Entah
dengan apa lagi, cara apa lagi dan dengan bahasa apa lagi! Ini hanya masalah
waktu, bom waktu. Terlalu sering aku bersenang-senang dan melupakan satu hal,
“kenyataan”. Tidak bisa dipungkiri bahwa aku benar-benar manusia munafik dan
egois. Mengatakan “tidak apa-apa” padahal ini adalah apa-apa. Egois karena aku
tak pernah membagi sesuatu yang seharusnya sejak awal tak kumiliki sendiri.
Siluet punggungmu dari kejauhan seakan
mengabur dan sesekali hilang dari pandanganku. Aku terkantuk-kantuk dan
sesekali pula mataku terpejam sempurna setiap beberapa menit. Ini sudah malam
namun belum terbilang larut tapi mataku rasanya sangat berat, terbuka lebar
jika ada suara yang tiba-tiba terdengar mahadahsyat atau pun sekadar memicing
jika terdengar suara seseorang yang mampu membuat aliran darahku mengalir
deras, yang sedari tadi, yang kulihat hanyalah siluetnya.
Diskusi rutin seminggu sekali adalah
sesuatu yang begitu membosankan bagiku, mungkin. Bagaimana tidak, diskusi yang
berbelit-belit itu hanya mengurangi jatah istirahat plus jatah tidur tentunya.
Berbusa-busa mereka membicarakan tentang kemahasiswaan, birokrasi, kapitalisme,
idealisme, realisme, dan blablabla. Tak banyak yang bisa kutangkap dan
kupahami. Yang kutahu setiap minggu aku duduk, memerhatikan seseorang dari jauh
dan jika sempat, mendengarkan lebih banyak apa yang sempat ia katakan. Menyenangkan,
bukan?
Film panjang di dalam khayalanku itu
tiba-tiba bersambung ketika salah satu teman menginterupsi agar aku ke belakang
untuk membantu teman-teman yang lain menyiapkan konsumsi berupa gorengan dan
bergelas-gelas kopi. Sederhana memang, lebih tepatnya seadanya karena sedikit-banyaknya
dana yang terkumpul berdasarkan banyak-tidaknya anggota yang hadir. Di dapur,
aku mendapatkan ucapan selamat datang yang eksklusif dari cipratan minyak
panas. Tapi itu hanyalah kejutan kecil yang pertama, kejutan yang lain adalah
aku bertemu dengan orang baru ─ yang
setelahnya kuketahui kalau dia adalah pacar dari pak ketua, yang sejak awal
menjadi tujuan utamaku datang ke tempat ini, untuk melihat siluetnya. Tak perlu
juga aku menanyakan sejak kapan mereka berpacaran karena sepertinya dua kejutan
saja sudah lebih dari cukup dalam rentan waktu semalam.
Perempuan itu sungguh biasa-biasa
saja, gerakan tangannya saat menuang kopi pun terlihat sangat kikuk. Tapi dia
terlihat sangat modis, pakaian sederhana namun bermerek itu cukup mewakili
pernyataan sebelumnya. Setelah semuanya siap kami bergegas membawa
nampan-nampan untuk selanjutnya diedarkan ke tengah-tengah peserta diskusi.
Tiba-tiba langkahku berhenti dan kurapatkan punggungku ke tembok. Sesuatu
terjadi saat aku hendak meletakkan segelas kopi di hadapan pak ketua, untuk
kedua kalinya, perempuan modis itu mendahuluiku. Terbersit rasa iri di hatiku
tapi untuk apa? Dia tidak terlihat lebih baik dariku. Ahh sikap optimisku
terdengar sangat sombong sepertinya.
Kupikir aku akan baik-baik saja
setelahnya. Tapi tidak berhenti di situ, perempuan modis itu mengambil tempat
persis di sebelah pak ketua, bersila dan terlihat sangat rapat. Muka lesuhku
tak dapat kusembunyikan lagi, aku cemburu. Setelah tugasku selesai aku kembali
mengambil tempat jauh ke belakang, membungkus rapi perasaanku agar tak seorang
pun tahu bahwa malam ini, untuk pertama kalinya aku ingin cepat-cepat pulang.
Seminggu setelahnya, antusiasku
mengikuti diskusi mengalami penurunan yang sangat drastis. Aku pun sudah jarang
memerhatikan pak ketua dari jauh, dan mengabaikan kehadirannya yang hanya
berjarak beberapa sentimeter. Menyadari itu, setelah dua minggu ogah-ogahan
datang ke forum ─ di
suatu kesempatan yang kurang tepat, pak ketua menghampiriku. Katanya “sudah
lupa sama himpunannya ya?” sebuah pertanyaan iseng-iseng yang jika diteruskan
tentu membutuhkan penjelasan yang panjang. “maaf kanda, saya lagi buru-buru”
kataku sembari mengatur napas yang membutuhkan banyak oksigen. “baiklah,
penjelasannya menyusul di forum pekan ini”. Tak perlu berkata iya, sebab
senyumanku sudah mewakili semuanya. Termasuk kenapa aku absen di beberapa
pertemuan.
Diskusi kali ini, tak seperti
biasanya, aku mengambil tempat yang cukup ekstrem ─ tepat di hadapan pak ketua. Aku
menyebutnya sebagai perayaan kecil serta ucapan terima kasih karena tidak akan
ada yang mengganjal di pandangan sekaligus di hati sepanjang berlangsungnya
diskusi. Sebab, tak ada siapa-siapa di samping pak ketua, pun perempuan modis
itu.
“ada pertanyaan?”, pak ketua mengedarkan
pandangannya. “atau mungkin ada yang ingin disampaikan berupa uneg-uneg, kritik
dan saran atau semacamnya!” seiring dari berakhirnya kalimat itu, pandangan pak
ketua berhenti, mata kami beradu. “tidak ada!”, anggap itu sebagai jawaban
seseorang yang grogi karena tak nyaman ditatap berlama-lama oleh seseorang yang
dikaguminya satu tahun terakhir, tepat setelah memutuskan untuk bergabung
dengan himpunan kemahasiswaan fakultas. Gugupku terbaca oleh orang-orang, suara
tawa terdengar serempak memenuhi ruangan. Aku hanya bisa tersenyum, sebisanya.
Pura-pura tidak mengerti.
Hujan menghalangiku pulang malam ini,
karena harus berjalan beberapa meter untuk menunggu angkutan umum, kuputuskan
untuk menunggu hujan reda, setidaknya sampai gerimis. Tiba-tiba pak ketua
berdiri tepat di sebelahku “sepertinya tidak ada tanda-tanda akan reda”,
katanya, seakan-akan bisa mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh diamku. Tidak
kutemukan tanggapan terbaik untuk momen terbaik ini. “sendirian saja kanda?”
kuharap pertanyaan dadakan ini cukup hangat untuk mencairkan suasana. “berdua”,
jawabnya tanpa menoleh. “pacar?”, tanyaku ragu. “ya kamulah”. Katanya sambil
tertawa kecil, di sebelahnya aku tersenyum simpul, sepertinya aku harus banyak
belajar padanya bagaimana cara menciptakan obrolan yang hangat.
Malam itu ─ sungguh kesempatan yang langkah ─ kami mengobrol cukup lama, dan yang tak
kalah membuatku terus-terusan tersenyum adalah pernyataan bahwa dia dan gadis
modis itu sudah tak bersama lantaran tidaklah cocok. Katanya ”gadis realistis
seperti dia terlalu membuan-buang waktunya untuk seorang yang idealis seperti
saya”. Sungguh jawaban yang teoretis.
Malam mulai larut tapi hujan tak
kunjung reda, ruangan kesekretariatan pun mulai lengang karena hanya beberapa
yang masih tinggal, menghabiskan waktu dengan bernyanyi santai diiringi petikan
gitar. Setelah beberapa kali melirik arloji di pergelangan tangan, kuputuskan
untuk menerobos kekonsistenan ribuan rintik hujan. Pak ketua berbaik hati
mengantarkanku menunggu angkutan umum, bonus yang indah.
Di sore hari setelah jam kuliah
berakhir, setelah lelah dan laparku segera kubayar di kantin kampus bersama dua
teman yang lain. Di perjalanan pulang kudapati pak ketua bersama beberapa teman
ribut dengan candaan khas yang sesekali diselingi suara tawa. “tatapan matanya
ke kamu jas, masa kamu nggak sadar dia naksir sama kamu”, “nggak cuma itu, dia
sering banget loh perhatiin kamu dari jauh”, “dan kalau kamu ngomong matanya
nggak kedip”. Serbuan kata-kata itu hanya ditanggapi pak ketua dengan muka adem
ayem. “itu hanya perasaan kalian saja, Rima itu adalah adik yang harus kita
jaga seperti halnya anggota-anggota himpunan yang lain”. Aku kaget, daun
telingaku menangkap sebuah nama, aku tahu mereka sedang membicarakanku. Salahku
memang yang tak pandai menyembunyikan perasaan, bahasa tubuhku sangat jelas dan
mataku berbicara dengan blak-blakan, memberitahu kepada siapa saja yang
mempelajarinya kalau aku menaruh rasa padanya. Aku berlalu menyapa mereka
ramah, seolah tak pernah mendengar percakapan mereka.
Kejadian tadi sore sudah cukup jelas,
perasaan yang selama ini kuagung-agungkan hanya menjadi selingan di dalam
beberapa candaan teman-teman kak Anjas. Yang harus kuupayakan sekarang adalah
bagaimana caranya agar perasaan ini kusisihkan sebagian untuk kepentingan harga
diri. Tidak mudah memang tapi tidak ada salahnya untuk diupayakan.
Beberapa kali aku absen di pertemuan
rutin, anggap saja ini salah satu upaya. Di kamar tiga kali empat ini, aku
menghabiskan waktu dengan menghayal dan setiap beberapa menit kulirik jam
dinding yang terletak di salah satu sisi ruangan “pukul tujuh. Seharusnya
sekarang aku sudah siap-siap untuk diskusi di sekret”, kataku sambil menutup
wajah dengan guling. Lamunanku buyar, seseorang mengetuk pintu kamar sambil
meneriakkan namaku. Salah seorang teman sebelah kamar memberitahu bahwa seseorang
mencariku dan sekarang menunggu di depan. Siapa pula teman yang datang tanpa
mengabari terlebih dahulu, keluhku dalam hati.
Di teras kudapati kak Anjas berdiri
membelakangiku. “eh pak ketua, selamat malam, ada yang bisa dibantu”, sapaku
dengan senyum senang yang sekuat mungkin kurapikan di dasar. “ingin menjemput
anggota pemalas yang jam segini masih enak-enakan di dalam kamar”, katanya sembari
berbalik dan menghujatku dengan tatapan menantang. “maaf kanda, belakangan aku
jenuh, bosan berlama-lama di sekret. Suasana di kos jauh membuatku lebih tenang
dan nyaman”, aku menunduk dengan pandangan lesuh, percakapan singkat ini
membuat kakiku berat, berada di posisiku sangat tidak menyenangkan saat ini.
“belakangan aku juga jenuh, bosan berlama-lama di sekret. Setelah menyadari
bahwa suasana di kos jauh membuatmu lebih tenang dan nyaman”. Kakiku kehilangan
daya, secepatnya kucari sandaran yang bisa menguatkanku, kak Anjas mengikuti
langkahku untuk mengambil tempat duduk di sebuah bangku kayu persis di sebelahku.
Sebisa mungkin kuperlihatkan respon
yang biasa-biasa saja tapi percuma, kak Anjas menyadari perubahan air mukaku
yang tak biasa-biasa. “aku tahu apa yang kau rasakan sekarang, kau sakit,
bukan! Jelas kau sakit, sesuatu yang seharusnya kau bagi sejak awal malah kau
miliki sendiri. Kau egois, mencintai diri sendiri. Kau bodoh, berusaha
mematikan sesuatu yang sebelumnya tumbuh dengan indah. Lihatlah apa yang
terjadi sekarang, vaksin yang kau ciptakan telah menjadi racun, mematikan semua
saraf kepekaanmu. Kau sempurna kalah”.
Aku terpojok. Apapun yang terjadi,
diam tak bisa menyelamatkanku. “cukup kak, aku memang bodoh sebab aku hanyalah
seorang pemimpi, penghayal, dan hanya bisa berharap. Pasif. Tapi tolong jangan
menghujatku dengan kata egois, karena selama ini aku mencintai dalam diam,
berharap kelak dia akan menjadi seorang sahabat. Sederhana, bukan? Sahabat yang
jauh lebih memahami, mengenal, dan melengkapi satu sama lain. Bukankah sahabat
jauh lebih mengerti dari siapa pun? Aku ingin menjadi sahabat terbaik untuknya,
entah hari ini, besok, dan seterusnya. Mendampingi dengan predikat sahabat
terbaik, mendampingi sampai ke sebuah puncak pengharapan yang nyata”. Beban itu
mengalir bersama air mata. Jelas mereka sama-sama memahami situasi yang
terjadi. Perkara selesai.
“mulai hari ini kita akan bersahabat”,
katanya sambil bersandar di pundakku. Perkara belum selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar