Kata
siapa saya tidak tau apa itu sakit, bagaimana penderitaan menjadi bagian dari
kehidupan, dan apa yang terjadi ketika oksigen pun enggan menggandeng dan
memberikan tuntunan hidup yang lebih indah. Sejak kecil saya sudah belajar
memahami dan menerima kenyataan, menerima sakit dan menyimpannya sendiri,
memeluk harapan yang pada akhirnya mengering dan berakhir di tungku perapian
layaknya abu.
Lahir
dari keluarga sederhana dan bahagia adalah surga dunia pertama yang kukenali.
Ayahku adalah seorang petani dan penggarap empang milik orang lain dan ibuku
hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Dari tangan-tangan kasar mereka saya
belajar memberi dan menerima. Ayahku hanyalah lelaki paruh baya yang menamatkan
pendidikan terakhirnya di Sekolah Menengah Atas. Meski begitu,
keputusan-keputusan yang ia ambil jauh lebih bijaksana daripada para petinggi negara.
Jika seseorang bertanya darimana saya belajar menerima, maka jawabannya adalah
ayah. Diamnya adalah suara kalbu yang mampu menelusup jauh ke dalam nalar.
Suatu
hari, ayah mendapat tawaran untuk menjadi staf kepala desa. Kulihat senyum
bahagianya yang sangat renyah, sangat jarang aku melihat senyum khasnya itu.
Kepada ibu dia bercerita kalau pekerjaan itu benar-benar sudah menjadi rezeki
maka kebutuhan akan lebih mudah terpenuhi, biaya sekolah anak-anak bisa
terjamin, bahkan sisanya bisa ditabung untuk kebutuhan sekunder. Senyum itu
menular sangat cepat dan kami sekeluarga selalu berdoa untuk semua yang
terbaik. Tapi, tak ada jalan yang mudah untuk semua kebaikan. Seseorang gila
jabatan dan haus akan tahta mendatangi ayah dan mengatakan bahwa seorang
seperti ayah tidak pantas untuk jabatan itu, bahkan SK yang sudah di tangan
direbutnya dengan sikap kasar. Kubayagkan air muka yang lelah akan urusan dunia
itu menunduk kecewa. Bukan karena gila jabatan atau pun haus tahta, melainkan
pendapatan tetap yang sudah iya bayangkan secepatnya memudar dari semua
perencanaannya.
Tak
banyak kata yang iya keluarkan, katanya belum rezeki. Lain ayah lain ibu, ia
menceritakan kembali kejadian yang kemudian lebih banyak membuat ayah
bertawakkal dalam diamnya. Air mata menyelingi tutur katanya, isakan pedih tak
dapat disembunyikan lagi. Ya Tuhan, hapuslah air mata beliau dengan
tangan-tangan kekuasaanmu, kuatkan perempuan yang kusayangi ini karena sampai
hari ini aku belum bisa membahagiakannya. Kurasakan mataku mulai hangat, aku
pamit ke dapur untuk mencuci piring-piring kotor dan menangis sejadi-jadinya di
sana. Tidak akan kubiarkan diriku terlihat lemah di depan kedua orang tuaku
terutama ibu.
Kejadian
itu bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Jauh hari sebelumnya, ayah pernah
mendapat kepercayaan untuk menjadi ketua TPS di desa kami. Sekali lagi, bukan
karena gila tahta atau pun haus jabatan, melainkan karena dia tidak dapat
menolak. Dijalankannya semua amanah itu dengan sungguh-sungguh, pekerjaannya
selalu selesai tepat waktu dengan imbalan lelah karena tanggung jawabnya di
tambak tak pernah ia tinggalkan.
Memang
pada dasarnya setiap keberhasilan selalu diselingi oleh sikap iri dari berbagai
pihak. Hanya karena konsumsi yang terhitung cukup ― biasanya berlebih ―
orang-orang malah memfitnah ayah menggelapkan dana dan katanya “ jelas saja
konsumsinya tidak cukup, paling ditaruh sebagian di rumah buat dimakan sama
anak-anaknya”. Ini bukan karangan karena mereka bergunjing di depan mataku.
Maafkan aku ibu, air mata ini di luar kuasaku.
Atas
dasar apa mereka berkata seperti itu. Memang kami orang tak berpunya, tapi kami
bukan pencuri, setiap hari makanan yang disuguhkan ibu sangat jauh dari kata
mewah tapi kami selalu mensyukurinya. Ketika anak-anak yang lain bermain
sepeda, adik-adikku hanya bisa berjongkok di tepi lorong, menunggu teman yang
kelelahan untuk kemudian dimintaki untuk meminjamkannya sepeda. Jika tidak
dipinjamkan mereka tidak pernah memaksa apalagi menjahati mereka, kedua adikku
hanya pulang ke rumah dan merengek agar mereka juga dibelikan sepeda. Sabar ya
adik-adikku sayang, suatu hari nanti kalian juga akan mengendarai sepeda
seperti yang dimiliki oleh teman-teman kalian. Dan ayah, jangan masukkan ke
hati hujatan orang-orang tak bermoral itu, suatu hari nanti mereka akan
mendapatkan balasannya. Tangan tuhan jauh lebih kuasa daripada umpatan setan.
Ayahku,
lelaki terbaik yang pernah kukenal. Kelak laki-laki sepertinyalah yang akan
kujadikan panutan dalam pencarian imamku. Terkadang kulit gelapnya luka dan
mengering sendiri tanpa pernah diobati, dengan kuku kaki dan tangan yang masih
berlumpur beliau memasukkan air ke dalam cerek, membasuh wajahnya dengan
khidmat dan menggelar sejadah dengan ikhlas. Ketika istrinya tertidur pulas dan
anak-anak gadisnya terlihat sibuk meski dengan sesuatu yang tidak penting,
beliau menakar gula dan kopi, memanaskan air, dan menuangkannya ke cangkir
dengan mata sayup dan merah karena seharian diterpa terik pagi sampai sore.
Dengan nafas yang tidak teratur lagi, selepas isya beliau duduk di kursi tua
sembari berzikir dan menghembuskan asap kretek dengan harga termurah di warung
manapun. Dia yang selalu mengaku punya uang ketika anak-anaknya ingin membayar
dan membeli kebutuhan sekolah, padahal entah di mana lagi dia berhutang.
Baginya, pendidikan anak-anaknya adalah harga mati.
Ayah,
mengawali harinya dengan selalu berucap bismillah, mengayuh sepedanya dengan
tekun meski kendaraan orang-orang sudah bermotor. Setiap hari menyentuh lumpur
yang jauh lebih suci daripada Buddha, mengeringkan gabah dengan peluh yang tak
terhitung, menimba air di sumur kering untuk mandi anak-anaknya ke sekolah dan
untuk istrinya mencuci piring dan pakaian, memasang pukat di malam hari dengan
taruhan kantuk dan tubuh menggigil, melupakan hak atas apa yang disebut
kewajiban. Tubuh rentah itu hanya tersisa jiwa seorang patriot, raganya sudah
habis dia bagi-bagikan untuk keempat anaknya. Dan anakmu yang paling banyak
menggerogoti ragamu ini, akan berjuang atas apa yang kau sebut kewajiban. Kelak
adik-adikku akan menjadi tanggunganku dan kau ayah, juga ibu. Abdiku sepenuhnya
untuk kalian.
Makassar,
18 Februari 2014
Anakmu
..