Kamis, 19 Desember 2013

Sebelumnya, Ketika Perkara Belum Selesai


Entah dengan apa lagi, cara apa lagi dan dengan bahasa apa lagi! Ini hanya masalah waktu, bom waktu. Terlalu sering aku bersenang-senang dan melupakan satu hal, “kenyataan”. Tidak bisa dipungkiri bahwa aku benar-benar manusia munafik dan egois. Mengatakan “tidak apa-apa” padahal ini adalah apa-apa. Egois karena aku tak pernah membagi sesuatu yang seharusnya sejak awal tak  kumiliki sendiri.
          Siluet punggungmu dari kejauhan seakan mengabur dan sesekali hilang dari pandanganku. Aku terkantuk-kantuk dan sesekali pula mataku terpejam sempurna setiap beberapa menit. Ini sudah malam namun belum terbilang larut tapi mataku rasanya sangat berat, terbuka lebar jika ada suara yang tiba-tiba terdengar mahadahsyat atau pun sekadar memicing jika terdengar suara seseorang yang mampu membuat aliran darahku mengalir deras, yang sedari tadi, yang kulihat hanyalah siluetnya.
          Diskusi rutin seminggu sekali adalah sesuatu yang begitu membosankan bagiku, mungkin. Bagaimana tidak, diskusi yang berbelit-belit itu hanya mengurangi jatah istirahat plus jatah tidur tentunya. Berbusa-busa mereka membicarakan tentang kemahasiswaan, birokrasi, kapitalisme, idealisme, realisme, dan blablabla. Tak banyak yang bisa kutangkap dan kupahami. Yang kutahu setiap minggu aku duduk, memerhatikan seseorang dari jauh dan jika sempat, mendengarkan lebih banyak apa yang sempat ia katakan. Menyenangkan, bukan?
          Film panjang di dalam khayalanku itu tiba-tiba bersambung ketika salah satu teman menginterupsi agar aku ke belakang untuk membantu teman-teman yang lain menyiapkan konsumsi berupa gorengan dan bergelas-gelas kopi. Sederhana memang, lebih tepatnya seadanya karena sedikit-banyaknya dana yang terkumpul berdasarkan banyak-tidaknya anggota yang hadir. Di dapur, aku mendapatkan ucapan selamat datang yang eksklusif dari cipratan minyak panas. Tapi itu hanyalah kejutan kecil yang pertama, kejutan yang lain adalah aku bertemu dengan orang baru yang setelahnya kuketahui kalau dia adalah pacar dari pak ketua, yang sejak awal menjadi tujuan utamaku datang ke tempat ini, untuk melihat siluetnya. Tak perlu juga aku menanyakan sejak kapan mereka berpacaran karena sepertinya dua kejutan saja sudah lebih dari cukup dalam rentan waktu semalam.
          Perempuan itu sungguh biasa-biasa saja, gerakan tangannya saat menuang kopi pun terlihat sangat kikuk. Tapi dia terlihat sangat modis, pakaian sederhana namun bermerek itu cukup mewakili pernyataan sebelumnya. Setelah semuanya siap kami bergegas membawa nampan-nampan untuk selanjutnya diedarkan ke tengah-tengah peserta diskusi. Tiba-tiba langkahku berhenti dan kurapatkan punggungku ke tembok. Sesuatu terjadi saat aku hendak meletakkan segelas kopi di hadapan pak ketua, untuk kedua kalinya, perempuan modis itu mendahuluiku. Terbersit rasa iri di hatiku tapi untuk apa? Dia tidak terlihat lebih baik dariku. Ahh sikap optimisku terdengar sangat sombong sepertinya.
          Kupikir aku akan baik-baik saja setelahnya. Tapi tidak berhenti di situ, perempuan modis itu mengambil tempat persis di sebelah pak ketua, bersila dan terlihat sangat rapat. Muka lesuhku tak dapat kusembunyikan lagi, aku cemburu. Setelah tugasku selesai aku kembali mengambil tempat jauh ke belakang, membungkus rapi perasaanku agar tak seorang pun tahu bahwa malam ini, untuk pertama kalinya aku ingin cepat-cepat pulang.
          Seminggu setelahnya, antusiasku mengikuti diskusi mengalami penurunan yang sangat drastis. Aku pun sudah jarang memerhatikan pak ketua dari jauh, dan mengabaikan kehadirannya yang hanya berjarak beberapa sentimeter. Menyadari itu, setelah dua minggu ogah-ogahan datang ke forum di suatu kesempatan yang kurang tepat, pak ketua menghampiriku. Katanya “sudah lupa sama himpunannya ya?” sebuah pertanyaan iseng-iseng yang jika diteruskan tentu membutuhkan penjelasan yang panjang. “maaf kanda, saya lagi buru-buru” kataku sembari mengatur napas yang membutuhkan banyak oksigen. “baiklah, penjelasannya menyusul di forum pekan ini”. Tak perlu berkata iya, sebab senyumanku sudah mewakili semuanya. Termasuk kenapa aku absen di beberapa pertemuan.
          Diskusi kali ini, tak seperti biasanya, aku mengambil tempat yang cukup ekstrem tepat di hadapan pak ketua. Aku menyebutnya sebagai perayaan kecil serta ucapan terima kasih karena tidak akan ada yang mengganjal di pandangan sekaligus di hati sepanjang berlangsungnya diskusi. Sebab, tak ada siapa-siapa di samping pak ketua, pun perempuan modis itu.
          “ada pertanyaan?”, pak ketua mengedarkan pandangannya. “atau mungkin ada yang ingin disampaikan berupa uneg-uneg, kritik dan saran atau semacamnya!” seiring dari berakhirnya kalimat itu, pandangan pak ketua berhenti, mata kami beradu. “tidak ada!”, anggap itu sebagai jawaban seseorang yang grogi karena tak nyaman ditatap berlama-lama oleh seseorang yang dikaguminya satu tahun terakhir, tepat setelah memutuskan untuk bergabung dengan himpunan kemahasiswaan fakultas. Gugupku terbaca oleh orang-orang, suara tawa terdengar serempak memenuhi ruangan. Aku hanya bisa tersenyum, sebisanya. Pura-pura tidak mengerti.
          Hujan menghalangiku pulang malam ini, karena harus berjalan beberapa meter untuk menunggu angkutan umum, kuputuskan untuk menunggu hujan reda, setidaknya sampai gerimis. Tiba-tiba pak ketua berdiri tepat di sebelahku “sepertinya tidak ada tanda-tanda akan reda”, katanya, seakan-akan bisa mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh diamku. Tidak kutemukan tanggapan terbaik untuk momen terbaik ini. “sendirian saja kanda?” kuharap pertanyaan dadakan ini cukup hangat untuk mencairkan suasana. “berdua”, jawabnya tanpa menoleh. “pacar?”, tanyaku ragu. “ya kamulah”. Katanya sambil tertawa kecil, di sebelahnya aku tersenyum simpul, sepertinya aku harus banyak belajar padanya bagaimana cara menciptakan obrolan yang hangat.
          Malam itu sungguh kesempatan yang langkah kami mengobrol cukup lama, dan yang tak kalah membuatku terus-terusan tersenyum adalah pernyataan bahwa dia dan gadis modis itu sudah tak bersama lantaran tidaklah cocok. Katanya ”gadis realistis seperti dia terlalu membuan-buang waktunya untuk seorang yang idealis seperti saya”. Sungguh jawaban yang teoretis.
          Malam mulai larut tapi hujan tak kunjung reda, ruangan kesekretariatan pun mulai lengang karena hanya beberapa yang masih tinggal, menghabiskan waktu dengan bernyanyi santai diiringi petikan gitar. Setelah beberapa kali melirik arloji di pergelangan tangan, kuputuskan untuk menerobos kekonsistenan ribuan rintik hujan. Pak ketua berbaik hati mengantarkanku menunggu angkutan umum, bonus yang indah.
          Di sore hari setelah jam kuliah berakhir, setelah lelah dan laparku segera kubayar di kantin kampus bersama dua teman yang lain. Di perjalanan pulang kudapati pak ketua bersama beberapa teman ribut dengan candaan khas yang sesekali diselingi suara tawa. “tatapan matanya ke kamu jas, masa kamu nggak sadar dia naksir sama kamu”, “nggak cuma itu, dia sering banget loh perhatiin kamu dari jauh”, “dan kalau kamu ngomong matanya nggak kedip”. Serbuan kata-kata itu hanya ditanggapi pak ketua dengan muka adem ayem. “itu hanya perasaan kalian saja, Rima itu adalah adik yang harus kita jaga seperti halnya anggota-anggota himpunan yang lain”. Aku kaget, daun telingaku menangkap sebuah nama, aku tahu mereka sedang membicarakanku. Salahku memang yang tak pandai menyembunyikan perasaan, bahasa tubuhku sangat jelas dan mataku berbicara dengan blak-blakan, memberitahu kepada siapa saja yang mempelajarinya kalau aku menaruh rasa padanya. Aku berlalu menyapa mereka ramah, seolah tak pernah mendengar percakapan mereka.
          Kejadian tadi sore sudah cukup jelas, perasaan yang selama ini kuagung-agungkan hanya menjadi selingan di dalam beberapa candaan teman-teman kak Anjas. Yang harus kuupayakan sekarang adalah bagaimana caranya agar perasaan ini kusisihkan sebagian untuk kepentingan harga diri. Tidak mudah memang tapi tidak ada salahnya untuk diupayakan.
          Beberapa kali aku absen di pertemuan rutin, anggap saja ini salah satu upaya. Di kamar tiga kali empat ini, aku menghabiskan waktu dengan menghayal dan setiap beberapa menit kulirik jam dinding yang terletak di salah satu sisi ruangan “pukul tujuh. Seharusnya sekarang aku sudah siap-siap untuk diskusi di sekret”, kataku sambil menutup wajah dengan guling. Lamunanku buyar, seseorang mengetuk pintu kamar sambil meneriakkan namaku. Salah seorang teman sebelah kamar memberitahu bahwa seseorang mencariku dan sekarang menunggu di depan. Siapa pula teman yang datang tanpa mengabari terlebih dahulu, keluhku dalam hati.
          Di teras kudapati kak Anjas berdiri membelakangiku. “eh pak ketua, selamat malam, ada yang bisa dibantu”, sapaku dengan senyum senang yang sekuat mungkin kurapikan di dasar. “ingin menjemput anggota pemalas yang jam segini masih enak-enakan di dalam kamar”, katanya sembari berbalik dan menghujatku dengan tatapan menantang. “maaf kanda, belakangan aku jenuh, bosan berlama-lama di sekret. Suasana di kos jauh membuatku lebih tenang dan nyaman”, aku menunduk dengan pandangan lesuh, percakapan singkat ini membuat kakiku berat, berada di posisiku sangat tidak menyenangkan saat ini. “belakangan aku juga jenuh, bosan berlama-lama di sekret. Setelah menyadari bahwa suasana di kos jauh membuatmu lebih tenang dan nyaman”. Kakiku kehilangan daya, secepatnya kucari sandaran yang bisa menguatkanku, kak Anjas mengikuti langkahku untuk mengambil tempat duduk di sebuah bangku kayu persis di sebelahku.
          Sebisa mungkin kuperlihatkan respon yang biasa-biasa saja tapi percuma, kak Anjas menyadari perubahan air mukaku yang tak biasa-biasa. “aku tahu apa yang kau rasakan sekarang, kau sakit, bukan! Jelas kau sakit, sesuatu yang seharusnya kau bagi sejak awal malah kau miliki sendiri. Kau egois, mencintai diri sendiri. Kau bodoh, berusaha mematikan sesuatu yang sebelumnya tumbuh dengan indah. Lihatlah apa yang terjadi sekarang, vaksin yang kau ciptakan telah menjadi racun, mematikan semua saraf kepekaanmu. Kau sempurna kalah”.
          Aku terpojok. Apapun yang terjadi, diam tak bisa menyelamatkanku. “cukup kak, aku memang bodoh sebab aku hanyalah seorang pemimpi, penghayal, dan hanya bisa berharap. Pasif. Tapi tolong jangan menghujatku dengan kata egois, karena selama ini aku mencintai dalam diam, berharap kelak dia akan menjadi seorang sahabat. Sederhana, bukan? Sahabat yang jauh lebih memahami, mengenal, dan melengkapi satu sama lain. Bukankah sahabat jauh lebih mengerti dari siapa pun? Aku ingin menjadi sahabat terbaik untuknya, entah hari ini, besok, dan seterusnya. Mendampingi dengan predikat sahabat terbaik, mendampingi sampai ke sebuah puncak pengharapan yang nyata”. Beban itu mengalir bersama air mata. Jelas mereka sama-sama memahami situasi yang terjadi. Perkara selesai.
          “mulai hari ini kita akan bersahabat”, katanya sambil bersandar di pundakku. Perkara belum selesai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar