ANALISIS KRITIK SASTRA EKSPRESIF NOVEL LARUNG KARYA AYU UTAMI
Oleh
Kartini (1251141024)
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Yang paling banyak dibahas dalam studi sastra adalah
latar (setting), lingkungan (environment) dan hal-hal yang bersifat eksternal. Metode
ekstrinsik ini tidak terbatas pada studi tentang sastra lama, tetapi juga dapat
diterapkan pada kesusastraan modern. Faktor-faktor sejarah dan lingkungan
memang bisa dianggap ikut membentuk karya sastra. Tetapi permasalahan yang
nyata baru terlihat kalau kita menilai, membandingkan, dan memilah-milah setiap
faktor yang diduga menentukan karya seni (Wellek & Warren, 1995:79)
Kritik ekspresif menitikberatkan pada
pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra
merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan
perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba
karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin
pengarang/keadaanpikirannya(http://goesprih.blogspot.com/2008/02/kritikSastra.html),
diunduh 22 Desember 2013.
Adapun
beberapa ciri teori kritik ekspresif menurut Abrams ialah
-
Lebih menitikberatkan
pada pengarang
-
Melihat sastra lebih
dekat hubugannya dengan kajian biografis
-
Pengarang memiliki
peranan penuh terhadap karya yang dibuatnya
-
Sastra dinilai tidak
pernah lepas dari manifesto pengarang
- Fokus utamanaya tidak berupa diri si
pengarang, melainkan juga ide, pikiran, perasaan, dan ciptaan dari pengarang
-
Memungkinkan dikoloborasikan dengan
teori yang lain, misalnya postkolonial
2.
Analisis Kritik Sastra Ekspresif
Beberapa kutipan dalam novel Larung
“ Yasmin,
sebagai pengacara dan aktivis hak asasi manusia, ikut memprotes pembrendelan
itu. Ia ikut dalam aksi-aksi bersama dengan kawan-kawan wartawan yang membikin
Aliansi Jurnalistik Indonesia”
Penulis
mampu mengekspresikan dengan baik situasi yang terjadi pada masa orde baru dan
menempatkan diri dalam sebuah aksi kebebasan informasi, hal itu
dilatarbelakangi oleh profesinya sebagai wartawan pada era Presiden Republik
Indonesia Kedua (1966-1988). Selain itu, ia juga terlibat dalam aktivitas perjuangan
kebebasan informasi yang berseberangan dengan pemerintah. Saat itu yang membuat
ia dan temannya kena hukum. Beberapa temannya sempat masuk penjara, sementara
ia dipecat dari media tempatnya bekerja.
“Anak itu ditangkap di sebuah diskotek dengan tuduhan membawa bubuk ganja. Dia
memang cantik dan tak heran polisi-polisi itu tergiur padanya. Salah seorang
membujuk dia untuk bersetubuh dengan janji akan meringankan berita acaranya.
Dalam keadaan tak berdaya tentu saja dia menurut. Tapi kemudian anak itu
diperkosa secara bergantian oleh lima orang yang berjaga malam itu dengan cara
yang amat merendahkan martabat”
Penulis
mampu mengekspresikan diri sebagai seorang yang amat resah dengan keadilan yang
ada di negeri ini. Itu disebabkan karena ketika menjadi jurnalis dan novelis,
ia mengaku sering sekali menulis karena gelisah atas ketidakadilan yang terjadi
di negeri ini.
“Malam ini,
please Laila, malam ini aja, persetan dengan laki-laki. Apalagi yang udah
kawin,” pinta Cok. Lalu ia tertawa geli terhadap diri sendiri. “Ya, gue bisa
bilang begitu karena gue udah tidur dengan entah berapa lelaki. Perawan, lakor,
duda. Sampe kadang capek. Hubungan-hubungan pendek membikin kita yakin bahwa
cinta dan seks itu nggak istimewa amat”.
Penulis
mampu mengekspresikan diri sebagai seseorang yang menganggap seks sebagai
perbincangan yang tak lagi tabu bagi seorang perempuan. Ayu kembali mengatakan
hal itu karena ketidakadilan pada perempuan. Dijelaskannya, buat laki-laki seks
terlihat gampang, tapi bagi perempuan, problemnya lebih nyata sehingga harus
lebih berani bicara soal seksualitasnya.
“Di antara
kami berempat, sayalah yang tidak pernah tahu bersetubuh, juga pada usia tiga
puluh”
Penulis
mampu mengekspresikan diri sebagai seseorang yang tidak menganggap penting
sebuah pernikahan dalam karakter Laila. Hal ini sejalan dengan pilihannya yang
belum menikah hingga di usianya yang kepala empat ini. Penulis ingin
membuktikan bahwa wanita yang tidak menikah adalah wanita yang juga sempurna.
Sumber:
Utami, Ayu.
2001. Larung. Jakarta: Gramedia
Wellek, Renne & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia