Karena
ia suka menunggu, maka dipesannya sebuah bangku kayu yang kokoh dengan empat
kaki penyangga dari sebuah toko mebel di sebuah perempatan jalan dekat rumahnya,
lengkap dengan sandaran yang dibuat nyaman agar tidur pun bisa pulas selagi
waktu masih bersahabat.
***
Rahasia
hidup dan rahasia mati adalah keniscayaan. Namun jika tiba-tiba seseorang
datang menanyakan keniscayaan itu, berilah jawaban yang tak memancing
pertanyaan lanjutan. Di sebuah pagi, “Tammate,
merupakan gabungan dari kata tena yang
berati tidak dan mate yang berarti
mati dalam bahasa Makassar. Mengalami penghilangan dan pelesapan fonem yang
kemudian diucapkan secara konvensional oleh orang-orang suku Makassar dan juga
diikuti oleh masyarakat suku Bugis. Kata tammate
mewakili tanda terhadap sebuah pohon berakar tunggang yang tumbuh abadi dengan
sederhana. Tumbuh kokoh meski hanya ditancapkan secara serampangan. Tetap subur
meski tanpa unsur-unsur hara yang memadai. Tak memiliki tanda-tanda kematian
meski ia berasal dari ketiadaan. Sekalipun semua makhluk hidup akan mati,
mungkin ia akan tetap hidup. Karena ia tammate”.
***
Usia
pagi ini masih sangat muda, aku melintas dan menyaksikan sendiri perempuan tua
dengan seduhan secangkir teh yang tak pernah tampak mengepul itu bersandar dengan
kokoh namun kosong. Hampir setiap hari aku melintas di depan rumahnya yang
masih berpagarkan bambu dan hampir setiap hari pula aku menyaksikan pemandangan
yang sama. Rutinitas yang biasa namun begitu indah, momen yang tak pernah
terlewatkan meski sesekali tak kusempatkan untuk menoleh.
***
Bumi
beralih suhu dan ia kembali mematung, melipat waktu ke arahnya, mengolahnya
menjadi kesempatan, tetap tabah dan terbiasa. “aku tak sedang menunggu, hanya
tak ingin melewatkan sesuatu, kalian diam saja, atau kremasi saja tubuhku
bersama bangku ini, jangan sungkan menungguku mati”. Bahkan bumi pun bergetar
mendengar perkataannya. Ia memilih tua dan berharap mati di sana.
***
Ada
yang ganjil di sana, siapa perempuan tua itu. Rumah itu selalu ramai tapi
mengapa keberadaannya terlihat asing. Beberapa kali kudapati ia menggerutu
sedemikian rupa, menolak keberadaan orang-orang di sekitarnya. Kemudian kutarik
kesimpulan bahwa ia tak ingin diganggu. Penasaran, kusempatkan untuk melintas
di tempat itu sampai dua kali sehari saat pergi dan pulang kerja dan
pemandangan itu masih sama. Di waktu luang kuputuskan untuk mencari tahu secara
diam-diam, kisah perempuan tua dengan secangkir teh yang tak pernah mengepul
itu.
***
Bangku
itu masih hidup. Kalau saja kita meletakkannya di tanah, tentu akarnya akan
merambat. Bangku itu tak sebiasa yang kalian lihat. Ia berasal dari batang
pohon kesepian yang merelakan dirinya untuk diserabut karena kekasihnya
berhianat. Bersama perempuan tua itu ia kembali ingin hidup, meski jatuh cinta
tak semenyenangkan yang kalian kira tapi darinya ia kembali menemukan cinta
dengan tujuan hidup yang sama. Setia.
***
Kesempatan
itu ada, sesaat setelah melintas, terdengar deretan-deretan batang bambu
menyeret tanah. Seorang perempuan parubaya berjalan dengan tergesah-gesah
dengan arah yang berlawanan denganku, kuputar arah dan kupercepat langkah.
Spontanitas ini membuatku lupa dengan apapun di luar dari kesempatan mencari
tahu tentang momen abadi yang selalu berhasil kunikmati. Entah karena apa.
***
Keindahan
sejati hanya terjadi sekali seumur hidup, jika terjadi dua kali itu adalah
keindahan lanjutan, jika terjadi tiga kali itu adalah bonus dari lanjutan, dan
begitulah seterusnya. Karena itu, meski tak sejati, keindahan tetaplah selalu
ada dan sudah seharusnya untuk selalu diberi kesempatan. Sudah malam, sudah
saatnya istirahat. Memanfaatkan malam untuk kepentingan di siang hari adalah
keegoisan yang mutlak.
***
Perempuan
parubaya itu berjalan dengan sedikit terburu-buru. Mungkin ia sepakat bahwa
waktu adalah uang. Sementara ia berjalan, aku mengikutinya dan secepat mungkin
berada di sebelahnya. Karena aku juga sepakat bahwa waktu adalah uang maka
kuselesaikan urusanku dengan cara cepat. Hari itu aku kembali dan melewati
malam yang cukup panjang.
***
Angin
pagi pernah menemui angin malam untuk bercerita tentang apa-apa saja yang harus
dipersiapkannya untuk sebuah keabadian. Kemudian angin malam menceritakan kisah
tentang tammate.
***
Pagi-pagi
sekali aku siap untuk berangkat bekerja dengan berbagai perkakas yang sesegera
mungkin kumasukkan ke dalam tas kerja yang langsung kusampirkan di pundak. Hari
ini kuputuskan untuk menemui perempuan tua itu. Dengan pengetahuan tentang tammate yang tak memadai. Tentang
pengalaman-pengalaman memahat yang tak seberapa. Tentang status pekerjaan yang
kumiliki, tentang rutinitas, kesempatan, dan pertautan waktu. Aku cukup tahu
tentang bagaimana harus memulai percakapan itu. Bangku kayu dan kesetiaan. Akan
kuceritakan tentang kisah tukang kayu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk membuat
sendiri kursinya dengan nyaman agar kelak ia bisa mati sambil menghayati
hidupnya di sana. Ini sedikit kupaksakan, manusia modern menamainya alternatif.
***
Bangku
itu biasa saja. Bodoh sekali jika kalian percaya bahwa ia masih hidup. Tak ada
yang istimewa. Di sebuah pagi yang membosankan, perempuan tua itu menemukan
sebuah brosur dari perusahaan mebel yang belum cukup bernama. Untuk mengisi
waktu luang, ia menekan angka di gagang telefon dan memesan barang secara
sembarang, “bangku kayu yang nyaman, yang berasal dari batang pohon abadi”,
tutupnya.
***
Mungkin
aku dan perempuan tua itu pernah mengembara bersama dengan perwujudan jiwa
sebelum terperangkap di tubuh masing-masing. Aku serasa pernah mengenalnya.
Entah diamnya, secangkir teh yang tak pernah mengepul, pagar bambu, atau
mungkin bangku kayunya. Sejauh aku menimbang, belum sempat aku menemukan
pertautan itu. Kecuali cerita tentang tammate
yang pernah diceritakan oleh salah seorang anaknya dengan terburu-buru.
Benarkah ada yang seperti itu?
***
Angin
malam membalik arah, mengejar angin subuh untuk menitipkan lanjutan ceritanya
kepada angin pagi. “dulu, jauh sebelum rumah ini memiliki teras, sebelum aku
memesan bangku kayu secara sembarangan, aku lebih senang mengurung diri di
kamar. Menyeduh teh celup di suhu seratus derajat selsius dan baru
menyeruputnya jika suhunya sempurna serupa dengan suhu kamar. Aku tak
menyenangi panas yang amat, aku tak suka tantangan terlebih keterkejutan
apalagi jika itu menyiksa. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan satu cara.
Setia”. Beginilah kisah ini diawali.
Sudut
ruangan 17 Maret 2015
Vy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar