Kulihat
telapak tanganku mulai pucat oleh dinginnya hujan di akhir musim penghujan ini.
Tampaknya langit begitu puas melihat aktivitas seluruh makhluk bumi terhambat
karenanya. Sejak pagi tadi air sudah menggenangi jalanan beraspal di seluruh
sudut kota, atap seng perumahan gang sempit tempatku bermukim pun seakan
kelelahan dan merindukan cahaya matahari pagi yang sudah seminggu tak nampak,
sekali pun hanya untuk mengeringkan jemuran yang berhari-hari lembab dan kering
hanya dengan bantuan kipas angin.
Kurapatkan
jaketku untuk kembali menerobos derasnya guyuran hujan. Sesekali pula aku
melompat untuk menghindari genangan, yang kutakutkan jika kuinjak akan
terciprat dan membasahi buku yang baru saja kubeli. Kumantapkan langkahku,
menuju ke sebuah halte terdekat di tengah kota. Dan selanjutnya akan berhenti
di perhentian terakhir untuk mengerjakan sesuatu yang seharusnya sudah sejak
dulu kuselesaikan.
Kembali
kulihat telapak tanganku, semakin pucat dan gemetar karena dinginnya. Seberapa
seringnya pun kurapatkan jaket, tetap saja tidak akan menyelamatkan tubuhku
dari dinginnya atmosfer yang mengepung. Buku yang kubeli masih kukepit dengan
lenganku, berharap tidak tersentuh air hujan setetes pun, meski yang
menghalanginya hanyalah sebuah kantong kresek putih yang kudapatkan dari sebuah
tokoh buku ternama di kota tempatku membeli buku tersebut. Aku tidak tahu buku
jenis apa yang dia sukai. Kali ini kupilih sebuah buku yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga, jangan tanya
kenapa, karena bagiku judul dari buku itu mewakili kepribadian seseorang yang
sebentar lagi, padanya akan kuucapkan selamat hari jadi yang ke sembilan belas.
Akhirnya
bus yang kutunggu datang juga. Walaupun tak terhitung lamanya aku menunggu di
sebuah halte dengan atap yang sedikit bocor. Tapi, setidaknya itu sedikit
menyelamatkanku.
Sebuah
bus kota berhenti tepat di hadapanku, kibasan anginya masih kurasakan sesaat
setelah kulangkahkan kakiku untuk mengambil tempat paling belakang. Pakaianku
masih basah. Tapi setidaknya, aku mendapatkan sedikit rasa hangat dari sebuah
kursi yang mungkin baru saja ditinggalkan oleh seseorang. Kurapatkan jendela
kaca agar tak sedikit pun angin masuk untuk mengelus kulit lembabku. Seluruh persendianku
terasa kaku dan kakiku terasa beku. Perhentian terakhir masih jauh, sebaiknya
kubuka dulu sepatu dan kaos kakiku agar secepatnya kembali kudapatkan rasa
hangat.
Kusandarkan
kepalaku sejenak dan kupejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh lelahku.
Mungkin setelah ini aku akan demam, kurasakan tenggorokanku mulai sakit.
Bagaimana tidak, sejak pagi tadi, sejak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah
untuk berangkat ke kampus, meninggalkan jam kedua untuk membeli sebuah kado
kecil, aku sudah kehujanan. Tapi, bukan saatnya untuk mengeluh. Kuperkirakan
akan sampai tiga puluh menit lagi, tepatnya setelah jam kedua habis, dan
setelah itu aku akan memberikan sebuah buku yang kubeli kepada seseorang,
kemudian kukerjakan sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu kuselesaikan.
Bus
berhenti di perhentian terakhir. Hujan pun kini hanya sebatas gerimis, aku
masih harus ke seberang jalan untuk menuju ke gerbang kampus. Di sinilah
pertama kali kami bertemu. Saat ospek, kami mendapatkan hukuman dari para
senior. Selain menanyakan nama dan hal lain, aku juga menanyakan fakultas dan
prodi apa yang ia ambil. Dan ternyata prodi kami sama dan pada akhirnya kami di
tempatkan di kelas yang sama pula. Sejak saat itulah aku selalu
memperhatikannya, mengagumi dan selalu ingin menjaganya. Aku menyayanginya.
Kini
kudapati sosoknya berjalan ke arahku, kulihat dia berjalan dengan hati-hati
untuk menghindari beberapa genangan air. Aku mendekatinya dengan buku yang
masih kukupit, kusembunyikan di dalam jaketku. Wajahnya yang sedari tadi menunduk
memperhatikan jalan, dia angkat, dan mendapatiku basah kuyup di hadapannya.
Tanpa mengulur waktu, aku pun menggenggam pergelangan tangannya, kuarahkan
telapak tangannya untuk mendarat di dadaku.
“Apakah
kau merasakannya? ”
“Entah
apa yang kau maksud, yang pasti hanya degup jantungmulah yang kini kurasakan
“Apa
kau tahu sesuatu?”
“Ceritakanlah!”
“Sebelum
hari ini, sebelum kau mampu merasakan degup jantungku. Aku sudah lama berusaha
untuk merasakan, menerawang, dan memahami apa yang kau rasa dan inginkan. Sejak
itu, hari di mana aku menemukan diriku untuk pertama kalinya merasakan rasa
ingin melindungi seorang perempuan. Yang sampai hari ini kuyakini sebagai cinta
pertamaku. Apa kau tahu itu?”
“Bagaimana
mungkin aku mengetahui hal yang gamblang seperti itu?”
“Ya,
maksudku, setidaknya kau mampu merasakannya”.
“Aku
bisa apa?”
“Mulai
hari ini, belajarlah untuk lebih memahami”.
“Bagaimana
jika aku tidak bisa!”
“Kalau
begitu belajarlah untuk sedikit memahami”.
“Apakah
itu berbeda?”
“Setidaknya,
yang kedua membuatku masih punya harapan”.
“Berhentilah
berharap!”
“Baiklah,
tapi aku tidak akan berhenti untuk menunggu”.
Tanpa
sepatah kata pun lagi, dia pergi meninggalkanku. Bahkan sebelum aku sempat memberikan
buku dan ucapan selamat ulang tahun kepadanya. Kurasakan kelopak mataku basah.
Mungkin aku demam.
Cinta tak terbalas
adalah hal lumrah yang dapat ditemui di
belahan bumi manapun!