Minggu, 05 April 2015

Tammate



Karena ia suka menunggu, maka dipesannya sebuah bangku kayu yang kokoh dengan empat kaki penyangga dari sebuah toko mebel di sebuah perempatan jalan dekat rumahnya, lengkap dengan sandaran yang dibuat nyaman agar tidur pun bisa pulas selagi waktu masih bersahabat.
***
Rahasia hidup dan rahasia mati adalah keniscayaan. Namun jika tiba-tiba seseorang datang menanyakan keniscayaan itu, berilah jawaban yang tak memancing pertanyaan lanjutan. Di sebuah pagi, “Tammate, merupakan gabungan dari kata tena yang berati tidak dan mate yang berarti mati dalam bahasa Makassar. Mengalami penghilangan dan pelesapan fonem yang kemudian diucapkan secara konvensional oleh orang-orang suku Makassar dan juga diikuti oleh masyarakat suku Bugis. Kata tammate mewakili tanda terhadap sebuah pohon berakar tunggang yang tumbuh abadi dengan sederhana. Tumbuh kokoh meski hanya ditancapkan secara serampangan. Tetap subur meski tanpa unsur-unsur hara yang memadai. Tak memiliki tanda-tanda kematian meski ia berasal dari ketiadaan. Sekalipun semua makhluk hidup akan mati, mungkin ia akan tetap hidup. Karena ia tammate”.
***
Usia pagi ini masih sangat muda, aku melintas dan menyaksikan sendiri perempuan tua dengan seduhan secangkir teh yang tak pernah tampak mengepul itu bersandar dengan kokoh namun kosong. Hampir setiap hari aku melintas di depan rumahnya yang masih berpagarkan bambu dan hampir setiap hari pula aku menyaksikan pemandangan yang sama. Rutinitas yang biasa namun begitu indah, momen yang tak pernah terlewatkan meski sesekali tak kusempatkan untuk menoleh.
***
Bumi beralih suhu dan ia kembali mematung, melipat waktu ke arahnya, mengolahnya menjadi kesempatan, tetap tabah dan terbiasa. “aku tak sedang menunggu, hanya tak ingin melewatkan sesuatu, kalian diam saja, atau kremasi saja tubuhku bersama bangku ini, jangan sungkan menungguku mati”. Bahkan bumi pun bergetar mendengar perkataannya. Ia memilih tua dan berharap mati di sana.
***
Ada yang ganjil di sana, siapa perempuan tua itu. Rumah itu selalu ramai tapi mengapa keberadaannya terlihat asing. Beberapa kali kudapati ia menggerutu sedemikian rupa, menolak keberadaan orang-orang di sekitarnya. Kemudian kutarik kesimpulan bahwa ia tak ingin diganggu. Penasaran, kusempatkan untuk melintas di tempat itu sampai dua kali sehari saat pergi dan pulang kerja dan pemandangan itu masih sama. Di waktu luang kuputuskan untuk mencari tahu secara diam-diam, kisah perempuan tua dengan secangkir teh yang tak pernah mengepul itu.
***
Bangku itu masih hidup. Kalau saja kita meletakkannya di tanah, tentu akarnya akan merambat. Bangku itu tak sebiasa yang kalian lihat. Ia berasal dari batang pohon kesepian yang merelakan dirinya untuk diserabut karena kekasihnya berhianat. Bersama perempuan tua itu ia kembali ingin hidup, meski jatuh cinta tak semenyenangkan yang kalian kira tapi darinya ia kembali menemukan cinta dengan tujuan hidup yang sama. Setia.
***
Kesempatan itu ada, sesaat setelah melintas, terdengar deretan-deretan batang bambu menyeret tanah. Seorang perempuan parubaya berjalan dengan tergesah-gesah dengan arah yang berlawanan denganku, kuputar arah dan kupercepat langkah. Spontanitas ini membuatku lupa dengan apapun di luar dari kesempatan mencari tahu tentang momen abadi yang selalu berhasil kunikmati. Entah karena apa.
***
Keindahan sejati hanya terjadi sekali seumur hidup, jika terjadi dua kali itu adalah keindahan lanjutan, jika terjadi tiga kali itu adalah bonus dari lanjutan, dan begitulah seterusnya. Karena itu, meski tak sejati, keindahan tetaplah selalu ada dan sudah seharusnya untuk selalu diberi kesempatan. Sudah malam, sudah saatnya istirahat. Memanfaatkan malam untuk kepentingan di siang hari adalah keegoisan yang mutlak.
***
Perempuan parubaya itu berjalan dengan sedikit terburu-buru. Mungkin ia sepakat bahwa waktu adalah uang. Sementara ia berjalan, aku mengikutinya dan secepat mungkin berada di sebelahnya. Karena aku juga sepakat bahwa waktu adalah uang maka kuselesaikan urusanku dengan cara cepat. Hari itu aku kembali dan melewati malam yang cukup panjang.
***
Angin pagi pernah menemui angin malam untuk bercerita tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkannya untuk sebuah keabadian. Kemudian angin malam menceritakan kisah tentang tammate.
***
Pagi-pagi sekali aku siap untuk berangkat bekerja dengan berbagai perkakas yang sesegera mungkin kumasukkan ke dalam tas kerja yang langsung kusampirkan di pundak. Hari ini kuputuskan untuk menemui perempuan tua itu. Dengan pengetahuan tentang tammate yang tak memadai. Tentang pengalaman-pengalaman memahat yang tak seberapa. Tentang status pekerjaan yang kumiliki, tentang rutinitas, kesempatan, dan pertautan waktu. Aku cukup tahu tentang bagaimana harus memulai percakapan itu. Bangku kayu dan kesetiaan. Akan kuceritakan tentang kisah tukang kayu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk membuat sendiri kursinya dengan nyaman agar kelak ia bisa mati sambil menghayati hidupnya di sana. Ini sedikit kupaksakan, manusia modern menamainya alternatif.
***
Bangku itu biasa saja. Bodoh sekali jika kalian percaya bahwa ia masih hidup. Tak ada yang istimewa. Di sebuah pagi yang membosankan, perempuan tua itu menemukan sebuah brosur dari perusahaan mebel yang belum cukup bernama. Untuk mengisi waktu luang, ia menekan angka di gagang telefon dan memesan barang secara sembarang, “bangku kayu yang nyaman, yang berasal dari batang pohon abadi”, tutupnya.
***
Mungkin aku dan perempuan tua itu pernah mengembara bersama dengan perwujudan jiwa sebelum terperangkap di tubuh masing-masing. Aku serasa pernah mengenalnya. Entah diamnya, secangkir teh yang tak pernah mengepul, pagar bambu, atau mungkin bangku kayunya. Sejauh aku menimbang, belum sempat aku menemukan pertautan itu. Kecuali cerita tentang tammate yang pernah diceritakan oleh salah seorang anaknya dengan terburu-buru. Benarkah ada yang seperti itu?
***
Angin malam membalik arah, mengejar angin subuh untuk menitipkan lanjutan ceritanya kepada angin pagi. “dulu, jauh sebelum rumah ini memiliki teras, sebelum aku memesan bangku kayu secara sembarangan, aku lebih senang mengurung diri di kamar. Menyeduh teh celup di suhu seratus derajat selsius dan baru menyeruputnya jika suhunya sempurna serupa dengan suhu kamar. Aku tak menyenangi panas yang amat, aku tak suka tantangan terlebih keterkejutan apalagi jika itu menyiksa. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan satu cara. Setia”. Beginilah kisah ini diawali.
Sudut ruangan 17 Maret 2015
Vy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar