Rabu, 05 Maret 2014

Matiku pada Keabadianmu



­
kita saling mencintai, sama berharap tentang sebuah pencapaian. Berharap berjodoh dan hidup bahagia selamanya. Sederhana. Sulit.
Tentang semua yang pernah kita lalui, tidak pernah cukup kuceritakan dengan keberanian, dengan kebahagian. Tapi ini tentang kebenaran. Kenyataan.
Dengan sisa ingatan aku berjalan di antara kisah orang lain, menelusup di sela hidup mereka sedang aku belum menemukan apa yang aku cari. Dan tidak pernah tahu apa yang aku butuhkan. Aku mengembara terlalu jauh dan tidak menemukan jalan pulang, aku tersesat dan menikmatinya dalam lelap, dengan semua apa yang kurasakan, kuterjemahkan di setiap mimpi. Mimpiku sederhana, berharap kau menjadi tempatku pulang karena mustahil jika aku yang harus menjadi tempatmu pulang.
Tahu apa kau tentang hidupku jika hanya dalam mimpi kau menyertaiku, datang ketika kau terlupakan dan menghilang ketika rindu itu menjadi candu. Entah apa yang terjadi padamu sekarang! Apa kau ingin tahu apa yang terjadi padaku sekarang? Aku telah tiada. Tengah malam tadi aku menyayat nadi di pergelangan tanganku dengan pecahan bingkai foto pernikahan kita, sebelum aku menutup mata, samar-samar kupandangi dan kuperhatikan bahwa di bingkai itu hanya ada gambarmu, sedang gambarku hilang entah ke mana. Sekali lagi aku menengok gambar itu dan anehnya di bingkai yang sudah bersimbah darah itu hanya bersisa kertas foto ukuran dompet. Pergi ke mana pula dirimu?
Tubuhku terasa hangat kemudian dingin, kali ini ketiadaanku berlangsung damai. Mati bukanlah hal baru bagiku. Sebab, kalau dihitung-hitung aku sudah mati tiga sampai empat kali.
Dini hari, di sepertiga malam aku terbangun. Aku tersenyum geli karena untuk ke sekian kalinya tuhan menghidupkanku kembali. Setengah sadar, kutahu kau berbaring di sebelahku, berbagi bantal denganku. Bukan mengada-ada tapi aku hafal betul bau keringatmu. Kau mencium keningku dan menyuruhku bangun untuk sembahyang, selang beberapa menit doaku telah kukirim dan kembali aku akan rebah di sampingmu tapi kau sudah tidak ada,. Aku tersenyum kecut, untuk kesekian kalinya dia meninggalkanku.
Tuhan benar-benar mempermainkanku dengan apa yang disebut kematian dan ketiadaan. Mungkin kau tersenyum bahagia karena merasa telah mengerjaiku tapi kenyataannya aku menderita dan mati sampai beratus-ratus kali setelah kau pergi dan betah di tempat barumu. Aku sakit dan tak pernah lagi mati dengan damai setelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar