Minggu, 05 April 2015

Namanya Manggasali



Ini aku ingin bercerita tentang mimpi. Ini tidaklah penting tapi mungkin bermanfaat walaupun hanya sekadar menambah perbendaharaan kata. Mimpi yang aneh, kupikir. Jika tidak begitu tidak akan kuceritakan. Bukankah sesuatu yang berulang berpotensi membuat manusia untuk berhenti hidup? Dalam artian hidup dengan menyenangkan, meski menyenangkan masih dapat dikategorikan relatif.
            Carl Gustav Jung, berasumsi tentang mimpi atau alam bawah sadar berkebalikan dengan apa yang diasumsikan Sang guru, Sigmund Freud, yang beranggapan bahwa “seseorang yang tidak berguna bagi psikoanalisa, dialah orang yang dianalisa oleh mimpinya dan bukan menganalisa mimpinya”. Tapi Jung bekeyakinan liar mengenai citra-citra dalam, penampakan yang muncul di mimpi tanpa didahului pengalaman*. Singkat cerita, Jung memilih untuk meninggalkan Sang guru atau mungkin diusir dengan sikap dingin dari lelehan antikritik. Bisa saja, saya meyakini salah satu atau bahkan keduanya. Tapi saat ini saya hanya ingin bercerita.
            Malam dingin masih melingkupi pusat kota, sisa dingin masih menggelayut di setiap jenjang kisah manusia biasa, sedang malaikat sibuk mengurusi urusan manusia. Katanya untuk membuat laporan kepada tuhan. Hmm mudah-mudahan tidak ada nepotisme di kehidupan selanjutnya. Manggasali adalah teman lama yang memilih tinggal di pinggiran kota, dekat pembuangan sampah umum yang jika hujan baunya bisa menembus lambung. Katanya ia ingin hidup menyatu dengan alam dengan memilih tempat yang strategis –surau dengan empat tiang, atap rumbia dengan sarang semut abadi, sepotong bambu penadah air hujan, serta satu pintu dan satu jendela di bagian depan dekat dipan bambu yang hanya muat untuk dua pantat- dekat dengan gundukan sampah organik, yang jika sempat ia buatkan lubang biopori dengan tujuan mengembangbiakkan cacing tanah, untuknya memancing mujair saat tak ada rapat paripurna di lantai enam puluh sembilan. Kalian cukup taulah ia sangat sibuk.
            Jelang tangah malam, penampakan gubuk Manggasali membuyarkan ingatan. Ada bias-bias serupa sefia dari celah-celah anyaman bambu, belum bisa dipastikan itu adalah pelita minyak tanah atau ia sudah mampu memanfaatkan lampu neon tenaga listrik. Cahaya itu seperti digerakkan angin. Benderang bila angin payah,  dan kadang redup jika angin berhembus ke delapan penjuru mata angin. Seakan-akan cahaya itu dipindahtempatkan ke dimensi lain yang hanya manusia tidak mampu menghayatinya, seperti mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang serba ketinggalan dan hanya memanfaatkan munafiknya untuk melenggang yakin. Sangat  yakin.
            Para kere bergunjing di sana setiap malam, setiap gubuk itu menjelma sefia.
            “warna itu memabukkan”, berkata salah satu dengan sedikit berbisik padahal tak bakal ada yang mendengarkan, apalagi Sang pemilik gubuk.
            “itu bukan warna. Itu bias”, tangkas yang satu dengan melirik sekali pada lawan bicaranya.
            “apa bedanya?”, suara itu sedikit meninggi.
            “oalah, jangan maksa biar saya jelaskan. Kita niat cuma pengen liat, bukan debat”, yang satu memilih untuk tak menjawab. Mungkin tak tahu jawabannya.
            “siapa yang kepengen debat? Ini kita cuma niat gunjing”, yang satunya lagi belum mau mengalah.
            “apa bedanya?”, mata itu mulai meletupkan cahaya dengan warna-warna ambigu.
            “nahloh. Cuma niat gunjing mas. Cuma gunjing”! percakapan itu terhenti sebab tak ada lagi jawaban ataupun pertanyaan lanjutan yang mampu menggairahkan lidah mereka berlama-lama di tempat itu.
Sering pula mereka hanya memandang kosong tak paham tentang ketakpahaman mereka. Mungkin menatap tanaman belukar berbunga indah yang jika siang berpenampakan tanaman hias tak betah tumbuh tapi tetap saja sangar membelit pagar bambu setinggi lutut bocah yang lebih mirip patok pembatas daripada pagar tanaman, dan kalau malam, terlebih sudah berlatar sefia, bunganya mengkilat bagai benda testil, bagai hamparan aspal basah dengan bias sorot kendaraan di malam hari, bagai laut tenang berbalut cahaya senja yang menyerah dengan tangguh. Sungguh mempesona. Sungguh ilusi yang sempurna. Siapa yang percaya kalau tanaman itu hanya makanan kambing, tempat ayam dan kucing singgah untuk membuang tai dan mengais-ngais di siang hari?
            Hampir subuh, terdengar bunyi jebyar-jebyur di balik dinding gubuk. Itu Manggasali sudah mandi dengan khidmat, siap menggelar sejadahnya, siap menengadahkan jiwa, bersyukur sejadi-jadinya sambil berdoa yang hanya bisa dipahami olehnya saja, beruntung tuhan maha mengetahui. Jika tidak, saya pun ragu tuhan akan mengangguk paham.
Di luar bau sampah masih menjejali atmosfer bumi, angin pagi menyerbu dari balik gunung-gunung sampah. Para kere sudah siap dengan karung di punggung serta tongkat pengais buatan tangan yang kadang tak sengaja mengait kaki sendiri. Mereka lalu lalang, datang dan pergi, bertahan dan tinggal sampai kelelahan dan rebah menyatu dengan sampah sampai petang. Dari kesemuanya, tak satu pun yang tak mengenal Manggasali, sebab untuk mencapai gundukan sampah, tak ayal mereka selalu bertemu dengan beliau. Sebab gubuknya adalah batas antara pusat dan tepi, ketaksadaran dan sadar, perasaan dan pikiran, tuhan dan hamba, sampah dan jalan alternatif menuju pusat kota yang belum pasti benar-benar pusat.
            “sudah rapi saja, tuan!”
            “ah, janganlah saya dipanggil tuan. Kita ini sama-sama tinggal di gundukan sampah”
            “tapi kan tuan berjas”
            “ah, ini hanya formalitas”
            “jadi tuan masih hidup berdasarkan formalitas ya?”
            “kok jadi ngomong-ngomong gitu, kaya bapak tau saja maksud dari kata formalitas”
            “kalau begitu, kenapa tuan ngajak ngomong formalitas?
            “lah biar kamu tau saja. Cukup taulah.Tak perlu paham”
            “saya  paham tuan”
            “nah!”
Selepas bercakap sebentar, Manggasali menenteng tas berisi penuh berkas menelusuri jalanan beraspal menuju pusat kota yang mungkin di tepi. Berjalan kaki dengan napas yang susah payah diatur sebab umur sudah mulai udzur, melenggang dengan yakin – dengan latar belakang sampah yang menggunung menyerupai tumpahan benda asing dari langit untuk dititipkan selama-lamanya di bumi. Manggasali tak perlu menumpangi angkutan umum sebab kini kakinya tak lagi menjejal aspal, ia kini di atas awan, berarak pelan menuju lantai enam puluh Sembilan tanpa perlu lagi menelusuri lobi dan berdesak-desakan di dalam lift. Manggasali lenyap, hanya ada bayangannya di sana. Mungkin sebentar sore, setelah selesai rapat, ia akan kembali terlihat, tak lagi sebatas penampakan hitam di lantai marmer. Mungkin beberapa jam lagi.
Itulah yang sempat tertinggal diingatan saya. Entah Freud entah Jung. Yang melekat diingatan hanyalah Manggasali. Teman lama yang baru saya kenal tadi pagi di sebuah gedung, di lantai enam puluh delapan. Lantai teratas.
*Kutipan dari novel Lalita karya Ayu Utami, mengalami sedikit perubahan untuk kepentingan fiksi.
Makassar, 10 Desember 2014
Vy


Setelah Menyentuhnya, Kutahu Aku Akan Mati



Emmakmu tak pernah percaya tapi diam-diam ia meyakininya. Bapak pun tak mau percaya tapi keyakinan emmakmu membuat bapak menyesal tak menghilangkan tanda tula ini. Kau tahu anakku, bapakmu ini lelaki patula-tula.

Asing dan asin. Bagaimana mungkin semesta tak menerima simbol-simbol ketiadaan ini dengan baik? Katakanlah siang itu, setidaknya langit mendung atau sedikit berawan, perahu-perahu cadik menepih dengan tenang, dan angin laut bisa sedikit lebih anggun. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Terik dan awan seakan berlomba tak bersahabat, hasil-hasil laut berlimpah menyulut kesenangan, dan angin laut berdengung sejadi-jadinya melewati daun telinga. Sedang seorang lelaki muda terlihat menekuk lutut, menggigil dengan bayi merah yang sesekali menguap meminta susu sementara ibunya tak lagi bernyawa di sebelahnya.
Aku tak banyak tahu tentang emmak, dia meninggal di umurku yang baru dua hari. Dan bapak, ingatan masa kecilku selalu berkata, ia tak pernah menyukai pun membenciku. Seorang tetangga pernah berkata dengan iseng, “bapakmu itu sangat sayang padamu, ia tidak mau kau juga mati seperti emmakmu”.
Setiap orang hanya menjadikan alasan turut berduka cita untuk selanjutnya bergunjing sudah kuduga ini akan terjadi ketika menuruni anak tangga sambil menepi-nepiskan butiran pasir yang sudah mulai hangat, berserakan seperti bekerja sama, seperti menyisahkan waktu luang bagi mereka untuk berkomentar sementara kaki-kaki mereka berusaha mengenali alas kaki yang hampir menyatu seluruhnya dengan pasir kering. Untuk beberapa alasan, kau bahkan bisa menyamai Tuhan dalam hal garis penakdiran. Salah satunya dengan menjual mitos atau menjajahkan kepercayaan tetuamu.
Aku percaya, emmak mati karena waktunya memang telah habis. aku cukup dewasa untuk menyadari bahwa sikap dingin bapak tak pernah terlepas dari rasa cemburunya kepadaku, aku yang dengan hebatnya membunuh ibu dengan pembelaan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Dan aku hanya membutuhkan dua hari untuk mengubah keadaan ini tanpa celah. Bapak terlalu sibuk di dalam diamnya. Kepercayaan dirinya sungguh memadai untuk menciptakan satu alasan pembunuhan. Padahal ini tak pernah berhubungan dengannya. Akan kubuktikan bahwa ini adalah salahku meski jawabannya adalah kematian.
Sejak hari itu, lelaki muda itu menua dengan cepat. Merawat anak semata wayangnya tanpa gairah. Menyekolahkan dan memenuhi semua kebutuhannya tanpa kasih sayang. Ia tahu, akan ada waktu yang tepat untuknya bercerita tentang keengganannya, kekhawatiran, dan rasa bersalahnya. Kelak jika ia yakin bahwa anaknya sudah cukup dewasa.
Tidak pernah kutanyakan banyak hal kepada bapak, bagiku ia tak ada bedanya dengan orang asing. Usahaku untuk berbuat baik selalu sia-sia. Masakanku tak pernah disentuhnya, bahkan aku tak pernah tahu apa yang diminumnya. Kopi kah? Teh kah? Ia selalu berhasil menghapuskan jejak-jejak pengetahuanku tentangnya. Jika cuaca buruk dan ia tak melaut, disuruhnyaku untuk pergi meninggalkan rumah dan pulang saat ia sudah tidur. Bahkan aku tak pernah punya kesempatan cukup untuk menatap setiap lekukan di wajahnya. Apakah berlebihan jika kupanggil ia bapak?
Tak ada yang tahu pasti tentang kematian istrinya, ia tak pernah terlihat sakit. Bahkan diusia kandungannya yang sudah menginjak usia delapan bulan, Ia masih sempat massire, membuat pukat pesanan warga untuk penghasilan tambahan biaya lahirannya.  Sehari setelah melahirkan ia sudah bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya, menyiapkan air hangat untuk mandi anaknya, melipat pakaian, dan menyapu teras rumah. Di hari kematiannya pun tak ada yang tahu sebab pastinya, dukun pun dokter.
Sekali waktu kudapati bapak berdiri di depan cermin dengan posisi membelakang, ada benda berkilauan di tangannya, silet. Aku mendekat dan menyaksikan ia mengarahkan benda tajam itu ke tengkuknya. Spontan aku berteriak dengan suara yang entah bagaimana tak tertahan sedikit pun. Ia tersentak dan terlihat mengurungkan niat awalnya. Sebelum berlalu kudengar ia berbisik, “karena bapak ingin kau hidup jauh labih lama”. Di lain kesempatan, akan kuceritakan tentang cermin yang tidak dapat memantulkan bayangan jika kau tak memintanya.
Ketika semua orang terlihat bertanya-tanya perihal kematian istrinya, ia hanya diam seolah telah memahami tentang hakikat melepas. Di malam ke tujuh kepergian istrinya, tepat di bulan purnama penuh, bau asin menyeruak. Ia tahu arwah istrinya masih berada di bilik bambu dingin itu, mengajaknya bercengkrama dan membelai-belai kepala putri semata wayang mereka sambil berbisik, “hiduplah lebih lama anakku”. Tiba-tiba debur ombak terasa begitu dekat, ia yakin alam memberinya tanda bahwa sebenarnya kematian itu di luar dari takdir hidup yang sebenarnya.
Di tepian yang lepas, di sepanjang deretan bakau yang menyisahkan setumpuk tiram, dapat kaurasakan tentang basahnya butiran pasir yang mengendap sedemikian rupa. Deretan batang-batang kelor yang membentuk semak menutupi batu-batu nisan. Meski lautan menyambut kematiannya dengan kemeriahan yang berbeda tapi perlahan jilatan ombaklah yang menemani sunyinya liang lahat. Siapakah yang lebih memahami kematian dalam hidup ini selain Si mati itu sendiri? Masih dibutuhkankah pemahaman itu ketika kita sudah mati?
Ingatanku mengembara menyusuri langit-langit kamar yang masih berhiaskan kelambu dan bunga plastik. Baru saja kupejamkan mata ketika suamiku datang dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ia mengecup wajahku secara memburu, ke leher dan entah ke mana lagi. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berusaha meraba-raba dengan telapak tanganku. Selagi ia kembali melumat bibirku kusadari aku menyentuh sesuatu di tengkuknya. Akankah aku juga akan mati?
Sisi kiri ruangan, 29 Maret 2015
Vy

Tammate



Karena ia suka menunggu, maka dipesannya sebuah bangku kayu yang kokoh dengan empat kaki penyangga dari sebuah toko mebel di sebuah perempatan jalan dekat rumahnya, lengkap dengan sandaran yang dibuat nyaman agar tidur pun bisa pulas selagi waktu masih bersahabat.
***
Rahasia hidup dan rahasia mati adalah keniscayaan. Namun jika tiba-tiba seseorang datang menanyakan keniscayaan itu, berilah jawaban yang tak memancing pertanyaan lanjutan. Di sebuah pagi, “Tammate, merupakan gabungan dari kata tena yang berati tidak dan mate yang berarti mati dalam bahasa Makassar. Mengalami penghilangan dan pelesapan fonem yang kemudian diucapkan secara konvensional oleh orang-orang suku Makassar dan juga diikuti oleh masyarakat suku Bugis. Kata tammate mewakili tanda terhadap sebuah pohon berakar tunggang yang tumbuh abadi dengan sederhana. Tumbuh kokoh meski hanya ditancapkan secara serampangan. Tetap subur meski tanpa unsur-unsur hara yang memadai. Tak memiliki tanda-tanda kematian meski ia berasal dari ketiadaan. Sekalipun semua makhluk hidup akan mati, mungkin ia akan tetap hidup. Karena ia tammate”.
***
Usia pagi ini masih sangat muda, aku melintas dan menyaksikan sendiri perempuan tua dengan seduhan secangkir teh yang tak pernah tampak mengepul itu bersandar dengan kokoh namun kosong. Hampir setiap hari aku melintas di depan rumahnya yang masih berpagarkan bambu dan hampir setiap hari pula aku menyaksikan pemandangan yang sama. Rutinitas yang biasa namun begitu indah, momen yang tak pernah terlewatkan meski sesekali tak kusempatkan untuk menoleh.
***
Bumi beralih suhu dan ia kembali mematung, melipat waktu ke arahnya, mengolahnya menjadi kesempatan, tetap tabah dan terbiasa. “aku tak sedang menunggu, hanya tak ingin melewatkan sesuatu, kalian diam saja, atau kremasi saja tubuhku bersama bangku ini, jangan sungkan menungguku mati”. Bahkan bumi pun bergetar mendengar perkataannya. Ia memilih tua dan berharap mati di sana.
***
Ada yang ganjil di sana, siapa perempuan tua itu. Rumah itu selalu ramai tapi mengapa keberadaannya terlihat asing. Beberapa kali kudapati ia menggerutu sedemikian rupa, menolak keberadaan orang-orang di sekitarnya. Kemudian kutarik kesimpulan bahwa ia tak ingin diganggu. Penasaran, kusempatkan untuk melintas di tempat itu sampai dua kali sehari saat pergi dan pulang kerja dan pemandangan itu masih sama. Di waktu luang kuputuskan untuk mencari tahu secara diam-diam, kisah perempuan tua dengan secangkir teh yang tak pernah mengepul itu.
***
Bangku itu masih hidup. Kalau saja kita meletakkannya di tanah, tentu akarnya akan merambat. Bangku itu tak sebiasa yang kalian lihat. Ia berasal dari batang pohon kesepian yang merelakan dirinya untuk diserabut karena kekasihnya berhianat. Bersama perempuan tua itu ia kembali ingin hidup, meski jatuh cinta tak semenyenangkan yang kalian kira tapi darinya ia kembali menemukan cinta dengan tujuan hidup yang sama. Setia.
***
Kesempatan itu ada, sesaat setelah melintas, terdengar deretan-deretan batang bambu menyeret tanah. Seorang perempuan parubaya berjalan dengan tergesah-gesah dengan arah yang berlawanan denganku, kuputar arah dan kupercepat langkah. Spontanitas ini membuatku lupa dengan apapun di luar dari kesempatan mencari tahu tentang momen abadi yang selalu berhasil kunikmati. Entah karena apa.
***
Keindahan sejati hanya terjadi sekali seumur hidup, jika terjadi dua kali itu adalah keindahan lanjutan, jika terjadi tiga kali itu adalah bonus dari lanjutan, dan begitulah seterusnya. Karena itu, meski tak sejati, keindahan tetaplah selalu ada dan sudah seharusnya untuk selalu diberi kesempatan. Sudah malam, sudah saatnya istirahat. Memanfaatkan malam untuk kepentingan di siang hari adalah keegoisan yang mutlak.
***
Perempuan parubaya itu berjalan dengan sedikit terburu-buru. Mungkin ia sepakat bahwa waktu adalah uang. Sementara ia berjalan, aku mengikutinya dan secepat mungkin berada di sebelahnya. Karena aku juga sepakat bahwa waktu adalah uang maka kuselesaikan urusanku dengan cara cepat. Hari itu aku kembali dan melewati malam yang cukup panjang.
***
Angin pagi pernah menemui angin malam untuk bercerita tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkannya untuk sebuah keabadian. Kemudian angin malam menceritakan kisah tentang tammate.
***
Pagi-pagi sekali aku siap untuk berangkat bekerja dengan berbagai perkakas yang sesegera mungkin kumasukkan ke dalam tas kerja yang langsung kusampirkan di pundak. Hari ini kuputuskan untuk menemui perempuan tua itu. Dengan pengetahuan tentang tammate yang tak memadai. Tentang pengalaman-pengalaman memahat yang tak seberapa. Tentang status pekerjaan yang kumiliki, tentang rutinitas, kesempatan, dan pertautan waktu. Aku cukup tahu tentang bagaimana harus memulai percakapan itu. Bangku kayu dan kesetiaan. Akan kuceritakan tentang kisah tukang kayu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk membuat sendiri kursinya dengan nyaman agar kelak ia bisa mati sambil menghayati hidupnya di sana. Ini sedikit kupaksakan, manusia modern menamainya alternatif.
***
Bangku itu biasa saja. Bodoh sekali jika kalian percaya bahwa ia masih hidup. Tak ada yang istimewa. Di sebuah pagi yang membosankan, perempuan tua itu menemukan sebuah brosur dari perusahaan mebel yang belum cukup bernama. Untuk mengisi waktu luang, ia menekan angka di gagang telefon dan memesan barang secara sembarang, “bangku kayu yang nyaman, yang berasal dari batang pohon abadi”, tutupnya.
***
Mungkin aku dan perempuan tua itu pernah mengembara bersama dengan perwujudan jiwa sebelum terperangkap di tubuh masing-masing. Aku serasa pernah mengenalnya. Entah diamnya, secangkir teh yang tak pernah mengepul, pagar bambu, atau mungkin bangku kayunya. Sejauh aku menimbang, belum sempat aku menemukan pertautan itu. Kecuali cerita tentang tammate yang pernah diceritakan oleh salah seorang anaknya dengan terburu-buru. Benarkah ada yang seperti itu?
***
Angin malam membalik arah, mengejar angin subuh untuk menitipkan lanjutan ceritanya kepada angin pagi. “dulu, jauh sebelum rumah ini memiliki teras, sebelum aku memesan bangku kayu secara sembarangan, aku lebih senang mengurung diri di kamar. Menyeduh teh celup di suhu seratus derajat selsius dan baru menyeruputnya jika suhunya sempurna serupa dengan suhu kamar. Aku tak menyenangi panas yang amat, aku tak suka tantangan terlebih keterkejutan apalagi jika itu menyiksa. Aku hanya ingin menikmati hidup dengan satu cara. Setia”. Beginilah kisah ini diawali.
Sudut ruangan 17 Maret 2015
Vy

Senja, Rengkuhan, dan Ciuman



“apakah kau tahu Plato dan teori keindahannya?”
“ya, jika kau mencintainya tentu ia akan terlihat indah”
“apakah aku indah?”
“aku tak suka ditanya”
“lantas?”
“cukuplah kau tetap di sampingku!”
***
Di sebuah masa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah percintaan manusia. Hiduplah sepasang kekasih yang ditandai dengan matinya kepercayaan manusia baru tentang kebencian. Tak jelas kapan dan mengapa, segalanya mengalir begitu saja, seperti air, seperti angin, seperti awan, seperti embun, seperti apapun yang mewakili waktu dalam ruangnya yang menjelma ada kemudian tiada.
Sepasang kekasih ini bernama Si bunga dan Si rumput. Bukan. Mereka bukan sejenis tumbuhan liar, mereka manusia biasa. Itu hanya sekadar julukan karena tidak ada yang tahu pasti siapa nama dan dari mana mereka berasal. Si perempuan bekerja sebagai pencari rumput dan Si lelaki kesehariannya mencari bunga di balik bukit, selanjutnya dijajahkan untuk keperluan mandi gadis-gadis desa. Di balik bukit itulah mereka sama-sama bekerja dan saling mengawasi satu sama lain. Saling mencuri pandang dan saling mencintai dengan cara yang begitu-begitu saja.
“kau mencintaiku?” Si rumput bertanya sambil menyeka keringat Si bunga, tatapannya mengalahkan sengatan matahari siang, sesekali angin mengibas, membuat mereka hanya memandang satu sama lain dengan mata terpicing. Entah matahari, entah angin.
“apakah itu pertanyaan?” Si bunga balas menyeka keringan Si rumput, rambut panjang Si rumput mempermainkan punggung jarinya. Matahari tetap membuat kulit pedih tapi kebekuan itu ada ketika Si bunga menyentuh bulir bening yang menitik begitu saja tanpa ia sadari.
“kau balik bertanya?” Si rumput menghentikan usapan, dan menghilangkan jarak di antara mereka.
“mengapa kau tak jawab saja?” tangan Si bunga jatuh dengan pasrah menyentuh bahu Si rumput.
“tapi aku yang lebih dulu bertanya” entah siapa yang memulai, mereka berciuman sampai matahari tenggelam seutuhnya. Mereka pulang tanpa kalimat perjanjian.
Begitulah cara cinta terjawab oleh mereka. Ada yang bertanya dan yang sedia untuk ditanyai. Pilih saja salah satunya karena keduanya baik. Posisinya saja yang lain. Kesempatan pun bisa jadi berbeda. Karena berdasarkan pengalaman banyak pecinta, bertanya berarti kuasa, sedang menjawab adalah pasrah. Maka berlangsunglah yang demikian setiap saat , mungkin sampai mereka belajar mengenal kebencian.
“mungkinkah kau sudah tidak mencintaiku lagi?” terka Si rumput dengan tatapan mengancam setelah selesai mengumpulkan rumput, menyatukannya ke dalam satu ikatan kulit kayu, dengan telapak tangan yang dikebaskan satu sama lain sambil menunggu jawaban Sang kekasih.
“maksudnya?” Si bunga sedikit terganggu dengan pertanyaan yang terdengar menuduh. Dikumpulkannya bunga berbagai warna yang masih lengkap dengan batang dan daunnya itu ke dalam buntalan kain, mengikatkatkan keempat ujungnya kemudian berdiri, menangkap tatapan menantang Si rumput.
“belajarlah untuk lebih tanggap” cahaya mata Si rumput mulai redup, dia terlihat memberikan sentuhan akhir pada ikatan rumput sebelum diangkatnya ke atas kepala untuk dibawa menuruni bukit.
“setelah kau sudah cukup peka” Si bunga pun terdengar sedikit berbisik, mengemas segalanya dan menuruni bukit dengan arah yang berlawanan di mana Si rumput menghilang ditelan keremangan senja. Tentu dengan buntalan kain di pundaknya.
Dan begitu pulalah mereka mempelajari cinta. Jawaban tidak pernah cukup, belum tentu dapat mewakili setiap tanda tanya. Sampai akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan. Jangan pernah mencari jawaban dalam hal cinta. Karena jawaban belum tentu mewakili jawab.
“aku mencintaimu” teriak Si rumput di lain kesempatan dari kejauhan.
“aku juga mencintaimu” balasan dari Si bunga datang secepat rambat udara membelah kabut.
“aku sangat mencintaimu” Si rumput kembali berteriak, lebih keras, seolah ingin menunjukkan bahwa cintanya jauh lebih besar dibanding Sang kekasih.
“tak ada kata yang mampu mewakili rasa cintaku padamu” teriakan Si bunga menyisahkan gema yang panjang sampai ke kaki bukit. Membuat segala aktivitas warga terhenti sejenak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba waktu pun ikut terhenti. Tapi tidak dengan mereka yang terus berlari sambil menghampiri satu sama lain, saling menatap namun tak tahu harus berkata apa. Dan begitulah seterusnya sampai waktu kembali berjalan normal.
Hari-hari berlalu tanpa satupun kalimat tanya dalam percakapan mereka. Percuma, takkan ada yang mau menjawab.
Sementara waktu menjadi jauh, sepasang kekasih yang saling mencintai itu semakin jarang terlihat bersama. Si bunga semakin jarang untuk naik ke bukit karena permintaan bebungaan sudah mulai berkurang tergantikan oleh posisi bahan sulfur, begitupun dengan Si rumput, musim semi telah berlalu, rumput kering tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak, memaksanya untuk mempelajari bukit-bukit lain yang mungkin ada. Orang-orang mulai bergunjing tentang sepasang kekasih yang mungkin telah berpisah itu. Sungguh disayangkan jika mereka benar berpisah padahal hubungan keduanya terlihat baik-baik saja, tak pernah terlihat pertengkaran pun perselisihan. Orang-orang meyakini bahwa mereka adalah sepasang kekasih dengan hati yang tak pernah dititipkan hal lain kecuali cinta di hati masing-masing.
***
Sementara orang terus mengenang mereka. Si bunga dengan persedian kelopak yang tak seberapa tetap terlihat di pinggiran sungai menunggu gadis-gadis datang untuk mandi. Betah betul ia berlama-lama di sana meski sadar bahwa usahanya sia-sia belaka. Belakangan ia mengagumi seorang gadis cantik bertubuh sintal dengan betis berwarna lobak. Orang-orang menamainya Si batu kali karena kebiasaannya yang selalu berlama-lama di dalam air, merendam badan dengan lilitan batik cokelat, persis gundukan batu. Dengan hanya kepala yang terlihat di permukaan, cukup mudah orang-orang membedakannya dengan batu kali.
            Si batu kali, katanya ia tak pernah menyukai nama pemberian orang tuanya maka diputuskannya untuk meninggalkan jejak pemberian itu. Ia meyakini bahwa air adalah sebuah asal maka diputuskannya untuk lahir kembali dengan memahami aliran air dan darahnya secara bersamaan. Kemudian ia meyakini bahwa keyakinan akan sesuatu tidaklah pernah memadai untuk memahami. Ia selalu ragu perihat tempat untuk pulang. Kecuali sungai itu, meski ia tak menyebutnya pulang. Tapi kembali.
Sunyi malam pelan menuntun riak air untuk lebih riuh lagi, yang ditunggu akhirnya terjadi juga. Si batu kali berdiri lalu berjalan ke tepi. Warna kulit lobaknya seakan-akan adalah satu-satunya pencahayaan di tempat itu. Si lelaki menghampirinya dengan takjub. Selagi Si batu kali hendak berganti kain, ia datang memperkenalkan diri, “panggil aku dengan apapun yang kau inginkan”. Si batu kali terlihat santai, terlihat tak perlu menjawab pertanyaan itu.
“apakah kau mencintaiku?”
“iya, aku mencintaimu”, Si lelaki menjawab dengan kata yang memburu, terdengar seperti jawaban yang sudah sejak lama ia tahan di tenggorokan, hanya menunggu persetujuan dari perintah otak kiri saja untuk diteruskan.
“kalau begitu lakukanlah apa yang ingin kau lakukan”. Dengan tangan gemetar Si lelaki menyentuh pipi Si gadis sebagai penegasan bahwa yang ada di hadapannya bukanlah hayalan. Sementara Si gadis hanya terdiam dengan sikap dingin.
“kau yakin hanya ingin menyentuh pipiku?” Tanya Si gadis masih dengan sikap yang dingin.
“sejujurnya aku sudah menikmati tubuhmu jauh sebelum aku menyentuhmu, aku mencintaimu, kau sungguh indah, benar-benar indah”, tegasnya gugup.
Tiba-tiba Si batu kali menepis dengan lembut telapak tangan Si lelaki, melonggarkan kainnya dan membiarkan kain itu jatuh tanpa perlawanan. Tiba-tiba malam begitu dingin, lebih dingin dari biasanya.
***
Bukit mana lagi yang belum pernah didatanginya, mencari rumput tanpa pertanyaan cinta adalah kondisi yang tak pernah mendapat toleransi. Perlahan ia merindukan senja, rengkuhan, dan ciuman dari Sang kekasih. Si rumput merindukan Si bunga. Demi itu ia kembali ke sebuah bukit yang selalu mempertemukan mereka. Mencabuti rumput hanya demi menebus rindu. Suatu ketika ia terus mencabuti rumput sampai benar-benar kelelahan dan tak punya tenaga untuk menuruni bukit. Jadilah ia pasrah diserbu angin malam, rebah di bawah rembulan untuk menunggu tenaganya kembali terkumpul. Besoknya ia benar-benar menyaksikan langit telah berlatar cahaya kekuningan, ia bangun terlalu siang. Di perjalanan ia bertemu dengan seorang pengembala parubaya yang duduk termenung di bawah rindang pohon menunggui kambing-kambingnya untuk berjemur.
“boleh saya duduk di sini tuan?”
“tentu”, katanya ramah sambil menggeser duduknya, “apa yang kau bawa itu?”, katanya melanjutkan.
“ini rumput dari bukit yang di sana”, berkata ia sambil mengarahkan telunjuk ke sebuah bukit. “tadinya ingin kubuang saja karena terlalu lelah untuk membawanya”, tukasnya sambil bersandar ke batang pohon.
“tinggallah lebih lama di sini, makan sianglah bersamaku, daripada kaubuang rumput itu lebih baik untuk kambing-kambingku saja. Rumahku tak jauh dari sini. Menikahlah denganku dan berhentilah untuk mencari rumput”.
“tapi aku tidak mencintaimu”
“aku tidak menanyakan itu”
***
Akhirnya ia kembali mencari bunga. Meski sulfur menggantikan wewangian bunga tapi gundukan tanah pemakaman baru membutuhkannya lebih dari yang kalian tahu. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, sesuatu yang hangat dan membuatnya rindu. Senja, rengkuhan, dan ciuman. Si bunga merindukan rumput. Di bukit yang bersejarah itu ia merasakan rasa yang luar biasa untuk cinta yang menurutnya biasa-biasa saja. Dipilihnya satu bunga terbaik untuk diserahkannya kepada Si rumput kalau saja waktu kembali mempertemukan mereka. Di luar dari segalanya bunga tetaplah lambang cinta secara konvensional. Si bunga terus mencari dan mencari ke seluruh bukit yang bisa ditemukannya dengan bunga di tangan yang hampir layu sampai ke batang-batangnya. Jadilah sebuah pemandangan aneh, seorang lelaki yang naik turun bukit dengan setangkai bunga kering di tangannya.
***
ia benar-benar berhenti merumput dan menghabiskan waktunya di bawah pohon bersama kambing-kambingnya. Sementara ia diam, ingatannya tetap berbicara. Memaksanya untuk berbuat sesuatu sedang ia tetap saja pasrah. Terlihatlah kemudian pemandangan yang aneh. Perempuan sendu yang menghabiskan sisa hidupnya untuk mengembala tanpa sekalipun memberi makan ternak-ternaknya dengan rumput. Jadilah kambing- kambing dan keturunannya itu memakan daun kering dan ranting pohon. Tak ada yang tahu pasti tentang kisah cinta mereka. Ada yang mengatakan bahwa sampai mati mereka tak pernah bertemu lagi, ada yang mempercayai bahwa pada akhirnya Si bunga hanya berhasil meletakkan setangkai kembangnya di atas gundukan tanah kering. Namun ada pula yang menegaskan bahwa Sang rumput yang telah menjanda menolak Si bunga karena kambing tak suka makan batang bunga kering.
Kosan, 28 Februari 2015
Vy