Aku
menemukannya, aku kembali menemukanmu. Kau tahu itu, kan? Sini aku beritahu,
kalau aku bertemu dengan seseorang yang di matanya juga kulihat matamu. Entah
ketika tanganku menggapai tangannya pertama kali waktu berkenalan, menatapku sambil
tersenyum lalu berlalu, berbicara sekali lalu berbalik, diam tapi peduli atau
mungkin ketika memerhatikannya lekat-lekat ─ di tengah suasana remang aku
melihatnya juga melihatmu. Melihat kalian.
Satu episode kembali berakhir malam
itu. Tak ketinggalan, realitas berganti sesaat setelah kudapati dirinya duduk
persis di sebelahku. Aku tahu apa yang terjadi, imajinasiku menjuarai
pertarungan itu. Intuisiku bekerja ─ benar yang dikatakan Carl Gustav Jung
bahwa mimpi adalah penyeimbang dalam kehidupan kita. Ketika yang kita inginkan
tak dapat dipenuhi oleh sesuatu yang bernama kenyataan, maka mimpi datang
bagaikan pahlawan menawarkan sesuatu yang mustahil dipersembahkan oleh
kenyataan yang seakan-akan linear itu.
Kau tahu apa yang terjadi
setelahnya? Perasaanku buncah, pikiranku kacau, dan entahlah. Persis di
sebelahku dia berbicara sangat tenang tapi tegas. Gesturnya sudah seperti
orator sungguhan kupikir. Ingin rasanya aku menggapai tangan itu, menggeggamnya
lama seperti kebiasaanku dulu. Kau ingat itu, kan?
Lama dia berbicara, lama pula aku
terdiam. Di tempat itu kami berkumpul seperti biasa, membicarakan apa saja yang
memungkinkan untuk dibahas kemudian diperdebatkan. Dan lihatlah, sudah bosan
mungkin kau mendengarnya tapi ingin kembali kuulangi bahwa dia persis di
sebelahku. Pandanganku lurus saja tapi secepat mungkin kuarahkan pandanganku
sembilan puluh derajat ke kiri ketika dia kembali angkat suara. Kau tahu bukan
apa yang kusukai ketika dia berbicara? Ya, gerakan tangannya. Iya, gerakan
tangan.
Hari itu libur, tak ada kuliah.
Langit mulai sendu merindukan malam dan dia tiba-tiba datang dengan kondisi
yang memprihatinkan. Kulihat beberapa kulit mulusnya di bagian lutut dan siku
sempurna tergerut aspal dengan darah yang mengental, belum kering. Beberapa
luka lebam dan langkah terseok-seok melengkapi kedramatisannya hari itu. Jelas
terbaca bahwa tersirat kata aduh di
setiap perubahan air mukanya. Kau bisa tebak bukan apa yang kulakukan saat itu?
Diam terpaku, menatap kosong, wajah pucat pasih, makanan tadi siang minta
dikeluarkan karena organ tubuh bagian dalam melakukan penolakan ke seluruh
anggota tubuh bagian luar, dan parahnya menutup mata lalu pergi sejauh mungkin.
Jika itu yang kau pikirkan, kau benar tapi tidak sepenuhnya benar.
Aku menatap kosong, wajah pucat
pasih, makanan tadi siang minta dikeluarkan karena organ tubuh bagian dalam
melakukan penolakan ke seluruh anggota tubuh bagian luar, hampir menutup mata
tapi tanganku justru sigap menyentuh pundak dan membopongnya. Entah sejak kapan
intuisiku setajam ini, mungkin kau lebih tahu.
Tidak. Aku tidak pergi begitu saja
setelahnya. Kupanaskan air sampai mendidih lalu kutunggu hangat, secepat
mungkin aku mencari kain perca atau pun sejenisnya tapi tidak kutemukan. Kau
tidak keberatan kan kalau aku menggunakan sapu tangan pemberianmu untuk
membersihkan lukanya? Aku yakin kau pasti tersenyum dengan ekspresi heran
khasmu. Tentu saja kau mengizinkan karena untuk pertama kalinya aku melakukan
hal yang seekstrem itu. Melawan rasa takut demi membantu orang lain. Jangan
salah, sekarang aku sudah lebih kuat.
Waktu itu, di ruangan itu bukan
hanya aku dan dirinya tapi aku yakin, hanya kau yang menyadari kekakuanku. Baru
kali ini aku menyaksikan simbolis dari sebuah penderitaan secara langsung dan
kasat mata. Tanganku gemetar melawan ketakutanku sendiri, takut membuatnya jauh
lebih sakit. Apakah kau menyadari kalau dia menyadari kekakuanku? Kupikir begitu.
Kubilang saja kalau aku kaget karena ternyata airnya masih cukup panas untuk
menyentuh kulit. Dan dia percaya. Sama sepertimu dia selalu percaya.
Dia mulai bercerita tentang
kecelakaan kecil yang menimpanya. Katanya “hanya perkara lubang sekecil itu,
ditambah sedikit keteledoran dan mungkin peluang takdir saat itu memang mendominasi
permainan”. Ah, jawaban macam apa lagi itu. Entah dari mana lagi dia
mengutipnya! Aku bergumam dalam hati sambil membersihkan lukanya. Mungkin kau
tidak akan percaya atau setidaknya tidak langsung percaya kalau aku merasakan
sedikit kesakitannya. Kemampuan super spiritual itu kudapatkan ketika aku
meminta Tuhan membagi sedikit rasa sakitmu kepadaku. Semacam penebus dosa,
mungkin. Hehehe.
Sama sepertiku, dia sangat suka bercerita.
Dia sangat sombong, kau tahu? Tak ingin mengalah sekali pun ─ tak pernah sekali
pun. Sedikit membuka mata hatiku kalau kalian tak sama, setidaknya kau selalu
berusaha mengalah, dan aku tidak mau mengalah meski kusadari kalau aku salah.
Dengan wajah tenangmu kau selalu membuatku merasa bersalah dengan kemenanganku,
sementara dia, selalu membuatku merasa bersalah atas semua kemenangan yang kudapatkan
ketika bersamamu dulu dengan wajah tenangnya. Itu sudah lama berlalu, bukan?
Jadi abaikan!
Sekarang, di tempat ini aku duduk
sendiri. Lebih tepatnya merasa sendiri. Dia tak ada di sini dan kehadiranmu pun
hanya sebatas rasa. Pergi tanpa pamit adalah kebiasaannya. Entah di sana kau
tertawa atas hati keras yang tak pemaaf ini atau mungkin kau tersenyum kecil
memahami kelemahan berpikir rasionalku. Tidak dengan keduanya, karena
seharusnya kau tersinggung. Aku baru saja menyinggung kebiasaan terburukmu yang
tak akan terlupakan sepanjang masa. Baru saja kutarik napas sedalam-dalamnya
dan secepatnya kuhembuskan bersama udara yang menguap agar hati ini bisa
memaafkan dan pikiran rasionalku dapat segera kufungsikan kembali.
Aduh kenapa jadi terbawa suasana
seperti ini! Hmm .. menarik mungkin kalau aku kembali bercerita saja.
Di suatu siang yang biasa-biasa saja,
setelah bercengkrama cukup lama, kami bernyanyi dengan suara sumbang dan
seadanya. Tidak, tidak ada petikan gitar karena di tempat itu tak satu pun yang
memiliki dan bisa memainkannya, tak terkecuali dia. Untuk pertama kalinya aku
tak menemukan pertautan kalian di dalam rantai kejadian itu. Jelas kau ada tapi
tidak di mata, gerakan tangan, wajah tenang atau pun ucapan-ucapannya. Dia
berdiri sendiri dalam terang, tak ada bayangan apa pun yang mengelilinginya.
Pun dengan hikayat kehidupannya lagi. Semuanya hilang begitu saja. Menguap,
melebur, mengkristal, terpontang-panting terbawa arus deras ke sebuah hulu yang
bernama peraasaan dan selanjutnya mengendap di lautan realitas. Kejadian
sederhana itu terproses cepat di otak kananku dengan saraf neuron motorik yang
bekerja sempurna dan dengan lirih aku berbisik “kau kekasihku dan dia . . .” Aku
terhenyak, belum sempat kata itu kutuntaskan sekelebat bayangan serupa
ambiguitas berlalu, membuat kosa kataku berkurang setengahnya ─ belum menemukan
kata yang pas.
Oh iya. Pernah loh aku menceritakan
kisah kita kepadanya. Beruntung, bukan? Kutahu kau akan tertawa sampai napasmu
sesak mendengar ini tapi memang benar dia beruntung, bisa mendengar sebuah
kisah super romantis yang tak klise dari narasumbernya langsung. Kepada
presiden pun tak akan kuceritakan meski ia memintaku bercerita secara eksklusif
dan disiarkan secara live di seluruh
stasiun televisi nasional. Hahaha .. narsis ya?
Kau masih ingat tentang Linkin Park? Band favoritmu yang tak
pernah dan tak ingin kuketahui alirannya. Dan tak lupa band Rock and Roll yang foto-fotonya sering
kujumpai di wall facebookmu yang
sejujurnya lebih mirip setan daripada penyanyi, serta kostum yang lebih pantas
dipakai saat perayaan hellowind ketimbang
di sebuah konser tunggal. Setiap bertemu kau selalu menggebu-gebu menceritakan
tentang kunci gitar hasil eksperimen yang bisa membuatmu seharian mengurung
diri di dalam kamar. Sinar matamu berbinar sementara aku lesuh di sampingmu tak
menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Mungkin kau heran kenapa aku mengungkit
hal yang tidak menyenangkan ini tapi aku ingin kau mendengarkan baik-baik yang
satu ini.
Sejak hari di mana aku tak pernah
berhasil menunjukkan keantusiasanku terhadap selera bermusikmu, sejak aku tak
pernah bisa memberikanmu apa-apa, dan sejak toleransi atas kepergianmu yang
selalu tanpa pamit itu mengisi ruang baru yang seharusnya tak pernah ada. Sejak
itu pula aku kehabisan nyawa untuk mempertahankan hubungan kita. Benar aku
pergi, pergi jauh, sangat jauh. Dan di tempat yang jauh itu aku merindukamu,
merindukanmu lagi, sangat merindukanmu. Kusadari satu hal, mungkin tidak akan
bersalah jika aku berusaha mencintai apa yang kau cintai. Dan ketika aku
berusaha membangun keantusiasanku, kau balas dendam. Kau juga pergi, pergi
jauh, sangat jauh. Apakah kau merindukanku di tempat yang jauh itu?
Kemudian ketika dia datang, ketika
aku melihatnya juga melihatmu, kebodohanku berkamuflase dalam sebuah
keantusiasan. Aku berusaha sekuat mungkin mencintai apa yang ia cintai,
antusias atas apa pun yang ia katakan, menatap matanya ketika ia menjadi lawan
bicaraku, menjadi orang lain dan memberikannya sebuah hadiah kecil di hari
ulang tahunnya. Itu ntuknya sekaligus untukmu. Entah penebus dosa atau pun
keegoisan.
Hari ini dia tak di sini ketika aku
menuliskan cerita ini, tapi kau ada di sini. Dia sahabatku dan kau . . .
Sudahlah,
sudah terlalu banyak aku bercerita padahal jelas kau lebih banyak tahu daripada
aku. Bukankah semuanya terlihat sangat jelas dari atas sana?