Selasa, 04 Februari 2014

Tandus

Akar
 
Sehelai jatuh melewati kehijauan
di ambang pertemanan
Keutuhannya berserak menguap
dikabarkan angin

Belum sempat kupetik harum bungan rindumu
Sehelai jatuh pertanda tak utuh lagi

Dipungut, diterbangkan kecewa
Dipandang tak menyenangkan
Dibuang sudah terbuang

Di hari terakhir sebelum kami berpisah aku masih duduk berdampingan dengannya, dia duduk persis di sebelah kananku, yang membatasi hanyalah rasa canggung atas sebuah awal perkenalan. Di hari terakhir sebelum kami berpisah di sebuah pertemuan setelah beberapa waktu perpisahan, dia kembali duduk di sebelahku, persis di sebelah kiriku, yang membatasi hanyalah rasa benci akan sebuah wujud kekecewaan atas pembodohan selama aku menjalin pertemanan dengannya.
Di akhir pertemuan setelah menjalin pertemanan, kami berpisah di sebuah persimpangan. Dia pamit dan berbalik. Hanya banyangan punggungnyalah yang bisa kukenang sampai kami akhirnya bertemu kembali. Di awal pertemuan setelah kami berpisah aku kalang kabut menghadapi tatapan tegas matanya, aku canggung, tak tahu memulai dari mana untuk menciptakan percakapan yang hangat. Sebisa mungkin aku menanyakan hal-hal sederhana dan dia menjawabnya jauh lebih sederhana. Aku terlalu takut untuk mengartikan semua resahku, semua. Aku rindu ketika kami tak bertemu, aku bahagia ketika kesempatan berbincang itu ada, aku susah tidur ketika dia memperlkukanku layaknya wanitanya, dan aku cemburu melihat perlakuaannya sama saja ke wanita lain.
Masalah itu akhirnya datang juga, aku bahagia dan itu semu. Semua hal ketika itu menyangkut kepentingannya atas diriku, semaksimal mungkin kuusahakan, kumanipulasi sebaik mungkin agar aku terlihat tidak keberatan. Semua konsekuensi seakan kuhapuskan secara sepihak, demi dia dan tidak untuku. Tapi tak apalah, selama semuanya masih berjalan normal, kenapa tidak?
Saat itu belum kurasakan kejanggalan dalam hubungan pertemanan kami yang kupikir akan berakhir pada sebuah persahabatan, dia memberi jarak yang tidak terlalu jauh tapi jelas kurasakan, aku mengabaikannya. Sampai pada akhirnya aku tahu bahwa dia bukanlah seorang teman dan tidak pantas dijadikan seorang sahabat. Dengan retorika yang manis, dia terang-terangan memfitnahku dan di tengah keberhasilanku akan sesuatu dia dengan sigap berdiri di belakangku dan menghujatku dengan sikap iri, sungguh itu tidak pantas. Aku marah karena sikapnya itu adalah sampah yang menghalangi aliran hangat di hatiku. Tidak bisakah dia bicara langsung di depanku, dan bukan di belakangku?
Setelah sikapnya yang keterlaluan itu, tak sedikit pun dia menunjukkan sikap bersalah dan usaha untuk meminta maaf. Baiklah, kalau itu yang kamu harapkan. Barulah setelah itu aku tahu kalau selama ini dia hanya memanfaatkanku atas kepentingannya yang tak pernah dia pandang sebagai bantuan seorang teman, melainkan sebagai abdi seorang budak.
Di hari, di mana kami kembali duduk berdampingan― dia di sebelah kiriku― dia hanyalah orang lain di mataku, tidak kurang tidak lebih. Jangankan untuk menoleh melihatnya, mengingatnya sebagai seseorang yang berada di sampingku pun aku sudah tidak mau. Sekali lagi, keberadaannya di depan mataku layaknya sampah yang mengganggu pandangan. Dibakar mengakibatkan polusi, dikubur tidak dapat diurai, dibuang ke sungai akan berakibat bencana, dan didaur ulang sudah “nggak guna”, nasi sudah jadi bubur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar