Senin, 30 Maret 2015

Gang (gang) Sempit



Dia hamil, makanya tak kutendang. Sementara ia berlalu, aku berlari ke ujung gang hanya untuk meringis sejadi-jadinya.
Setiap sisi kota punya rahasianya, begitupun dengan malam dan misterinya. Apa kabar dengan sisi-sisi kota di waktu malam? Tentu rahasia dan misterinya jauh lebih kompleks. Bahkan hal ini baru saja terlintas di kepalaku.
Apakah kau pernah mendengar tentang tembok lembab sebagai pemegang kunci rahasia-rahasia gang sempit? Aku pernah mendengar itu sekali waktu di akhir tahun menjelang tahun baru. Apapun bisa terjadi di sebuah gang terlebih jika itu sempit atau sangat sempit. Aku pun pernah mengalamainya tapi tak akan kuceritakan sekarang, setidaknya di sini.
Ini pertemuan pertama kami dan mungkin saja juga yang terakhir. Ia berjalan lesu dengan mata berair menggenang tak menetes, kaki-tangannya kotor dan langkahnya gontai ke arah matahari terbenam, kulihat sebagian besar kulit wajahnya terkelupas. Kubayangkan ia yang kelaparan, berusaha menyambar gorengan di ujung lorong yang segera mendapatkan sambutan sodet panas bekas menggoreng sukun, dan tak sengaja mengenai wajahnya. Ia meraung kesakitan, berlari sempoyongan ke sembarang arah.
Kubayangkan lagi ia yang berjalan tanpa arah tiba-tiba tergerak untuk mendekati jendela kaca setengah terbuka dari arah dapur. Karena lapar, ia mulai mengintip dari celah yang tak mungkin ia lalui. Tiba-tiba pemilik rumah muncul dari balik gorden untuk mematikan jerangan airnya, karena kaget, sementara tangan mematikan kompor, di angkatnya gagang panci dan menyiramkannya ke balik jendela. Kukira ia tentu kesakitan tak terkira. Menabrak pot tanaman hias, tersungkur di tanah dan merana sejadi-jadinya. Jahatkah orang itu?
Kota-kota besar memang hanyalah kamuflase dari pembangunan dan perbaikan sistem. Harusnya perhatian pemerintah juga tak luput dari gang-gang sempit! Aku membayangkan, betapa dinding-dinding gang yang lembab adalah pemegang rahasia yang paling setia, objektif, dan pencerita sejarah yang baik. Bisa saja Indonesia merdeka lebih awal, tak perlu menunggu Hiroshima dan Nagasaki dibom agar sekutu meninggalkan tanah air dan para pemuda menculik bapak proklamator untuk menyuarakan narasi kemerdekaan, jika yang ditugasi untuk menjadi mata-mata negara adalah tembok-tembok pembatas kota. Kemudian saya juga membayangkan apa jadinya buku sejarah negara republik jika satu-satunya sumber penceritaan lisan adalah dinding gang-gang sempit yang berkompeten di bidangnya. Hahahaha… sepertinya ada yang tidak beres dengan syaraf-syaraf di kepala dan di sumsum tulang belakangku.
Kuperhatikan ia dari jarak yang sudah lumayan jauh, kini hanya siluetnya yang bisa kutangkap. Kutahu ia sedang berisi, sepertinya sebentar lagi ia akan melahirkan. Haruskah aku mengejar dan menawarkannya tempat untuk pulang? Setidaknya sampai perutnya kembali mengempis. Mungkinkah aku sedikit berlebihan? Mungkin ini karena pengaruh obat pilek yang kuminum siang tadi. Aku bahkan memikirkan sesuatu yang oleh orang lain tidaklah terlalu penting. Siapakah ayah dari anak yang dikandungnya? Apakah ada hubungannya dengan gang sempit? Belum sempat aku membayangkan kemungkinan itu, tiba-tiba kakiku tersandung batu. Aku mulai mengantuk, pengaruh obat pilek.
Sebentar lagi aku akan memasuki gang sempit untuk dapat sampai ke rumah kontrakanku. Di mulut gang aku bergidik, bulu kudukku meremang padahal ini masih sore. Diakah itu? atau hanya mirip? Tapi ia juga berisi. Sebelum membuka kunci pagar,  kuperiksa kantongan yang sedari tadi kutenteng, kuambil sepotong ikan asin dan kuletakkan di hadapannya. Tanpa respon yang berarti ia melahap daging sampai ke tulang-tulangnya. Sebelum masuk kusempatkan berjongkok dan mengelus kepalanya, tak ada luka di sana tapi ia juga berisi. Ia bergumam meong dan kujawab sama-sama.
Dunia lain, 26 Maret 2015
Vy




Tidak ada komentar:

Posting Komentar