Selasa, 24 Juni 2014

Sebuah Definisi

Wanita ini, aku begitu mencintainya. Dia selalu saja meminta untuk bertemu di sebuah sore. Entah kenapa harus sore, padahal secepatnya aku harus kembali ke rumah. Begitu pun ia.
Aku bertemu dengannya di tempat yang kini selalu menjadi tempat janjian kami. Di sebuah halte yang berada di sudut sebuah taman, di pinggiran kota, jaraknya tak jauh dari kantor tempatku bekerja. Kami tak punya alasan untuk selalu bertemu, kami menganggapnya sebuah basa-basi. Selanjutnya, biarkan orang lain memaknainya apa. Kami bertemu sekaligus menunggu. Menunggu takdir masing-masing.
Di suatu siang yang basah. Seseorang melangkah ke arahku,  dengan langkahnya yang ringan ia memaksa angin untuk membelainya, memaksa dunia agar terpikat, dan meminta waktu untuk diberhentikan. Kali ini ia kembali datang, masih dengan seragam putih-abuabunya yang mulai kusut. Rambutnya ia gerai menyentuh bahu menutupi kerah. Sesekali bibirnya terkatup, entah bicara maupun ketika ia menahan kantuk. Wanita ini, mengapa aku selalu ingin melindunginya? Ia selalu pandai menyapa dan mengawali perbincangan yang hangat, menawarkan sebuah topik, kemudian memancingku untuk membicarakan apa saja dan menjawab apa saja yang ia tanyakan. Sesederhana inikah alasan untuk mencintai?
“Ceritakan padaku sebuah kisah cinta yang sangat kau sukai!” katanya memulai sebuah perbincangan. Aku sempat tercengang sebelum akhirnya tersenyum geli mendengar pertanyaan lugu yang sangat sulit untuk dijawab dengan jawaban yang lugu pula. Entah dari mana dan akan mengalir ke mana perbincangan ini? Betapa ia tak menyadari, membicarakan cinta berarti mebicarakan dunia yang serba absurd. Namun, dengan perbendaharaan kata seadanya yang kumiliki kuceritakan sebuah kisah, entah karena apa aku memilih momentum kisah cinta Sang Hanuman dan Trijata dari selipan kisah Ramayana. Mungkin karena aku menyukainya. Mungkin.
 “Suatu ketika, di dalam suasana pelik, untuk pertama kalinya Hanuman mengagumi seorang wanita. Meski cinta kadang tak membutuhkan alasan, tapi cinta Hanuman adalah bukti konkret bahwa sebuah momentum jatuh cinta selalu memiliki alasannya masing-masing. Ya, Hanuman mencintai ketangguhan seorang  Trijata. Di sebuah petang yang kosong, untuk pertama kalinya Trijata mengakui kebenaran hati, di pundak hanuman, Trijata menjatuhkan mimpi dan seluruh ingatannya akan dunia baru, sesaat sebelum ia terbangun dan menyadari bahwa mimpi mereka tidaklah sama”.
          “Sesulit itukah cinta? Mengapa cinta yang berbalaskan sekali pun selalu menemui alasan untuk tak dilanjutkan?” katanya masih dengan wajah pucat yang tak pernah ia poles kecuali dengan bedak.
          “Entah kenapa, seseorang tak pernah  mengonvesionalkan definisi cinta! Ini adalah subjektivitas yang berkembang secara objektif. Cinta bukanlah satu-satunya alasan mengapa seseorang harus hidup bersama”, jawabku sekenanya.
          “Lantas, atas dasar apa Hanuman tidak mengambil keputusan atas perasaannya? Dan Trijata, Bukankah dia adalah perempuan yang tangguh? Mengapa memiliki cintanya tak pernah ia usahakan?” mengapa pertanyaan ini bagaikan sebuah sindiran untukku?
          “Usaha tak selalu dilihat dari sebuah hasil. Atas dasar apa Trijata harus memaksakan kehendaknya  tanpa memikirkan keputusan  Sang hanuman? Keputusan untuk saling melupakan di sebuah pagi yang berarti. Urusan hati adalah urusan terpelik yang ada di dunia, berarti bagi mereka yang member arti. Apalah arti cinta bagi Hanuman? Baginya cinta bukanlah hal yang utama”.
Tiba-tiba kendaraan bermotor menepi ke arah kami, ia menoleh sekali kemudian kembali bertanya.
          “Ini adalah pertanyaanku yang terakhir untuk hari ini. Mengapa kau menyukai cerita ini?” tanyanya sambil menyidik dengan nakal. Anak ini, pertanyaan macam apa ini?
          “Karena istriku sangat menyukai cerita ini”, kataku sambil membelainya dengan lembut, kemudian menyuruhnya agar secepatnya untuk  pulang.
          Dia tertawa sampai bola matanya basah, kemudian mengangguk lalu berbalik dengan langkah yang ringan. Kupandangi ia sampai menghilang dari pandangan dengan latar sore yang sesak oleh tumpukan jingga yang memenuhi ruang gerakku. Sekali lagi aku menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arah toko bunga yang ada di seberang jalan. Aku harus pulang untuk mempersiapkan perayaan hari pernikahanku di tahun pertama.
Wanita itu, aku begitu mencintainya. Dia yang selalu menemuiku hampir di setiap sore. Untuk apa? Ya, untuk apa saja. Salah satunya untuk menunggu kekasihnya untuk menjemput.
Makassar, 20 Juni 2014
Vy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar