak pernah menyukai pun membenciku. Seorang tetangga pernah berkata dengan iseng, “bapakmu itu sangat sayang padamu, ia tidak mau kau juga mati seperti emmakmu”.
Setiap orang hanya menjadikan alasan turut berduka cita untuk selanjutnya bergunjing sudah kuduga ini akan terjadi ketika menuruni anak tangga sambil menepi-nepiskan butiran pasir yang sudah mulai hangat, berserakan seperti bekerja sama, seperti menyisahkan waktu luang bagi mereka untuk berkomentar sementara kaki-kaki mereka berusaha mengenali alas kaki yang hampir menyatu seluruhnya dengan pasir kering. Untuk beberapa alasan, kau bahkan bisa menyamai Tuhan dalam hal garis penakdiran. Salah satunya dengan menjual mitos atau menjajahkan kepercayaan tetuamu.
Aku percaya, emmak mati karena waktunya memang telah habis. aku cukup dewasa untuk menyadari bahwa sikap dingin bapak tak pernah terlepas dari rasa cemburunya kepadaku, aku yang dengan hebatnya membunuh ibu dengan pembelaan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Dan aku hanya membutuhkan dua hari untuk mengubah keadaan ini tanpa celah. Bapak terlalu sibuk di dalam diamnya. Kepercayaan dirinya sungguh memadai untuk menciptakan satu alasan pembunuhan. Padahal ini tak pernah berhubungan dengannya. Akan kubuktikan bahwa ini adalah salahku meski jawabannya adalah kematian.
Sejak hari itu, lelaki muda itu menua dengan cepat. Merawat anak semata wayangnya tanpa gairah. Menyekolahkan dan memenuhi semua kebutuhannya tanpa kasih sayang. Ia tahu, akan ada waktu yang tepat untuknya bercerita tentang keengganannya, kekhawatiran, dan rasa bersalahnya. Kelak jika ia yakin bahwa anaknya sudah cukup dewasa.
Tidak pernah kutanyakan banyak hal kepada bapak, bagiku ia tak ada bedanya dengan orang asing. Usahaku untuk berbuat baik selalu sia-sia. Masakanku tak pernah disentuhnya, bahkan aku tak pernah tahu apa yang diminumnya. Kopi kah? Teh kah? Ia selalu berhasil menghapuskan jejak-jejak pengetahuanku tentangnya. Jika cuaca buruk dan ia tak melaut, disuruhnyaku untuk pergi meninggalkan rumah dan pulang saat ia sudah tidur. Bahkan aku tak pernah punya kesempatan cukup untuk menatap setiap lekukan di wajahnya. Apakah berlebihan jika kupanggil ia bapak?
Tak ada yang tahu pasti tentang kematian istrinya, ia tak pernah terlihat sakit. Bahkan diusia kandungannya yang sudah menginjak usia delapan bulan, Ia masih sempat massire, membuat pukat pesanan warga untuk penghasilan tambahan biaya lahirannya.  Sehari setelah melahirkan ia sudah bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya, menyiapkan air hangat untuk mandi anaknya, melipat pakaian, dan menyapu teras rumah. Di hari kematiannya pun tak ada yang tahu sebab pastinya, dukun pun dokter.
Sekali waktu kudapati bapak berdiri di depan cermin dengan posisi membelakang, ada benda berkilauan di tangannya, silet. Aku mendekat dan menyaksikan ia mengarahkan benda tajam itu ke tengkuknya. Spontan aku berteriak dengan suara yang entah bagaimana tak tertahan sedikit pun. Ia tersentak dan terlihat mengurungkan niat awalnya. Sebelum berlalu kudengar ia berbisik, “karena bapak ingin kau hidup jauh labih lama”. Di lain kesempatan, akan kuceritakan tentang cermin yang tidak dapat memantulkan bayangan jika kau tak memintanya.
Ketika semua orang terlihat bertanya-tanya perihal kematian istrinya, ia hanya diam seolah telah memahami tentang hakikat melepas. Di malam ke tujuh kepergian istrinya, tepat di bulan purnama penuh, bau asin menyeruak. Ia tahu arwah istrinya masih berada di bilik bambu dingin itu, mengajaknya bercengkrama dan membelai-belai kepala putri semata wayang mereka sambil berbisik, “hiduplah lebih lama anakku”. Tiba-tiba debur ombak terasa begitu dekat, ia yakin alam memberinya tanda bahwa sebenarnya kematian itu di luar dari takdir hidup yang sebenarnya.
Di tepian yang lepas, di sepanjang deretan bakau yang menyisahkan setumpuk tiram, dapat kaurasakan tentang basahnya butiran pasir yang mengendap sedemikian rupa. Deretan batang-batang kelor yang membentuk semak menutupi batu-batu nisan. Meski lautan menyambut kematiannya dengan kemeriahan yang berbeda tapi perlahan jilatan ombaklah yang menemani sunyinya liang lahat. Siapakah yang lebih memahami kematian dalam hidup ini selain Si mati itu sendiri? Masih dibutuhkankah pemahaman itu ketika kita sudah mati?
Ingatanku mengembara menyusuri langit-langit kamar yang masih berhiaskan kelambu dan bunga plastik. Baru saja kupejamkan mata ketika suamiku datang dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ia mengecup wajahku secara memburu, ke leher dan entah ke mana lagi. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berusaha meraba-raba dengan telapak tanganku. Selagi ia kembali melumat bibirku kusadari aku menyentuh sesuatu di tengkuknya. Akankah aku juga akan mati?
Sisi kiri ruangan, 29 Maret 2015
Vy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar