Kamis, 18 Maret 2021

SEBELUM KAMI MENIKAH, DIAM-DIAM AKU MENULIS CATATAN INI UNTUKNYA

Suatu waktu kenalan saya yang baik hati pernah berkata, “Menikah itu bukan lomba lari, tapi lomba memanah. Bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tepat”. Tentu saja yang mendengarnya akan terbius, apalagi saya, jangan ditanya lagi, mabok saya. Terlebih situasinya sedang pas, pacar yang sudah terlanjur dikenalkan ke orang tua, menjelma jadi mantan untuk selanjutnya menjadi suami dan ayah melalui jalur akselerasi. Jelas dia bukan orang yang tepat—urusan selesai.

Tapi bukan di situ letak intinya, pasalnya setelah itu akan ada hari di mana saya menyisihkan waktu pada malam menuju dini hari untuk merenung, bertanya pada dinding kamar tentang kapan dan dengan siapa “waktu yang tepat” itu. Sampai pada akhirnya saya memilih kalem dan memutuskan untuk kembali ke pelarian terbaik yaitu buku.

Singkat cerita bulan Juni kemarin, saya mendapat hadiah buku dari seorang teman, One Hundred Years of Solitude—Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, peraih hadiah Nobel Sastra 1982. Karya Gabo ini benar-benar membuat saya sembuh, setidaknya saya belajar kalem lewat karakter Amaranta yang melepas Aureliano Jose karena moral dan melupakan Kolonel Gerineldo Marquez dengan rasa takut yang tak bisa ditaklukkan. Kupikir ini adalah fase terbaik dalam hidup, menyerah pada keadaan bukanlah opsi yang buruk. Istirahat dari hubungan yang selalu jadi racun itu keren, juga berhenti menghamba pada malam minggu adalah prestasi.


Tidak lama setelah memutuskan pasrah, Tuhan tiba-tiba menempatkan saya pada unforgetable experience. Bayangkan, seorang laki-laki asing melamarmu karena kehendak orang tuanya dan kamu tak punya pilihan lain selain menerimanya dan berkata “iya” karena orang tuamu hanya menyiapkan opsi itu. Lalu apa yang harus saya lakukan? Pasrah? Menurut kalian?

Kamu tahu, laki-laki pilihan takdir ini, sebenarnya cukup familiar. Hanya saja, berlebihan untuk dikatakan akrab. Dalam artian, informasi tentang dia hanya melekat sekenanya di kepala dan selebihnya hanya berupa tempelan-tempelan asal nan acak. Ia baik, saya tahu itu makanya beberapa kali saya sempat insecure. Kok dia mau sama saya? Yang lebih suka nonton Blackpink daripada tayangan Najwa Shihab, yang kalau lapar lebih memilih tidur daripada makan, yang punya cita-cita tinggal di bukit sambil berkebun ganja dan pelihara dinosaurus. Kok bisa? Sejujurnya ingin kutanyakan itu tapi takut kalau dijawab, “Iya saya terpaksa” huhuhu.

Setelah memberi kesempatan kepada kepala untuk berpikir dan kepada empati untuk mengambil keputusan, memilih menjadi calon istri yang inisiatif adalah jalan keluar yang tidak ada salahnya untuk dicoba. Membuka hati memang tak semudah membuka tutup botol tapi juga tak sesulit membuka lapangan kerja berbasis komunal, kan ya? Demikianlah komunikasi mulai terbangun, kami bertukar informasi mengenai profil masing-masing, sesekali melempar candaan, hingga sedikit-sedikit menyenggol pembahasan perjanjian pra-nikah. Jika ingin disebut taaruf kupikir tidak juga, lagian itu terlalu #dindarey.

Tanpa melempar pertanyaan, “tipe istri idaman kamu seperti apa?”, saya menemukan poin itu, alasan sederhana yang bisa membuatku simpatik. Maaf jika ini terdengar bullshit, tapi laki-laki ini sederhana dalam bertutur, namun nyata dalam tindakan. Sepertinya ia bergerak dengan pertimbangan, hati-hati cenderung menghargai, dan yang pasti saya membuka diri tanpa harus mendengar janji akan dinikahi tahun depan terlebih dahulu. Hahaha.


Nah, dengan keluarnya argumen ini, kupikir sudah waktunya untuk berhenti menonton siaran suara hati istri. Pada bagian pernikahan karena perjodohan, hanya perempuannya saja yang benar cinta sementara Si suami masih menjalin hubungan dengan mantan, lalu semuanya berjalan serba dramatis. Amaranta tidak begitu, ia logis dan serba tepat. Tapi saya juga tidak ingin seperti Amaranta yang angkuh tanpa kekasih bahkan menyiapkan sendiri pakaian di hari kematiannya. Jika Amaranta serba tepat kecuali dalam hal menentukan ingin menikah atau tidak, saya ingin menjadi sebaliknya: payah dalam memilih pasangan, namun tepat telah percaya pada pilihan orang tua.

Takut tulisan ini menjadi panjang dan membosankan untuk dibaca, sepertinya penting untuk mengakhiri. Biasanya di bagian ini akan ada harapan. Sayangnya, belum ada harapan untuk kusampaikan. Bukan, bukan karena harapan hanya memperpanjang derita manusia seperti kata Nietzsche, hanya saja saya takut ini terdengar cengeng. Kalau cengeng begini, bagaimana bisa jadi istri yang keren nantinya? Lagian, tidak menyebutkan bukan berarti tidak punya.

Menutup tulisan ini, kepada laki-laki yang sebentar lagi menjadi pendampingku, terima kasih sudah memilih perempuan yang sempat patah dan mungkin belum sembuh ini. Tapi kamu harus tahu bahwa kamu hanya butuh sedikit usaha lagi untuk membuatku benar-benar jatuh cinta.

Pernah dimuat dalam epigram.or.id, 26 September 2020

http://epigram.or.id/2020/09/26/sebelum-kami-menikah-diam-diam-aku-menulis-catatan-ini-untuknya/

Selasa, 06 Februari 2018

Cerita Tentang Pihak Tertentu yang Melaporkan Buku Tertentu

Baru-baru ini obrolan di sebuah grup, tempat teman-teman biasa menginfokan seputar dunia kesusastraan dibuat heran dengan pemberitaan yang beredar.
Pihak tertentu melaporkan buku yang dinilai berkonten pornografi ke pihak tertentu. Sampel buku “Perempuan Bernama Arjuna”karangan Remy Silado itu diambil dari Perpustakaan sekolah tertentu, di sebuah provinsi tertentu pula.
Kurang lebih begitulah garis besarnya. Pasalnya, mereka merasa lucu karena menurut hemat masing-masing, masih ada, bahkan masih banyak buku-buku jenis lain yang lebih vulgar sekaligus frontal.
Sambil menyumbang komentar judul buku, satu persatu menyelipkan emoticon tertawa sampai keluar air mata. Mungkin mereka membayangkan ketika semua buku-buku yang dimaksud dibaca oleh pihak tertentu, maka habislah sudah buku-buku terbaik di negeri ini karena disita pihak- pihak tertentu.
Menebak perspektif pihak tertentu, izinkan saya memberi penjelasan singkat kenapa berita ini mungkin terdengar seperti lelucon
Karya sastra adalah cerminan realitas
Melalui konsep mimesis, Plato menjelaskan bahwa karya sastra adalah murni tiruan. Sementara Aristoteles menyertakan proses kreatif di dalamnya.
Kita paham bahwa hidup tidak hanya ada warna putih, dan setiap jengkal sisi kehidupan sangat sayang untuk dilewatkan tanpa menuliskannya. Ini karena karya sastra juga berperan sebagai dokumen sejarah.
Apa jadinya kalau dunia penerbitan juga punya lembaga sensor? Tidak menutup kemungkinan, nikmat membaca kita akan turut tercabut.
Jika buku yang dimaksud mengandung konten pornografi, kenapa pihak tertentu tidak pernah berpendapat demikian? Mungkin jawabannya karena ini hanyalah persoalan sudut pandang.
Bagaimana orang-orang menafsirkan seks
Wajar jika selama ini kita bersepakat bahwa seks adalah pornografi dan pornografi sebatas seksualitas, serta wacana seksualitas hanya diselimuti tindak kejahatan. Ini adalah gejala hiperealitas.
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Berlari menuliskan, “Layaknya karya seni, seks mengubah cara kita melihat relasi diri kita sendiri, orang lain, dan dunia dalam konteks kehidupan bersama, khususnya ” Relasi seksual”. Dengan kata lain, seks adalah “seni” membangun dunia bermakna bersama orang lain”.
Perkembangan bentuk-bentuk hubungan seks yang baru di dalam ruang-ruang virtual telah mengubah “relasi seksual” itu sendiri, baik dalam konteks geografi, temporalis, spasial, psikis, sosial, dan kultural.
Ketika kita melihatnya dari satu sisi saja, jangan heran jika pandangan kita hanya menyentuh wilayah umum. Aktivitas seks terlepas dari fitrahnya karena penyebarannya melalui ruang-ruang virtual. Tidak pernah sama sekali kita mendengar orang hornysambil membaca buku.
Bagaimana dunia ditafsirkan
Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Ricoeur, dunia yang diproyeksikan melalui teks bergantung pada bagaimana teks itu ditafsirkan. Sedangkan teks dapat ditafsirkan dengan cara yang bermacam-macam.
Sebuah interpretasi merupakan konstruksi makna dan formulasi dari apa yang dikatakan dalam wacana, memunculkan klaim kebenaran yang menuntut pengakuan.
Pada dasarnya, sebuah penafsiran selalu datang dari pengalaman dan hasil pembacaan masing-masing. Selama hal tersebut masih disadari, maka tidak ada salahnya untuk menghormati cara setiap individu mau pun kelompok dalam menafsirkan teks.
Buku tertentu untuk pembaca tertentu.
Dalam ranah kesusastraan, dikenal istilah pembabakan, dikenal pula istilah pembacaan zaman. Bagi pihak-pihak tertentu, tidak satu pun pembabakan harus dilewatkan.
Ini dalam artian, membaca zaman adalah tugas negara, sama wajibnya dengan memberi penghormatan ketika bendera dikibarkan.
Bahkan, sebelum hari ini, kita diperkenalkan dengan genre stensilan oleh Fredy S, sebuah bacaan yang dianggap menyelipkan unsur pornografi. Bacaan ini juga pernah popular pada masanya meski tak pernah sampai dilaporkan.
Tawaran solusi
Jika proses hukum yang dimaksud mengarah pada pihak yang meloloskan buku tersebut ke sekolah, maka tidak jadi masalah. Tapi bagaimana jika proses hukum mengarah pada Si penulis dan penerbit?
Solusinya, silakan tarik buku-buku tersebut dari perpustakaan sekolah, karena memang buku yang dimaksud belum bisa dimaknai sebagai ‘pelajaran hidup’ bagi individu yang selama ini hanya menamatkan buku-buku LKS.
Ketika buku-buku yang beredar diidentifikasi satu satu lantas ditemukan unsur pornografi, buku tersebut kemudian disita, dihentikan penyebarannya. Apakah iya, kasus kejahatan seksual akan surut?
Sementara yang memegang peran penting dalam penyebaran hal-hal yang dianggap negatif justru lebih banyak berasal dari layar ponsel yang dihubungkan ke internet.
Mari belajar lebih legowo dalam menghadapi zaman. Atas dasar apa pun, menghakimi tidak pernah dibenarkan oleh semua aturan, hukum, termasuk oleh agama.
Pernah dimuat di: http://porosmaju.com, 6 Februari 2018
http://porosmaju.com/berkhas/cerita-tentang-pihak-tertentu-yang-melaporkan-buku-tertentu/

Selasa, 27 Desember 2016



RESENSI BUKU ABC ANARKISME
Identitas Buku
Judul              : ABC Anarkisme “Anarkisme untuk Pemula”
Penulis            :Alexander Berkman
Tahun Terbit :2016
Penerbit          : Daun Malam
Tebal              :254 Halaman
Sinopsis
            Anarki, anarkisme, komunis, dan anarkisme komunis adalah apa yang sering muncul di paradigma masyarakat sebagai konotasi dari segala hal yang mewakili pemberontakan dengan kepala kosong dan dengan jalan kekerasan. Padahal tindakan anarkisme dengan kekerasan adalah sebuah ekspresi dari tempramen individu, dan bukan berasal dari teori yang khusus. Kata anarki datang dari Yunani, bermakna tanpa kekuatan, tanpa kekerasan atau pemerintah, karena pemerintah adalah sumber dari kekerasan, pembatasan, dan koersi.
            Berkman mengemukakan bahwa sebenarnya pola hidup ideal keseharian kita tidak membutuhkan pemerintah. Masalah yang muncul kemudian hanyalah apa yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dan ketidakadilan sosial dan pemerintah menanggapi hal demikian dengan hukuman (memenjarakan) padahal yang harus dilakukan hanyalah menangani sebab-sebabnya, sementara pemerintah ada untuk memelihara sebab-sebab tersebut.Semua kondisi seperti itu, di mana terdapat kebebasan dan bukan pemerintah adalah anarki. Dan kondisi di mana persamaan penggunaan akan menggantikan kepemilikan pribadi adalah komunisme. Ia bernama anarkisme komunis. Buku ini menawarkan pembelajaran dasar tentang anarkisme dengan jalan terang tanpa basa-basi, dengan sabar dan teliti, Berkman selangkah demi selangkah menyadarkan kita bahwa yang kita butuhkan adalah revolusi.
Revolusi adalah pemberontakan yang sadar akan tujuannya (halaman 111)


Jumat, 23 Desember 2016

Rumah (3)

sllu ada rumah utkmu pulang dgn satu ruang tamu
tempat mampir secukupnya
berkabar seadanya

Ruang tamu. sewajarnya, ada satu jendela dan satu pintu berdampingan seperlunya. Seperti kita.

Rumah. Seperti katamu, selalu punya jalannya sendiri utk
menamai diri.

Sabtu, 19 November 2016

Resensi Novel Nagabumi I Karya Seno Gumira AjidarmaJurus tanpa Bentuk

Judul : Nagabumi I
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : 2009
ISBN : 978-979-22-5014-5
Sinopsis
Setelah sekian lama menghilang dari dunia persilatan, pendekar tanpa nama kembali terusik di usianya yang telah menginjak seratus tahun. Peristiwa itu sudah berlangsung lima puluh tahun yang lalu ketika ia membantai seratus pendekar dari golongan putih, golongan hitam, dan golongan merdeka di bukit karang pada malam purnama. Setelah dua puluh lima tahun menjauh dari keramaian dan hanya melakukan Samadhi, malam itu ia tahu lebih dari dua puluh orang telah mengetahui keberadaannya. Orang-orang itu melakukan penyerangan namun satu demi satu dari mereka tumpas dengan serangan Jurus Tanpa Bentuk, jurus yang menyerang pikiran.
Titik terang dari pencariannya adalah ketika ia menemukan sebuah selebaran yang memperlihatkan bahwa dirinya ternyata adalah seorang buronan yang dianggap berhianat terhadap negara. Dan siapa pun yang dapat menangkapnya baik dalam keadaan hidup ataupun mati akan mendapatkan sejumlah bayaran seribu keeping emas dari kerajaan. Kejadian itu memaksanya unutk kembali mengingat berbagai kejadian di masa lalu untuk mencari tahu kembali tentang dirinya yang menjadi buron setelah beberapa waktu yang telam lama berlalu.
Setelah dua puluh lima tahun pertama ia menyatukan diri dengan kehidupan masyarakat awam, pendekar Tanpa Nama menemukan permainan kekuasaan atas dasar kekuasaan berlandaskan kepercayaan di Yavabhumipala. Ditemukannya sebuah pertunjukan tari topeng yang menyudutkan dirinya, dikatakan bahwa ia menyebarkan ajaran rahasia untuk menghina agama. Keberadaannya digunakan Negara sebagai sebuah pengalihan dari persaingan antara Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra, pertarungan kekuasaan yang membawa pula pengaruh agama.
Sebenarnya ia tidak lagi ingin terlibat dengan perkelahian, namun keadaan selalu saja memaksanya untuk melakukan perlawanan bahkan sampai membunuh. Berbagai usaha telah dilakukannya mulai dari menyamar sebagai tukang batu sampai menjadi seorang pembuat lontar. Dari pekerjaan itulah ia berusaha kembali mengingat masa lalunya dengan menuliskan kisahnya pada berlembar-lembar daun lontar.
Cerita itu diawali dengan ceritanya yang memutuskan untuk melakukan pengembaraan setelah mengetahui bahwa ternyata kedua orang tuanya ternyata bukanlah seorang orang tua kandung. Sepasang Pendekar dari Celah Klidug inilah yang mendidiknya dari awal, yang memutuskan untuk mencari kehormatan dengan mencari lawan dan tak pernah kembali lagi. Dalam pengembaraan itulah hidup  Pendekar Tanpa Nama bersinggungan dengan Sang Naga Hitam, pendekar golongan hitam dari telaga dunia persilatan. Meski satu persatu murid Naga Hitam berhasil dikalahkannya, namun kemampuannya masih terlalu dasar untuk menghadapi Naga Hitam. Oleh karena itu ia memutuskan untuk melatih diri selama sepuluh tahun. Dengan olah pernapasan, kemampuan meringankan tubuh dengan bantuan tenaga dalam, sampai mengembangkan ilmu-ilmu silat dengan membaca kitab dan pelajaran melalui pertandingan langsung, sedikit demi sedikit Pendekar Tanpa Nama menguasai berbagai ilmu silat selain ilmu yang diwariskan oleh kedua orang tua angkatnya, bahkan ia menguasai ilmu hitam pemberian Raja Pembantai dari Selatan ketika ia berhasil mengalahkannya. Meski ia belum pernah terkalahkan namun keyakinannya selalu sama bahwa di atas langit masih ada langit.
Di perjalanannya, Pendekar Tanpa Nama juga dipertemukan dengan Harini, perempuan cantik dan cerdas yang lebih tua lima tahun namun telah menjadi teman diskusi yang juga mengajarkannya tentang ilmu kamasutra. Namun karena kecantikannya, suatu hari ia diculik oleh pengawal istana yang kebetulan melintas, meski dapat diselamatkan namun setelahnya Harini mengalami traumatik yang dalam. Menyelamatkan Harini membuat Pendekar Tanpa Nama berurusan dengan pemerintah. Demi keselamatan warga ia memutuskan untuk menyerahkan diri meskipun di tengah perjalanan ia bisa meloloskan diri. Mempertimbangkan keselamatan warga dan keinginannya untuk berkelana Pendekar Tanpa Nama memutuskan untuk tidak lagi kembali ke desa itu.
Akhirnya ia menyamar menjadi orang biasa untuk dapat mendapatkan pakaian, ia membantu orang-orang pembawa sima yang lagi-lagi ingin dicelakakan beberapa orang demi kepentingan pemerintahan. Tidak hanya itu, usaha pendirian candi, peralihan dari kepercayaan Siva menjadi Mahayana juga tidak terlepas dari intrik kekuasaan.
Sembari menuliskan kisahnya, ia berkenalan dengan seorang anak lelaki yang terlihat berbeda dari anak seusianya, ia cerdas dan ingin belajar. Membuat keduanya dekat. Sampai di akhir cerita, salah seorang lawannya memanfaatkan keberadaan Nawa untuk memaksa Pendekar Tanpa Nama menyerahkan diri.
Seno Gumira Ajidarma adalah pencerita sejarah yang menceritakan sejarah bangsa dari sudut pandang kaum tertindas dan novel Nagabumi I adalah apa yang akan kita sebut sebagai dongeng yang benar-benar hidup. Membacanya seperti halnya ketika kau bermimpi tanpa pernah menginginkan bangun.
“Begitulah, meskipun aku sendirian saja, sebenarnyalah aku tidak pernah merasa kesepian, karena segala sesuatunya dalam pandanganku bisa hadir sebagai suatu makna (halaman 16).

Resensi Novel Mati Bahagia

Judul : Mati Bahagia
Judul Asli : La mort heureuse
Penulis : Abert Camus
Penerjemah : Widya Mahardika Putra
Penerbit : OAK
Tahun Terbit : 2016
Tebal Buku : 238 halaman
ISBN :978-602-72536-4-3
Sinopsis
Pagi yang dingin di bulan April Patrice Mersault berjalan mantap menuju villa Zagreus hanya untuk menarik pelatuk sebuah revolver, menyaksikan isi kepala Zagreus berserakan, memastikan bahwa ia bahagia, dan pulang untuk tidur sampai sore dalam keadaan demam.
Dalam perjalanannya ke berbagai tempat, bertemu dengan beberapa perempuan, memiliki kekasih yang mungkin ia cintai; marthe dan seorang istri yang tidak ia cinta yaitu Lucienne, serta mengunjungi sahabat-sahabatnya di Aljazair menyadarkannya bahwa kebahagian hadir atas ketidakpeduliannya terhadap dunia.
Bagaimana mungkin tokoh dalam novel ini begitu liar namun tetap tenang dalam satu garis cerita yang jelas jika novel ini ditulis oleh Camus di usia dua puluhan awal? Membacanya seolah sang penulis ingin menyeret pembaca dalam situasi “mati bahagia” yang ideal, mati atas kehendak, dengan cara yang dikehendaki. Mungkin ini juga tidak terlepas dari fakta bahwa novel ini merupakan novel pertama namun pempublikasiaannya justru terealisasi ketika Camus telah meninggal.
“Aku ingin menikah, bunuh diri, atau berlangganan L’Illustratio. Aku putus asa, intinya” (halama 58).

Senin, 26 September 2016

Frasa

Pada kisah yg ranum
Kau datang tanpa peristiwa
Mendekat meski tak seluruh
Mengeratkan baris puisi di sela doa ringkas yg tabah
Mendekatkan baris doa di sela jari
Yg tak pernah paham ttg cara menyatukan

Kau tak teribaratkan
Kau adl frasa yg tak pernah merasa kehilangan
Bagaimana mungkin sesuatu datang tanpa mengenal pergi?

Lalu apa beda puisi dan doa jika keduanya tak pernah sampai kepadamu!