Sabtu, 21 November 2015

Kopi

Maka apalah kandungan yang mengaliri seampas kopi dan sesisa pahit di tenggorokan?
Mungkin ada yang mesti dikenang meski mercusuar menjulang kesepian menunggu kapal-kapal untuk menepih

Tentu terjaga adalah cara terbaik untuk menguraikan pahit di ulu hati juga di lubuk hati

Sao Panrita 12 November 2015

Sabtu, 26 September 2015

Rumah (2)

Kutitipkan dunia di telapak tanganmu
Semoga yang kauiyakan kuterima tanpa kata tetapi
Jangan beranjak sekalipun bayang-bayang meninggalkanku

Akan kupinjamkan sebelah sayapku untukmu terbang
Asal kau tak lupa kembali
Melengkapi kepakan rindu dan indahnya temaram
Sampai kita menemukan ikatan terbaik dari setiap luka yang telah lalu

Matamu adalah segala kelapangan tempat kenanganku akan mengakar dan hidup dalam kedamaian
Tempat ternyaman untukku jatuh dan lupa kembali

Untukmu aku berhenti
Kau adalah keteduhan
Layaknya rumah
Tempatku pulang

Maros, 26 September 2015

Senin, 17 Agustus 2015

Selamat Ulang Tahun

Kurang tiga puluh menit sebelum tengah malam, kutau Tuhan selalu terjaga sekalipun dunia sedang terlelap
Sungguh aku sangat ingin bertamu, mengajakNya bercengkrama, dan mengenalkanmu kepadaNya.
Sedikitnya, akan kukatakan bahwa sebentar lagi usiamu bertambah setahun.
Semoga kamu senantiasa dirahmatiNya.
Semakin bertambah usiamu, semakin aku ingin tenggelam dan tak ingin menjadi dewasa. Semoga ini tak memberatkanmu.
Sebelum kembali karena secangkir kopiku kini hanya tersisa ampasnya, sekali lagi kuminta kepada Tuhan agar kau senantiasa sehat, tetap sehat, dan harus baik-baik saja.
Happy birthday!!

Jumat, 14 Agustus 2015

Undangan

Apa kau tak ingin kembali?
Hari ini sajakku merayakan harinya yang ke tiga ratus enam puluh lima
Datanglah walau hanya sekadar berucap doa panjang umur dan murah rezeki
Demi kemurahan hati tuan rumah
Kuberimu waktu sampai empat dari lima lembar yang tersisa
Banyak yang perlu kusiapkan karena itu datanglah lebih awal
Agar kita dapat mengisi lembar terakhir bersama-sama

Makassar, 13 Agustus 2015

Kamis, 16 Juli 2015

Satu Syawal Ketiga Kita

Perasaanku ternyata tak pernah berubah setiap kali aku berdiri pada hamparan kesedihan, tepat ke arah selatan aku memandang ke belakang. Jauh ke belakang. Sangat jauh.
Peganganku ternyata tak pernah cukup untuk membuatku berdamai dengan hidup. Dengan latah aku mengeja satu persatu usaha yang telah kubangun. Ah gagal!
Tidak apa-apa, setidaknya kedatanganku hanya untuk mendoakanmu sekaligus menebus rinduku padamu. Juga pada Tuhan kita.
Aku gemetar, sayang! Aku gugup, aku menangis dengan air mata yang telah usang.
Hari ini adalah tahun ketiga aku berkunjung, satu syawal ketiga aku menekur pasrah di hadapan nisanmu. Itu berarti ini sudah tahun ketiga kehendak takdir dan nasib memisahkan kita.
Doaku cukup sederhana, di sana kau menemukan kedamaian dan tak kesepian. Semoga ada kesempatan di satu syawal yang akan datang.
Alfatiha...

Maros, 17 Juli 2015

Kamis, 09 Juli 2015

Dua Sajak Renta (sebuah nama belakang)

#
Apa yang hendak kau curi dari seorang perenung sepertiku?
Kepunyaanku hanyalah sajak-sajak renta yang mulai udzur karena petualangan
Atau kau ingin mengambil yang itu?
kusarankan tidak perlu
Tak ada yang pantas dicuri dari apa yang telah kau miliki
Sejak dulu
Telah lama

#
Tidak akan kudapati aku yang bingung ketika memikirkan namamu tepat berada di belakang namaku
Tak ada alibi -mutlak-
Telah diatur dengan baik meski tergesah-gesah dan sepintas lalu
Maka dari itu tetaplah di sana dengan manis
Yang perlu kau lakukan hanyalah mendoakanku dengan baik
Karena kini, kau tentu lebih dekat dengan Tuhan

Kartini Ridwan_
Makassar, 9 Juli 2015

Rabu, 08 Juli 2015

Ini Tentang Kamu; yang terlalu menghakimi, sesekali menerima, dan sesering mungkin kuusahakan

Ada banyak cara untuk membunuhmu
Tapi aku lebih suka membayangkan pembunuhan tanpa rencana
Seperti halnya ketika aku menggapai punggungmu dengan tiba-tiba

Aku tau persis bagaimana harus menyentuhmu
Tapi akan lebih menyenangkan bila kuceritakan kisah tentang pencari rumput dan penjajah kembang yang saling mencintai dengan cara biasa

Aku bisa dan tau lebih banyak
Sungguh ahli dalam beberapa hal
Lalu apa yang kau khawatirkan?
Tentu saja ini masih tentang kamu

Senin, 22 Juni 2015

Doa Hamba

Kesedihan jenis apa yang mampu menandingi sedihnya hamba yang tak menemukan tuhan di rumah tuhannya?

Malam ini cintaku mendua atas restuMu
Sebab cinta untukMu tertinggal di kamar mandi dan ditawar oleh cinta yang tak mendapatkan restu bumi dari hambaMu selain aku

-Padahal, aku hendak berjalan tanpa menoleh tapi kau malah menarik lenganku sambil berkata;  masih ingat denganku?
Iya. Aku belum bisa melupakanmu!
Dan setelahnya aku tak ingat apa-apa lagi-

Maros, 22 Juni 2015

Minggu, 21 Juni 2015

*Infinitum

Maukah kau hidup denganku? - sehidup tak semati -
Aku tau bagaimana harus hidup dan belum untuk mati
Di hidup kutemukan kau surgaku yang pasti
Sedang mati tak pasti kupenuhinya undangan dari masa depan

Jika realitas cukup menyakiti
Bertahanlah dalam fantasiku
Sebab di retinamu kudapati aku yang lalu dan di pupilmu kuamini kau di masa mendatang
Seluruhku ada di matamu
Bertahan, apa adanya tanpa perlawanan

Di masa depan yang tak lama lagi menjadi kenangan
Tidak akan kuhianatinya
Demi kejadian yang lalu, yang berulang; rasis dan statis

Kamu ...
Seluruhku ada di matamu
Bertahan, apa adanya tanpa perlawanan

*adaptasi judul novel Infinitum karya Ahyar Anwar

Maros
21 Juni 2015

Rabu, 17 Juni 2015

Rumah

Demi mendengar gembok dan anak kunci beradu, menyatu, kemudian membuka
Atas nama sisa makan malam dan roti berjamur di atas meja makan
Aku memandang dari celah gorden pemisah antara ruang tamu dan ruang kalbu
Menantikan langkah ringan yang menggeser kerikil
Ayunan tangan yang tak sengaja menyentuh mawarku, mengetuk pintu lalu berseru; aku pulang!

Senin, 15 Juni 2015

Lalu Apa Gunanya Bersetia Jika Tak Saling Percaya?

Ini hampir serupa dengan aku yang bertanya dan kamu yang menanggung jawab
Jawab tanpa motivasi tanya itu namanya pembelaan

Ini hampir serupa dengan kamu pamit sebelum jauh-jauh hari; sayang

Sempurna hampir serupa hari ini

Sabtu, 13 Juni 2015

Untuk Hanamizuki yang Sempat Berkunjung Sebelum Waktu Menjadi Jauh

Katakanlah seperti ini. Misalnya; lebih dari seribu (dari seribu satu) fase jatuh cinta selalu berawal dari  ketulusan memberi dan ucapan terima kasih yang berlebih.
Lepaskanlah ia demi kebaikan
Maka ia akan kembali pada kesempatan yang jauh lebih baik.
Pilihlah; vodca atau kelopak sakura?

Picture by @ieamn

Jumat, 12 Juni 2015

Kapan Saja Ketika Kau Menemukan Kuasa Selain yang Maha Kuasa, Kabari Aku

Sebab jarak selalu punya kuasa atas kesetiaan dan keakraban cerita.
Meski bertuhan adalah kehendak esa,
Seorang hamba selalu berkuasa untuk kehendak-kehendak primitif,
Yang menolak selangkah demi selangkah, lalu selangkahnya lagi
Agar tak ada kenangan yang akan memperpanjang jarak-jarak yang lain

Picture by @ieamn

Sabtu, 02 Mei 2015

Yang Paling Iya

Tentukan sendiri belahan bumi mana yang paling kausukai
Lalu tanyakan pada tuhan yang kita ciptakan
Doa jenis apa lagi yang ingin didengarnya?

Sempat lalu pada daun yang lupa layu
Adakah ia pernah mengenal keteduhan yang ringkih dan serbuk?

Duduk dan pungutlah mozaik terakhir dikali kauhendak temukan bahasa yang tak beraksara
Ada kecewa yang nikmat lagi bersahaja

Di belahan bumi yang tak kausuka
Kupilih pagi yang gusar sekaligus karib
Agar kau mencaritemukan persetujuan yang paling iya di lain waktu

Minggu, 05 April 2015

Namanya Manggasali



Ini aku ingin bercerita tentang mimpi. Ini tidaklah penting tapi mungkin bermanfaat walaupun hanya sekadar menambah perbendaharaan kata. Mimpi yang aneh, kupikir. Jika tidak begitu tidak akan kuceritakan. Bukankah sesuatu yang berulang berpotensi membuat manusia untuk berhenti hidup? Dalam artian hidup dengan menyenangkan, meski menyenangkan masih dapat dikategorikan relatif.
            Carl Gustav Jung, berasumsi tentang mimpi atau alam bawah sadar berkebalikan dengan apa yang diasumsikan Sang guru, Sigmund Freud, yang beranggapan bahwa “seseorang yang tidak berguna bagi psikoanalisa, dialah orang yang dianalisa oleh mimpinya dan bukan menganalisa mimpinya”. Tapi Jung bekeyakinan liar mengenai citra-citra dalam, penampakan yang muncul di mimpi tanpa didahului pengalaman*. Singkat cerita, Jung memilih untuk meninggalkan Sang guru atau mungkin diusir dengan sikap dingin dari lelehan antikritik. Bisa saja, saya meyakini salah satu atau bahkan keduanya. Tapi saat ini saya hanya ingin bercerita.
            Malam dingin masih melingkupi pusat kota, sisa dingin masih menggelayut di setiap jenjang kisah manusia biasa, sedang malaikat sibuk mengurusi urusan manusia. Katanya untuk membuat laporan kepada tuhan. Hmm mudah-mudahan tidak ada nepotisme di kehidupan selanjutnya. Manggasali adalah teman lama yang memilih tinggal di pinggiran kota, dekat pembuangan sampah umum yang jika hujan baunya bisa menembus lambung. Katanya ia ingin hidup menyatu dengan alam dengan memilih tempat yang strategis –surau dengan empat tiang, atap rumbia dengan sarang semut abadi, sepotong bambu penadah air hujan, serta satu pintu dan satu jendela di bagian depan dekat dipan bambu yang hanya muat untuk dua pantat- dekat dengan gundukan sampah organik, yang jika sempat ia buatkan lubang biopori dengan tujuan mengembangbiakkan cacing tanah, untuknya memancing mujair saat tak ada rapat paripurna di lantai enam puluh sembilan. Kalian cukup taulah ia sangat sibuk.
            Jelang tangah malam, penampakan gubuk Manggasali membuyarkan ingatan. Ada bias-bias serupa sefia dari celah-celah anyaman bambu, belum bisa dipastikan itu adalah pelita minyak tanah atau ia sudah mampu memanfaatkan lampu neon tenaga listrik. Cahaya itu seperti digerakkan angin. Benderang bila angin payah,  dan kadang redup jika angin berhembus ke delapan penjuru mata angin. Seakan-akan cahaya itu dipindahtempatkan ke dimensi lain yang hanya manusia tidak mampu menghayatinya, seperti mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang serba ketinggalan dan hanya memanfaatkan munafiknya untuk melenggang yakin. Sangat  yakin.
            Para kere bergunjing di sana setiap malam, setiap gubuk itu menjelma sefia.
            “warna itu memabukkan”, berkata salah satu dengan sedikit berbisik padahal tak bakal ada yang mendengarkan, apalagi Sang pemilik gubuk.
            “itu bukan warna. Itu bias”, tangkas yang satu dengan melirik sekali pada lawan bicaranya.
            “apa bedanya?”, suara itu sedikit meninggi.
            “oalah, jangan maksa biar saya jelaskan. Kita niat cuma pengen liat, bukan debat”, yang satu memilih untuk tak menjawab. Mungkin tak tahu jawabannya.
            “siapa yang kepengen debat? Ini kita cuma niat gunjing”, yang satunya lagi belum mau mengalah.
            “apa bedanya?”, mata itu mulai meletupkan cahaya dengan warna-warna ambigu.
            “nahloh. Cuma niat gunjing mas. Cuma gunjing”! percakapan itu terhenti sebab tak ada lagi jawaban ataupun pertanyaan lanjutan yang mampu menggairahkan lidah mereka berlama-lama di tempat itu.
Sering pula mereka hanya memandang kosong tak paham tentang ketakpahaman mereka. Mungkin menatap tanaman belukar berbunga indah yang jika siang berpenampakan tanaman hias tak betah tumbuh tapi tetap saja sangar membelit pagar bambu setinggi lutut bocah yang lebih mirip patok pembatas daripada pagar tanaman, dan kalau malam, terlebih sudah berlatar sefia, bunganya mengkilat bagai benda testil, bagai hamparan aspal basah dengan bias sorot kendaraan di malam hari, bagai laut tenang berbalut cahaya senja yang menyerah dengan tangguh. Sungguh mempesona. Sungguh ilusi yang sempurna. Siapa yang percaya kalau tanaman itu hanya makanan kambing, tempat ayam dan kucing singgah untuk membuang tai dan mengais-ngais di siang hari?
            Hampir subuh, terdengar bunyi jebyar-jebyur di balik dinding gubuk. Itu Manggasali sudah mandi dengan khidmat, siap menggelar sejadahnya, siap menengadahkan jiwa, bersyukur sejadi-jadinya sambil berdoa yang hanya bisa dipahami olehnya saja, beruntung tuhan maha mengetahui. Jika tidak, saya pun ragu tuhan akan mengangguk paham.
Di luar bau sampah masih menjejali atmosfer bumi, angin pagi menyerbu dari balik gunung-gunung sampah. Para kere sudah siap dengan karung di punggung serta tongkat pengais buatan tangan yang kadang tak sengaja mengait kaki sendiri. Mereka lalu lalang, datang dan pergi, bertahan dan tinggal sampai kelelahan dan rebah menyatu dengan sampah sampai petang. Dari kesemuanya, tak satu pun yang tak mengenal Manggasali, sebab untuk mencapai gundukan sampah, tak ayal mereka selalu bertemu dengan beliau. Sebab gubuknya adalah batas antara pusat dan tepi, ketaksadaran dan sadar, perasaan dan pikiran, tuhan dan hamba, sampah dan jalan alternatif menuju pusat kota yang belum pasti benar-benar pusat.
            “sudah rapi saja, tuan!”
            “ah, janganlah saya dipanggil tuan. Kita ini sama-sama tinggal di gundukan sampah”
            “tapi kan tuan berjas”
            “ah, ini hanya formalitas”
            “jadi tuan masih hidup berdasarkan formalitas ya?”
            “kok jadi ngomong-ngomong gitu, kaya bapak tau saja maksud dari kata formalitas”
            “kalau begitu, kenapa tuan ngajak ngomong formalitas?
            “lah biar kamu tau saja. Cukup taulah.Tak perlu paham”
            “saya  paham tuan”
            “nah!”
Selepas bercakap sebentar, Manggasali menenteng tas berisi penuh berkas menelusuri jalanan beraspal menuju pusat kota yang mungkin di tepi. Berjalan kaki dengan napas yang susah payah diatur sebab umur sudah mulai udzur, melenggang dengan yakin – dengan latar belakang sampah yang menggunung menyerupai tumpahan benda asing dari langit untuk dititipkan selama-lamanya di bumi. Manggasali tak perlu menumpangi angkutan umum sebab kini kakinya tak lagi menjejal aspal, ia kini di atas awan, berarak pelan menuju lantai enam puluh Sembilan tanpa perlu lagi menelusuri lobi dan berdesak-desakan di dalam lift. Manggasali lenyap, hanya ada bayangannya di sana. Mungkin sebentar sore, setelah selesai rapat, ia akan kembali terlihat, tak lagi sebatas penampakan hitam di lantai marmer. Mungkin beberapa jam lagi.
Itulah yang sempat tertinggal diingatan saya. Entah Freud entah Jung. Yang melekat diingatan hanyalah Manggasali. Teman lama yang baru saya kenal tadi pagi di sebuah gedung, di lantai enam puluh delapan. Lantai teratas.
*Kutipan dari novel Lalita karya Ayu Utami, mengalami sedikit perubahan untuk kepentingan fiksi.
Makassar, 10 Desember 2014
Vy


Setelah Menyentuhnya, Kutahu Aku Akan Mati



Emmakmu tak pernah percaya tapi diam-diam ia meyakininya. Bapak pun tak mau percaya tapi keyakinan emmakmu membuat bapak menyesal tak menghilangkan tanda tula ini. Kau tahu anakku, bapakmu ini lelaki patula-tula.

Asing dan asin. Bagaimana mungkin semesta tak menerima simbol-simbol ketiadaan ini dengan baik? Katakanlah siang itu, setidaknya langit mendung atau sedikit berawan, perahu-perahu cadik menepih dengan tenang, dan angin laut bisa sedikit lebih anggun. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Terik dan awan seakan berlomba tak bersahabat, hasil-hasil laut berlimpah menyulut kesenangan, dan angin laut berdengung sejadi-jadinya melewati daun telinga. Sedang seorang lelaki muda terlihat menekuk lutut, menggigil dengan bayi merah yang sesekali menguap meminta susu sementara ibunya tak lagi bernyawa di sebelahnya.
Aku tak banyak tahu tentang emmak, dia meninggal di umurku yang baru dua hari. Dan bapak, ingatan masa kecilku selalu berkata, ia tak pernah menyukai pun membenciku. Seorang tetangga pernah berkata dengan iseng, “bapakmu itu sangat sayang padamu, ia tidak mau kau juga mati seperti emmakmu”.
Setiap orang hanya menjadikan alasan turut berduka cita untuk selanjutnya bergunjing sudah kuduga ini akan terjadi ketika menuruni anak tangga sambil menepi-nepiskan butiran pasir yang sudah mulai hangat, berserakan seperti bekerja sama, seperti menyisahkan waktu luang bagi mereka untuk berkomentar sementara kaki-kaki mereka berusaha mengenali alas kaki yang hampir menyatu seluruhnya dengan pasir kering. Untuk beberapa alasan, kau bahkan bisa menyamai Tuhan dalam hal garis penakdiran. Salah satunya dengan menjual mitos atau menjajahkan kepercayaan tetuamu.
Aku percaya, emmak mati karena waktunya memang telah habis. aku cukup dewasa untuk menyadari bahwa sikap dingin bapak tak pernah terlepas dari rasa cemburunya kepadaku, aku yang dengan hebatnya membunuh ibu dengan pembelaan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Dan aku hanya membutuhkan dua hari untuk mengubah keadaan ini tanpa celah. Bapak terlalu sibuk di dalam diamnya. Kepercayaan dirinya sungguh memadai untuk menciptakan satu alasan pembunuhan. Padahal ini tak pernah berhubungan dengannya. Akan kubuktikan bahwa ini adalah salahku meski jawabannya adalah kematian.
Sejak hari itu, lelaki muda itu menua dengan cepat. Merawat anak semata wayangnya tanpa gairah. Menyekolahkan dan memenuhi semua kebutuhannya tanpa kasih sayang. Ia tahu, akan ada waktu yang tepat untuknya bercerita tentang keengganannya, kekhawatiran, dan rasa bersalahnya. Kelak jika ia yakin bahwa anaknya sudah cukup dewasa.
Tidak pernah kutanyakan banyak hal kepada bapak, bagiku ia tak ada bedanya dengan orang asing. Usahaku untuk berbuat baik selalu sia-sia. Masakanku tak pernah disentuhnya, bahkan aku tak pernah tahu apa yang diminumnya. Kopi kah? Teh kah? Ia selalu berhasil menghapuskan jejak-jejak pengetahuanku tentangnya. Jika cuaca buruk dan ia tak melaut, disuruhnyaku untuk pergi meninggalkan rumah dan pulang saat ia sudah tidur. Bahkan aku tak pernah punya kesempatan cukup untuk menatap setiap lekukan di wajahnya. Apakah berlebihan jika kupanggil ia bapak?
Tak ada yang tahu pasti tentang kematian istrinya, ia tak pernah terlihat sakit. Bahkan diusia kandungannya yang sudah menginjak usia delapan bulan, Ia masih sempat massire, membuat pukat pesanan warga untuk penghasilan tambahan biaya lahirannya.  Sehari setelah melahirkan ia sudah bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya, menyiapkan air hangat untuk mandi anaknya, melipat pakaian, dan menyapu teras rumah. Di hari kematiannya pun tak ada yang tahu sebab pastinya, dukun pun dokter.
Sekali waktu kudapati bapak berdiri di depan cermin dengan posisi membelakang, ada benda berkilauan di tangannya, silet. Aku mendekat dan menyaksikan ia mengarahkan benda tajam itu ke tengkuknya. Spontan aku berteriak dengan suara yang entah bagaimana tak tertahan sedikit pun. Ia tersentak dan terlihat mengurungkan niat awalnya. Sebelum berlalu kudengar ia berbisik, “karena bapak ingin kau hidup jauh labih lama”. Di lain kesempatan, akan kuceritakan tentang cermin yang tidak dapat memantulkan bayangan jika kau tak memintanya.
Ketika semua orang terlihat bertanya-tanya perihal kematian istrinya, ia hanya diam seolah telah memahami tentang hakikat melepas. Di malam ke tujuh kepergian istrinya, tepat di bulan purnama penuh, bau asin menyeruak. Ia tahu arwah istrinya masih berada di bilik bambu dingin itu, mengajaknya bercengkrama dan membelai-belai kepala putri semata wayang mereka sambil berbisik, “hiduplah lebih lama anakku”. Tiba-tiba debur ombak terasa begitu dekat, ia yakin alam memberinya tanda bahwa sebenarnya kematian itu di luar dari takdir hidup yang sebenarnya.
Di tepian yang lepas, di sepanjang deretan bakau yang menyisahkan setumpuk tiram, dapat kaurasakan tentang basahnya butiran pasir yang mengendap sedemikian rupa. Deretan batang-batang kelor yang membentuk semak menutupi batu-batu nisan. Meski lautan menyambut kematiannya dengan kemeriahan yang berbeda tapi perlahan jilatan ombaklah yang menemani sunyinya liang lahat. Siapakah yang lebih memahami kematian dalam hidup ini selain Si mati itu sendiri? Masih dibutuhkankah pemahaman itu ketika kita sudah mati?
Ingatanku mengembara menyusuri langit-langit kamar yang masih berhiaskan kelambu dan bunga plastik. Baru saja kupejamkan mata ketika suamiku datang dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ia mengecup wajahku secara memburu, ke leher dan entah ke mana lagi. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berusaha meraba-raba dengan telapak tanganku. Selagi ia kembali melumat bibirku kusadari aku menyentuh sesuatu di tengkuknya. Akankah aku juga akan mati?
Sisi kiri ruangan, 29 Maret 2015
Vy

Tammate



Karena ia suka menunggu, maka dipesannya sebuah bangku kayu yang kokoh dengan empat kaki penyangga dari sebuah toko mebel di sebuah perempatan jalan dekat rumahnya, lengkap dengan sandaran yang dibuat nyaman agar tidur pun bisa pulas selagi waktu masih bersahabat.
***
Rahasia hidup dan rahasia mati adalah keniscayaan. Namun jika tiba-tiba seseorang datang menanyakan keniscayaan itu, berilah jawaban yang tak memancing pertanyaan lanjutan. Di sebuah pagi, “Tammate, merupakan gabungan dari kata tena yang berati tidak dan mate yang berarti mati dalam bahasa Makassar. Mengalami penghilangan dan pelesapan fonem yang kemudian diucapkan secara konvensional oleh orang-orang suku Makassar dan juga diikuti oleh masyarakat suku Bugis. Kata tammate mewakili tanda terhadap sebuah pohon berakar tunggang yang tumbuh abadi dengan sederhana. Tumbuh kokoh meski hanya ditancapkan secara serampangan. Tetap subur meski tanpa unsur-unsur hara yang memadai. Tak memiliki tanda-tanda kematian meski ia berasal dari ketiadaan. Sekalipun semua makhluk hidup akan mati, mungkin ia akan tetap hidup. Karena ia tammate”.
***
Usia pagi ini masih sangat muda, aku melintas dan menyaksikan sendiri perempuan tua dengan seduhan secangkir teh yang tak pernah tampak mengepul itu bersandar dengan kokoh namun kosong. Hampir setiap hari aku melintas di depan rumahnya yang masih berpagarkan bambu dan hampir setiap hari pula aku menyaksikan pemandangan yang sama. Rutinitas yang biasa namun begitu indah, momen yang tak pernah terlewatkan meski sesekali tak kusempatkan untuk menoleh.
***
Bumi beralih suhu dan ia kembali mematung, melipat waktu ke arahnya, mengolahnya menjadi kesempatan, tetap tabah dan terbiasa. “aku tak sedang menunggu, hanya tak ingin melewatkan sesuatu, kalian diam saja, atau kremasi saja tubuhku bersama bangku ini, jangan sungkan menungguku mati”. Bahkan bumi pun bergetar mendengar perkataannya. Ia memilih tua dan berharap mati di sana.
***
Ada yang ganjil di sana, siapa perempuan tua itu. Rumah itu selalu ramai tapi mengapa keberadaannya terlihat asing. Beberapa kali kudapati ia menggerutu sedemikian rupa, menolak keberadaan orang-orang di sekitarnya. Kemudian kutarik kesimpulan bahwa ia tak ingin diganggu. Penasaran, kusempatkan untuk melintas di tempat itu sampai dua kali sehari saat pergi dan pulang kerja dan pemandangan itu masih sama. Di waktu luang kuputuskan untuk mencari tahu secara diam-diam, kisah perempuan tua dengan secangkir teh yang tak pernah mengepul itu.
***
Bangku itu masih hidup. Kalau saja kita meletakkannya di tanah, tentu akarnya akan merambat. Bangku itu tak sebiasa yang kalian lihat. Ia berasal dari batang pohon kesepian yang merelakan dirinya untuk diserabut karena kekasihnya berhianat. Bersama perempuan tua itu ia kembali ingin hidup, meski jatuh cinta tak semenyenangkan yang kalian kira tapi darinya ia kembali menemukan cinta dengan tujuan hidup yang sama. Setia.
***
Kesempatan itu ada, sesaat setelah melintas, terdengar deretan-deretan batang bambu menyeret tanah. Seorang perempuan parubaya berjalan dengan tergesah-gesah dengan arah yang berlawanan denganku, kuputar arah dan kupercepat langkah. Spontanitas ini membuatku lupa dengan apapun di luar dari kesempatan mencari tahu tentang momen abadi yang selalu berhasil kunikmati. Entah karena apa.
***
Keindahan sejati hanya terjadi sekali seumur hidup, jika terjadi dua kali itu adalah keindahan lanjutan, jika terjadi tiga kali itu adalah bonus dari lanjutan, dan begitulah seterusnya. Karena itu, meski tak sejati, keindahan tetaplah selalu ada dan sudah seharusnya untuk selalu diberi kesempatan. Sudah malam, sudah saatnya istirahat. Memanfaatkan malam untuk kepentingan di siang hari adalah keegoisan yang mutlak.
***
Perempuan parubaya itu berjalan dengan sedikit terburu-buru. Mungkin ia sepakat bahwa waktu adalah uang. Sementara ia berjalan, aku mengikutinya dan secepat mungkin berada di sebelahnya. Karena aku juga sepakat bahwa waktu adalah uang maka kuselesaikan urusanku dengan cara cepat. Hari itu aku kembali dan melewati malam yang cukup panjang.
***
Angin pagi pernah menemui angin malam untuk bercerita tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkannya untuk sebuah keabadian. Kemudian angin malam menceritakan kisah tentang tammate.
***
Pagi-pagi sekali aku siap untuk berangkat bekerja dengan berbagai perkakas yang sesegera mungkin kumasukkan ke dalam tas kerja yang langsung kusampirkan di pundak. Hari ini kuputuskan untuk menemui perempuan tua itu. Dengan pengetahuan tentang tammate yang tak memadai. Tentang pengalaman-pengalaman memahat yang tak seberapa. Tentang status pekerjaan yang kumiliki, tentang rutinitas, kesempatan, dan pertautan waktu. Aku cukup tahu tentang bagaimana harus memulai percakapan itu. Bangku kayu dan kesetiaan. Akan kuceritakan tentang kisah tukang kayu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk membuat sendiri kursinya dengan nyaman agar kelak ia bisa mati sambil menghayati hidupnya di sana. Ini sedikit kupaksakan, manusia modern menamainya alternatif.
***
Bangku itu biasa saja. Bodoh sekali jika kalian percaya bahwa ia masih hidup. Tak ada yang istimewa. Di sebuah pagi yang membosankan, perempuan tua itu menemukan sebuah brosur dari perusahaan mebel yang belum cukup bernama. Untuk mengisi waktu luang, ia menekan angka di gagang telefon dan memesan barang secara sembarang, “bangku kayu yang nyaman, yang berasal dari batang pohon abadi”, tutupnya.
***
Mungkin aku dan perempuan tua itu pernah mengembara bersama dengan perwujudan jiwa sebelum terperangkap di tubuh masing-masing. Aku serasa pernah mengenalnya. Entah diamnya, secangkir teh yang tak pernah mengepul, pagar bambu, atau mungkin bangku kayunya. Sejauh aku menimbang, belum sempat aku menemukan pertautan itu. Kecuali cerita tentang tammate yang pernah diceritakan oleh salah seorang anaknya dengan terburu-buru. Benarkah ada yang seperti itu?
***
Angin malam membalik arah, mengejar angin subuh untuk menitipkan lanjutan ceritanya kepada angin pagi. “dulu, jauh sebelum rumah ini memiliki teras, sebelum aku memesan bangku kayu secara sembarangan, aku lebih senang mengurung diri di kamar. Menyeduh teh celup di suhu seratus derajat selsius dan baru menyeruputnya jika suhunya sempurna serupa dengan suhu kamar. Aku tak menyenangi panas yang amat, aku tak suka tantangan terlebih keterkejutan apalagi jika itu menyiksa. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan satu cara. Setia”. Beginilah kisah ini diawali.
Sudut ruangan 17 Maret 2015
Vy