Sabtu, 19 November 2016

Resensi Novel Nagabumi I Karya Seno Gumira AjidarmaJurus tanpa Bentuk

Judul : Nagabumi I
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : 2009
ISBN : 978-979-22-5014-5
Sinopsis
Setelah sekian lama menghilang dari dunia persilatan, pendekar tanpa nama kembali terusik di usianya yang telah menginjak seratus tahun. Peristiwa itu sudah berlangsung lima puluh tahun yang lalu ketika ia membantai seratus pendekar dari golongan putih, golongan hitam, dan golongan merdeka di bukit karang pada malam purnama. Setelah dua puluh lima tahun menjauh dari keramaian dan hanya melakukan Samadhi, malam itu ia tahu lebih dari dua puluh orang telah mengetahui keberadaannya. Orang-orang itu melakukan penyerangan namun satu demi satu dari mereka tumpas dengan serangan Jurus Tanpa Bentuk, jurus yang menyerang pikiran.
Titik terang dari pencariannya adalah ketika ia menemukan sebuah selebaran yang memperlihatkan bahwa dirinya ternyata adalah seorang buronan yang dianggap berhianat terhadap negara. Dan siapa pun yang dapat menangkapnya baik dalam keadaan hidup ataupun mati akan mendapatkan sejumlah bayaran seribu keeping emas dari kerajaan. Kejadian itu memaksanya unutk kembali mengingat berbagai kejadian di masa lalu untuk mencari tahu kembali tentang dirinya yang menjadi buron setelah beberapa waktu yang telam lama berlalu.
Setelah dua puluh lima tahun pertama ia menyatukan diri dengan kehidupan masyarakat awam, pendekar Tanpa Nama menemukan permainan kekuasaan atas dasar kekuasaan berlandaskan kepercayaan di Yavabhumipala. Ditemukannya sebuah pertunjukan tari topeng yang menyudutkan dirinya, dikatakan bahwa ia menyebarkan ajaran rahasia untuk menghina agama. Keberadaannya digunakan Negara sebagai sebuah pengalihan dari persaingan antara Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra, pertarungan kekuasaan yang membawa pula pengaruh agama.
Sebenarnya ia tidak lagi ingin terlibat dengan perkelahian, namun keadaan selalu saja memaksanya untuk melakukan perlawanan bahkan sampai membunuh. Berbagai usaha telah dilakukannya mulai dari menyamar sebagai tukang batu sampai menjadi seorang pembuat lontar. Dari pekerjaan itulah ia berusaha kembali mengingat masa lalunya dengan menuliskan kisahnya pada berlembar-lembar daun lontar.
Cerita itu diawali dengan ceritanya yang memutuskan untuk melakukan pengembaraan setelah mengetahui bahwa ternyata kedua orang tuanya ternyata bukanlah seorang orang tua kandung. Sepasang Pendekar dari Celah Klidug inilah yang mendidiknya dari awal, yang memutuskan untuk mencari kehormatan dengan mencari lawan dan tak pernah kembali lagi. Dalam pengembaraan itulah hidup  Pendekar Tanpa Nama bersinggungan dengan Sang Naga Hitam, pendekar golongan hitam dari telaga dunia persilatan. Meski satu persatu murid Naga Hitam berhasil dikalahkannya, namun kemampuannya masih terlalu dasar untuk menghadapi Naga Hitam. Oleh karena itu ia memutuskan untuk melatih diri selama sepuluh tahun. Dengan olah pernapasan, kemampuan meringankan tubuh dengan bantuan tenaga dalam, sampai mengembangkan ilmu-ilmu silat dengan membaca kitab dan pelajaran melalui pertandingan langsung, sedikit demi sedikit Pendekar Tanpa Nama menguasai berbagai ilmu silat selain ilmu yang diwariskan oleh kedua orang tua angkatnya, bahkan ia menguasai ilmu hitam pemberian Raja Pembantai dari Selatan ketika ia berhasil mengalahkannya. Meski ia belum pernah terkalahkan namun keyakinannya selalu sama bahwa di atas langit masih ada langit.
Di perjalanannya, Pendekar Tanpa Nama juga dipertemukan dengan Harini, perempuan cantik dan cerdas yang lebih tua lima tahun namun telah menjadi teman diskusi yang juga mengajarkannya tentang ilmu kamasutra. Namun karena kecantikannya, suatu hari ia diculik oleh pengawal istana yang kebetulan melintas, meski dapat diselamatkan namun setelahnya Harini mengalami traumatik yang dalam. Menyelamatkan Harini membuat Pendekar Tanpa Nama berurusan dengan pemerintah. Demi keselamatan warga ia memutuskan untuk menyerahkan diri meskipun di tengah perjalanan ia bisa meloloskan diri. Mempertimbangkan keselamatan warga dan keinginannya untuk berkelana Pendekar Tanpa Nama memutuskan untuk tidak lagi kembali ke desa itu.
Akhirnya ia menyamar menjadi orang biasa untuk dapat mendapatkan pakaian, ia membantu orang-orang pembawa sima yang lagi-lagi ingin dicelakakan beberapa orang demi kepentingan pemerintahan. Tidak hanya itu, usaha pendirian candi, peralihan dari kepercayaan Siva menjadi Mahayana juga tidak terlepas dari intrik kekuasaan.
Sembari menuliskan kisahnya, ia berkenalan dengan seorang anak lelaki yang terlihat berbeda dari anak seusianya, ia cerdas dan ingin belajar. Membuat keduanya dekat. Sampai di akhir cerita, salah seorang lawannya memanfaatkan keberadaan Nawa untuk memaksa Pendekar Tanpa Nama menyerahkan diri.
Seno Gumira Ajidarma adalah pencerita sejarah yang menceritakan sejarah bangsa dari sudut pandang kaum tertindas dan novel Nagabumi I adalah apa yang akan kita sebut sebagai dongeng yang benar-benar hidup. Membacanya seperti halnya ketika kau bermimpi tanpa pernah menginginkan bangun.
“Begitulah, meskipun aku sendirian saja, sebenarnyalah aku tidak pernah merasa kesepian, karena segala sesuatunya dalam pandanganku bisa hadir sebagai suatu makna (halaman 16).

Resensi Novel Mati Bahagia

Judul : Mati Bahagia
Judul Asli : La mort heureuse
Penulis : Abert Camus
Penerjemah : Widya Mahardika Putra
Penerbit : OAK
Tahun Terbit : 2016
Tebal Buku : 238 halaman
ISBN :978-602-72536-4-3
Sinopsis
Pagi yang dingin di bulan April Patrice Mersault berjalan mantap menuju villa Zagreus hanya untuk menarik pelatuk sebuah revolver, menyaksikan isi kepala Zagreus berserakan, memastikan bahwa ia bahagia, dan pulang untuk tidur sampai sore dalam keadaan demam.
Dalam perjalanannya ke berbagai tempat, bertemu dengan beberapa perempuan, memiliki kekasih yang mungkin ia cintai; marthe dan seorang istri yang tidak ia cinta yaitu Lucienne, serta mengunjungi sahabat-sahabatnya di Aljazair menyadarkannya bahwa kebahagian hadir atas ketidakpeduliannya terhadap dunia.
Bagaimana mungkin tokoh dalam novel ini begitu liar namun tetap tenang dalam satu garis cerita yang jelas jika novel ini ditulis oleh Camus di usia dua puluhan awal? Membacanya seolah sang penulis ingin menyeret pembaca dalam situasi “mati bahagia” yang ideal, mati atas kehendak, dengan cara yang dikehendaki. Mungkin ini juga tidak terlepas dari fakta bahwa novel ini merupakan novel pertama namun pempublikasiaannya justru terealisasi ketika Camus telah meninggal.
“Aku ingin menikah, bunuh diri, atau berlangganan L’Illustratio. Aku putus asa, intinya” (halama 58).