Akar
Sehelai jatuh melewati kehijauan
Sehelai jatuh melewati kehijauan
di
ambang pertemanan
Keutuhannya
berserak menguap
dikabarkan
angin
Belum
sempat kupetik harum bungan rindumu
Sehelai
jatuh pertanda tak utuh lagi
Dipungut,
diterbangkan kecewa
Dipandang
tak menyenangkan
Dibuang
sudah terbuang
Di
hari terakhir sebelum kami berpisah aku masih duduk berdampingan dengannya, dia
duduk persis di sebelah kananku, yang membatasi hanyalah rasa canggung atas
sebuah awal perkenalan. Di hari terakhir sebelum kami berpisah di sebuah
pertemuan setelah beberapa waktu perpisahan, dia kembali duduk di sebelahku,
persis di sebelah kiriku, yang membatasi hanyalah rasa benci akan sebuah wujud
kekecewaan atas pembodohan selama aku menjalin pertemanan dengannya.
Di
akhir pertemuan setelah menjalin pertemanan, kami berpisah di sebuah
persimpangan. Dia pamit dan berbalik. Hanya banyangan punggungnyalah yang bisa
kukenang sampai kami akhirnya bertemu kembali. Di awal pertemuan setelah kami
berpisah aku kalang kabut menghadapi tatapan tegas matanya, aku canggung, tak
tahu memulai dari mana untuk menciptakan percakapan yang hangat. Sebisa mungkin
aku menanyakan hal-hal sederhana dan dia menjawabnya jauh lebih sederhana. Aku
terlalu takut untuk mengartikan semua resahku, semua. Aku rindu ketika kami tak
bertemu, aku bahagia ketika kesempatan berbincang itu ada, aku susah tidur
ketika dia memperlkukanku layaknya wanitanya, dan aku cemburu melihat
perlakuaannya sama saja ke wanita lain.
Masalah
itu akhirnya datang juga, aku bahagia dan itu semu. Semua hal ketika itu
menyangkut kepentingannya atas diriku, semaksimal mungkin kuusahakan,
kumanipulasi sebaik mungkin agar aku terlihat tidak keberatan. Semua
konsekuensi seakan kuhapuskan secara sepihak, demi dia dan tidak untuku. Tapi
tak apalah, selama semuanya masih berjalan normal, kenapa tidak?
Saat
itu belum kurasakan kejanggalan dalam hubungan pertemanan kami yang kupikir
akan berakhir pada sebuah persahabatan, dia memberi jarak yang tidak terlalu
jauh tapi jelas kurasakan, aku mengabaikannya. Sampai pada akhirnya aku tahu
bahwa dia bukanlah seorang teman dan tidak pantas dijadikan seorang sahabat.
Dengan retorika yang manis, dia terang-terangan memfitnahku dan di tengah
keberhasilanku akan sesuatu dia dengan sigap berdiri di belakangku dan
menghujatku dengan sikap iri, sungguh itu tidak pantas. Aku marah karena
sikapnya itu adalah sampah yang menghalangi aliran hangat di hatiku. Tidak
bisakah dia bicara langsung di depanku, dan bukan di belakangku?
Setelah
sikapnya yang keterlaluan itu, tak sedikit pun dia menunjukkan sikap bersalah
dan usaha untuk meminta maaf. Baiklah, kalau itu yang kamu harapkan. Barulah
setelah itu aku tahu kalau selama ini dia hanya memanfaatkanku atas
kepentingannya yang tak pernah dia pandang sebagai bantuan seorang teman,
melainkan sebagai abdi seorang budak.
Di
hari, di mana kami kembali duduk berdampingan― dia di sebelah kiriku― dia
hanyalah orang lain di mataku, tidak kurang tidak lebih. Jangankan untuk
menoleh melihatnya, mengingatnya sebagai seseorang yang berada di sampingku pun
aku sudah tidak mau. Sekali lagi, keberadaannya di depan mataku layaknya sampah
yang mengganggu pandangan. Dibakar mengakibatkan polusi, dikubur tidak dapat
diurai, dibuang ke sungai akan berakibat bencana, dan didaur ulang sudah “nggak
guna”, nasi sudah jadi bubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar