Kamis, 16 Januari 2014

Kritik Ekspresif Abrams



ANALISIS KRITIK SASTRA EKSPRESIF  NOVEL LARUNG KARYA AYU UTAMI
Oleh
Kartini (1251141024)

Pendahuluan
1.        Latar Belakang
Yang paling banyak dibahas dalam studi sastra adalah latar (setting), lingkungan (environment) dan hal-hal yang bersifat eksternal. Metode ekstrinsik ini tidak terbatas pada studi tentang sastra lama, tetapi juga dapat diterapkan pada kesusastraan modern. Faktor-faktor sejarah dan lingkungan memang bisa dianggap ikut membentuk karya sastra. Tetapi permasalahan yang nyata baru terlihat kalau kita menilai, membandingkan, dan memilah-milah setiap faktor yang diduga menentukan karya seni (Wellek & Warren, 1995:79)
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaanpikirannya(http://goesprih.blogspot.com/2008/02/kritikSastra.html), diunduh 22 Desember 2013.

Adapun beberapa ciri teori kritik ekspresif menurut Abrams ialah
-            Lebih menitikberatkan pada pengarang
-            Melihat sastra lebih dekat hubugannya dengan kajian biografis
-            Pengarang memiliki peranan penuh terhadap karya yang dibuatnya
-            Sastra dinilai tidak pernah lepas dari manifesto pengarang
-           Fokus utamanaya tidak berupa diri si pengarang, melainkan juga ide, pikiran, perasaan, dan ciptaan dari pengarang
-            Memungkinkan dikoloborasikan dengan teori yang lain, misalnya postkolonial

2.        Analisis Kritik Sastra Ekspresif
Beberapa kutipan dalam novel Larung

“ Yasmin, sebagai pengacara dan aktivis hak asasi manusia, ikut memprotes pembrendelan itu. Ia ikut dalam aksi-aksi bersama dengan kawan-kawan wartawan yang membikin Aliansi Jurnalistik Indonesia”

Penulis mampu mengekspresikan dengan baik situasi yang terjadi pada masa orde baru dan menempatkan diri dalam sebuah aksi kebebasan informasi, hal itu dilatarbelakangi oleh profesinya sebagai wartawan pada era Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988). Selain itu, ia juga terlibat dalam aktivitas perjuangan kebebasan informasi yang berseberangan dengan pemerintah. Saat itu yang membuat ia dan temannya kena hukum. Beberapa temannya sempat masuk penjara, sementara ia dipecat dari media tempatnya bekerja.

“Anak itu ditangkap di sebuah diskotek dengan tuduhan membawa bubuk ganja. Dia memang cantik dan tak heran polisi-polisi itu tergiur padanya. Salah seorang membujuk dia untuk bersetubuh dengan janji akan meringankan berita acaranya. Dalam keadaan tak berdaya tentu saja dia menurut. Tapi kemudian anak itu diperkosa secara bergantian oleh lima orang yang berjaga malam itu dengan cara yang amat merendahkan martabat”

Penulis mampu mengekspresikan diri sebagai seorang yang amat resah dengan keadilan yang ada di negeri ini. Itu disebabkan karena ketika menjadi jurnalis dan novelis, ia mengaku sering sekali menulis karena gelisah atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.

“Malam ini, please Laila, malam ini aja, persetan dengan laki-laki. Apalagi yang udah kawin,” pinta Cok. Lalu ia tertawa geli terhadap diri sendiri. “Ya, gue bisa bilang begitu karena gue udah tidur dengan entah berapa lelaki. Perawan, lakor, duda. Sampe kadang capek. Hubungan-hubungan pendek membikin kita yakin bahwa cinta dan seks itu nggak istimewa amat”.
Penulis mampu mengekspresikan diri sebagai seseorang yang menganggap seks sebagai perbincangan yang tak lagi tabu bagi seorang perempuan. Ayu kembali mengatakan hal itu karena ketidakadilan pada perempuan. Dijelaskannya, buat laki-laki seks terlihat gampang, tapi bagi perempuan, problemnya lebih nyata sehingga harus lebih berani bicara soal seksualitasnya.

“Di antara kami berempat, sayalah yang tidak pernah tahu bersetubuh, juga pada usia tiga puluh”
Penulis mampu mengekspresikan diri sebagai seseorang yang tidak menganggap penting sebuah pernikahan dalam karakter Laila. Hal ini sejalan dengan pilihannya yang belum menikah hingga di usianya yang kepala empat ini. Penulis ingin membuktikan bahwa wanita yang tidak menikah adalah wanita yang juga sempurna.

Sumber:
Utami, Ayu. 2001. Larung. Jakarta: Gramedia
Wellek, Renne & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar