Senin, 17 Februari 2014

Pesan untuk Harum Surgaku



Kata siapa saya tidak tau apa itu sakit, bagaimana penderitaan menjadi bagian dari kehidupan, dan apa yang terjadi ketika oksigen pun enggan menggandeng dan memberikan tuntunan hidup yang lebih indah. Sejak kecil saya sudah belajar memahami dan menerima kenyataan, menerima sakit dan menyimpannya sendiri, memeluk harapan yang pada akhirnya mengering dan berakhir di tungku perapian layaknya abu.
Lahir dari keluarga sederhana dan bahagia adalah surga dunia pertama yang kukenali. Ayahku adalah seorang petani dan penggarap empang milik orang lain dan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Dari tangan-tangan kasar mereka saya belajar memberi dan menerima. Ayahku hanyalah lelaki paruh baya yang menamatkan pendidikan terakhirnya di Sekolah Menengah Atas. Meski begitu, keputusan-keputusan yang ia ambil jauh lebih bijaksana daripada para petinggi negara. Jika seseorang bertanya darimana saya belajar menerima, maka jawabannya adalah ayah. Diamnya adalah suara kalbu yang mampu menelusup jauh ke dalam nalar.
Suatu hari, ayah mendapat tawaran untuk menjadi staf kepala desa. Kulihat senyum bahagianya yang sangat renyah, sangat jarang aku melihat senyum khasnya itu. Kepada ibu dia bercerita kalau pekerjaan itu benar-benar sudah menjadi rezeki maka kebutuhan akan lebih mudah terpenuhi, biaya sekolah anak-anak bisa terjamin, bahkan sisanya bisa ditabung untuk kebutuhan sekunder. Senyum itu menular sangat cepat dan kami sekeluarga selalu berdoa untuk semua yang terbaik. Tapi, tak ada jalan yang mudah untuk semua kebaikan. Seseorang gila jabatan dan haus akan tahta mendatangi ayah dan mengatakan bahwa seorang seperti ayah tidak pantas untuk jabatan itu, bahkan SK yang sudah di tangan direbutnya dengan sikap kasar. Kubayagkan air muka yang lelah akan urusan dunia itu menunduk kecewa. Bukan karena gila jabatan atau pun haus tahta, melainkan pendapatan tetap yang sudah iya bayangkan secepatnya memudar dari semua perencanaannya.
Tak banyak kata yang iya keluarkan, katanya belum rezeki. Lain ayah lain ibu, ia menceritakan kembali kejadian yang kemudian lebih banyak membuat ayah bertawakkal dalam diamnya. Air mata menyelingi tutur katanya, isakan pedih tak dapat disembunyikan lagi. Ya Tuhan, hapuslah air mata beliau dengan tangan-tangan kekuasaanmu, kuatkan perempuan yang kusayangi ini karena sampai hari ini aku belum bisa membahagiakannya. Kurasakan mataku mulai hangat, aku pamit ke dapur untuk mencuci piring-piring kotor dan menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak akan kubiarkan diriku terlihat lemah di depan kedua orang tuaku terutama ibu.
Kejadian itu bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Jauh hari sebelumnya, ayah pernah mendapat kepercayaan untuk menjadi ketua TPS di desa kami. Sekali lagi, bukan karena gila tahta atau pun haus jabatan, melainkan karena dia tidak dapat menolak. Dijalankannya semua amanah itu dengan sungguh-sungguh, pekerjaannya selalu selesai tepat waktu dengan imbalan lelah karena tanggung jawabnya di tambak tak pernah ia tinggalkan.
Memang pada dasarnya setiap keberhasilan selalu diselingi oleh sikap iri dari berbagai pihak. Hanya karena konsumsi yang terhitung cukup ― biasanya berlebih ― orang-orang malah memfitnah ayah menggelapkan dana dan katanya “ jelas saja konsumsinya tidak cukup, paling ditaruh sebagian di rumah buat dimakan sama anak-anaknya”. Ini bukan karangan karena mereka bergunjing di depan mataku. Maafkan aku ibu, air mata ini di luar kuasaku.
Atas dasar apa mereka berkata seperti itu. Memang kami orang tak berpunya, tapi kami bukan pencuri, setiap hari makanan yang disuguhkan ibu sangat jauh dari kata mewah tapi kami selalu mensyukurinya. Ketika anak-anak yang lain bermain sepeda, adik-adikku hanya bisa berjongkok di tepi lorong, menunggu teman yang kelelahan untuk kemudian dimintaki untuk meminjamkannya sepeda. Jika tidak dipinjamkan mereka tidak pernah memaksa apalagi menjahati mereka, kedua adikku hanya pulang ke rumah dan merengek agar mereka juga dibelikan sepeda. Sabar ya adik-adikku sayang, suatu hari nanti kalian juga akan mengendarai sepeda seperti yang dimiliki oleh teman-teman kalian. Dan ayah, jangan masukkan ke hati hujatan orang-orang tak bermoral itu, suatu hari nanti mereka akan mendapatkan balasannya. Tangan tuhan jauh lebih kuasa daripada umpatan setan.
Ayahku, lelaki terbaik yang pernah kukenal. Kelak laki-laki sepertinyalah yang akan kujadikan panutan dalam pencarian imamku. Terkadang kulit gelapnya luka dan mengering sendiri tanpa pernah diobati, dengan kuku kaki dan tangan yang masih berlumpur beliau memasukkan air ke dalam cerek, membasuh wajahnya dengan khidmat dan menggelar sejadah dengan ikhlas. Ketika istrinya tertidur pulas dan anak-anak gadisnya terlihat sibuk meski dengan sesuatu yang tidak penting, beliau menakar gula dan kopi, memanaskan air, dan menuangkannya ke cangkir dengan mata sayup dan merah karena seharian diterpa terik pagi sampai sore. Dengan nafas yang tidak teratur lagi, selepas isya beliau duduk di kursi tua sembari berzikir dan menghembuskan asap kretek dengan harga termurah di warung manapun. Dia yang selalu mengaku punya uang ketika anak-anaknya ingin membayar dan membeli kebutuhan sekolah, padahal entah di mana lagi dia berhutang. Baginya, pendidikan anak-anaknya adalah harga mati.
Ayah, mengawali harinya dengan selalu berucap bismillah, mengayuh sepedanya dengan tekun meski kendaraan orang-orang sudah bermotor. Setiap hari menyentuh lumpur yang jauh lebih suci daripada Buddha, mengeringkan gabah dengan peluh yang tak terhitung, menimba air di sumur kering untuk mandi anak-anaknya ke sekolah dan untuk istrinya mencuci piring dan pakaian, memasang pukat di malam hari dengan taruhan kantuk dan tubuh menggigil, melupakan hak atas apa yang disebut kewajiban. Tubuh rentah itu hanya tersisa jiwa seorang patriot, raganya sudah habis dia bagi-bagikan untuk keempat anaknya. Dan anakmu yang paling banyak menggerogoti ragamu ini, akan berjuang atas apa yang kau sebut kewajiban. Kelak adik-adikku akan menjadi tanggunganku dan kau ayah, juga ibu. Abdiku sepenuhnya untuk kalian.

Makassar, 18 Februari 2014
Anakmu ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar