Wanita ini, aku begitu mencintainya. Dia
selalu saja meminta untuk bertemu di sebuah sore. Entah kenapa harus sore,
padahal secepatnya aku harus kembali ke rumah. Begitu pun ia.
Aku bertemu dengannya di tempat yang kini
selalu menjadi tempat janjian kami. Di sebuah halte yang berada di sudut sebuah
taman, di pinggiran kota, jaraknya tak jauh dari kantor tempatku bekerja. Kami
tak punya alasan untuk selalu bertemu, kami menganggapnya sebuah basa-basi.
Selanjutnya, biarkan orang lain memaknainya apa. Kami bertemu sekaligus
menunggu. Menunggu takdir masing-masing.
Di suatu siang yang basah. Seseorang
melangkah ke arahku, dengan langkahnya
yang ringan ia memaksa angin untuk membelainya, memaksa dunia agar terpikat,
dan meminta waktu untuk diberhentikan. Kali ini ia kembali datang, masih dengan
seragam putih-abuabunya yang mulai kusut. Rambutnya ia gerai menyentuh bahu
menutupi kerah. Sesekali bibirnya terkatup, entah bicara maupun ketika ia
menahan kantuk. Wanita ini, mengapa aku selalu ingin melindunginya? Ia selalu
pandai menyapa dan mengawali perbincangan yang hangat, menawarkan sebuah topik,
kemudian memancingku untuk membicarakan apa saja dan menjawab apa saja yang ia
tanyakan. Sesederhana inikah alasan untuk mencintai?
“Ceritakan padaku sebuah kisah cinta
yang sangat kau sukai!” katanya memulai sebuah perbincangan. Aku sempat
tercengang sebelum akhirnya tersenyum geli mendengar pertanyaan lugu yang
sangat sulit untuk dijawab dengan jawaban yang lugu pula. Entah dari mana dan
akan mengalir ke mana perbincangan ini? Betapa ia tak menyadari, membicarakan
cinta berarti mebicarakan dunia yang serba absurd. Namun, dengan perbendaharaan
kata seadanya yang kumiliki kuceritakan sebuah kisah, entah karena apa aku
memilih momentum kisah cinta Sang Hanuman dan Trijata dari selipan kisah
Ramayana. Mungkin karena aku menyukainya. Mungkin.
“Suatu
ketika, di dalam suasana pelik, untuk pertama kalinya Hanuman mengagumi seorang
wanita. Meski cinta kadang tak membutuhkan alasan, tapi cinta Hanuman adalah
bukti konkret bahwa sebuah momentum jatuh cinta selalu memiliki alasannya
masing-masing. Ya, Hanuman mencintai ketangguhan seorang Trijata. Di sebuah petang yang kosong, untuk
pertama kalinya Trijata mengakui kebenaran hati, di pundak hanuman, Trijata
menjatuhkan mimpi dan seluruh ingatannya akan dunia baru, sesaat sebelum ia
terbangun dan menyadari bahwa mimpi mereka tidaklah sama”.
“Sesulit
itukah cinta? Mengapa cinta yang berbalaskan sekali pun selalu menemui alasan
untuk tak dilanjutkan?” katanya masih dengan wajah pucat yang tak pernah ia
poles kecuali dengan bedak.
“Entah
kenapa, seseorang tak pernah mengonvesionalkan
definisi cinta! Ini adalah subjektivitas yang berkembang secara objektif. Cinta
bukanlah satu-satunya alasan mengapa seseorang harus hidup bersama”, jawabku
sekenanya.
“Lantas,
atas dasar apa Hanuman tidak mengambil keputusan atas perasaannya? Dan Trijata,
Bukankah dia adalah perempuan yang tangguh? Mengapa memiliki cintanya tak
pernah ia usahakan?” mengapa pertanyaan ini bagaikan sebuah sindiran untukku?
“Usaha
tak selalu dilihat dari sebuah hasil. Atas dasar apa Trijata harus memaksakan
kehendaknya tanpa memikirkan
keputusan Sang hanuman? Keputusan untuk
saling melupakan di sebuah pagi yang berarti. Urusan hati adalah urusan
terpelik yang ada di dunia, berarti bagi mereka yang member arti. Apalah arti
cinta bagi Hanuman? Baginya cinta bukanlah hal yang utama”.
Tiba-tiba kendaraan bermotor menepi ke
arah kami, ia menoleh sekali kemudian kembali bertanya.
“Ini
adalah pertanyaanku yang terakhir untuk hari ini. Mengapa kau menyukai cerita
ini?” tanyanya sambil menyidik dengan nakal. Anak ini, pertanyaan macam apa
ini?
“Karena
istriku sangat menyukai cerita ini”, kataku sambil membelainya dengan lembut,
kemudian menyuruhnya agar secepatnya untuk
pulang.
Dia
tertawa sampai bola matanya basah, kemudian mengangguk lalu berbalik dengan
langkah yang ringan. Kupandangi ia sampai menghilang dari pandangan dengan
latar sore yang sesak oleh tumpukan jingga yang memenuhi ruang gerakku. Sekali
lagi aku menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arah toko bunga yang ada di
seberang jalan. Aku harus pulang untuk mempersiapkan perayaan hari pernikahanku
di tahun pertama.
Wanita itu, aku begitu mencintainya. Dia
yang selalu menemuiku hampir di setiap sore. Untuk apa? Ya, untuk apa saja.
Salah satunya untuk menunggu kekasihnya untuk menjemput.
Makassar, 20 Juni 2014
Vy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar