Sabtu, 30 November 2013

Cailah . . .


Sang
(Oleh: Kartini Ridwan)

Aku . . .
Di hadapanmu mematung
Di sampingmu tersenyum
dan di belakangmu sumringah
Ada yang berhenti, Sang cinta!
Ada sesuatu yang bernama beban
Perasaan itu sedang terseret memenuhi ruang hampa rasa
Kalahkan semua-muanya, sekuat-kuatnya
Menangkan perasaanmu
atas wadah kosong yang selalu melompong
Tuntun diammu wahai Sang pemilik
Arahkanlah . . .
Tuntun ...
Serahkan !

Makassar, 26 Oktober 2013
Diam bukan jawabannya, kan?

Rabu, 06 November 2013

Kau Tahu Itu, kan?


Aku menemukannya, aku kembali menemukanmu. Kau tahu itu, kan? Sini aku beritahu, kalau aku bertemu dengan seseorang yang di matanya juga kulihat matamu. Entah ketika tanganku menggapai tangannya pertama kali waktu berkenalan, menatapku sambil tersenyum lalu berlalu, berbicara sekali lalu berbalik, diam tapi peduli atau mungkin ketika memerhatikannya lekat-lekat ─ di tengah suasana remang aku melihatnya juga melihatmu. Melihat kalian.
            Satu episode kembali berakhir malam itu. Tak ketinggalan, realitas berganti sesaat setelah kudapati dirinya duduk persis di sebelahku. Aku tahu apa yang terjadi, imajinasiku menjuarai pertarungan itu. Intuisiku bekerja ─ benar yang dikatakan Carl Gustav Jung bahwa mimpi adalah penyeimbang dalam kehidupan kita. Ketika yang kita inginkan tak dapat dipenuhi oleh sesuatu yang bernama kenyataan, maka mimpi datang bagaikan pahlawan menawarkan sesuatu yang mustahil dipersembahkan oleh kenyataan yang seakan-akan linear itu.
            Kau tahu apa yang terjadi setelahnya? Perasaanku buncah, pikiranku kacau, dan entahlah. Persis di sebelahku dia berbicara sangat tenang tapi tegas. Gesturnya sudah seperti orator sungguhan kupikir. Ingin rasanya aku menggapai tangan itu, menggeggamnya lama seperti kebiasaanku dulu. Kau ingat itu, kan?
            Lama dia berbicara, lama pula aku terdiam. Di tempat itu kami berkumpul seperti biasa, membicarakan apa saja yang memungkinkan untuk dibahas kemudian diperdebatkan. Dan lihatlah, sudah bosan mungkin kau mendengarnya tapi ingin kembali kuulangi bahwa dia persis di sebelahku. Pandanganku lurus saja tapi secepat mungkin kuarahkan pandanganku sembilan puluh derajat ke kiri ketika dia kembali angkat suara. Kau tahu bukan apa yang kusukai ketika dia berbicara? Ya, gerakan tangannya. Iya, gerakan tangan.
            Hari itu libur, tak ada kuliah. Langit mulai sendu merindukan malam dan dia tiba-tiba datang dengan kondisi yang memprihatinkan. Kulihat beberapa kulit mulusnya di bagian lutut dan siku sempurna tergerut aspal dengan darah yang mengental, belum kering. Beberapa luka lebam dan langkah terseok-seok melengkapi kedramatisannya hari itu. Jelas terbaca bahwa tersirat kata aduh di setiap perubahan air mukanya. Kau bisa tebak bukan apa yang kulakukan saat itu? Diam terpaku, menatap kosong, wajah pucat pasih, makanan tadi siang minta dikeluarkan karena organ tubuh bagian dalam melakukan penolakan ke seluruh anggota tubuh bagian luar, dan parahnya menutup mata lalu pergi sejauh mungkin. Jika itu yang kau pikirkan, kau benar tapi tidak sepenuhnya benar.
            Aku menatap kosong, wajah pucat pasih, makanan tadi siang minta dikeluarkan karena organ tubuh bagian dalam melakukan penolakan ke seluruh anggota tubuh bagian luar, hampir menutup mata tapi tanganku justru sigap menyentuh pundak dan membopongnya. Entah sejak kapan intuisiku setajam ini, mungkin kau lebih tahu.
            Tidak. Aku tidak pergi begitu saja setelahnya. Kupanaskan air sampai mendidih lalu kutunggu hangat, secepat mungkin aku mencari kain perca atau pun sejenisnya tapi tidak kutemukan. Kau tidak keberatan kan kalau aku menggunakan sapu tangan pemberianmu untuk membersihkan lukanya? Aku yakin kau pasti tersenyum dengan ekspresi heran khasmu. Tentu saja kau mengizinkan karena untuk pertama kalinya aku melakukan hal yang seekstrem itu. Melawan rasa takut demi membantu orang lain. Jangan salah, sekarang aku sudah lebih kuat.
            Waktu itu, di ruangan itu bukan hanya aku dan dirinya tapi aku yakin, hanya kau yang menyadari kekakuanku. Baru kali ini aku menyaksikan simbolis dari sebuah penderitaan secara langsung dan kasat mata. Tanganku gemetar melawan ketakutanku sendiri, takut membuatnya jauh lebih sakit. Apakah kau menyadari kalau dia menyadari kekakuanku? Kupikir begitu. Kubilang saja kalau aku kaget karena ternyata airnya masih cukup panas untuk menyentuh kulit. Dan dia percaya. Sama sepertimu dia selalu percaya.
            Dia mulai bercerita tentang kecelakaan kecil yang menimpanya. Katanya “hanya perkara lubang sekecil itu, ditambah sedikit keteledoran dan mungkin peluang takdir saat itu memang mendominasi permainan”. Ah, jawaban macam apa lagi itu. Entah dari mana lagi dia mengutipnya! Aku bergumam dalam hati sambil membersihkan lukanya. Mungkin kau tidak akan percaya atau setidaknya tidak langsung percaya kalau aku merasakan sedikit kesakitannya. Kemampuan super spiritual itu kudapatkan ketika aku meminta Tuhan membagi sedikit rasa sakitmu kepadaku. Semacam penebus dosa, mungkin. Hehehe.
            Sama sepertiku, dia sangat suka bercerita. Dia sangat sombong, kau tahu? Tak ingin mengalah sekali pun ─ tak pernah sekali pun. Sedikit membuka mata hatiku kalau kalian tak sama, setidaknya kau selalu berusaha mengalah, dan aku tidak mau mengalah meski kusadari kalau aku salah. Dengan wajah tenangmu kau selalu membuatku merasa bersalah dengan kemenanganku, sementara dia, selalu membuatku merasa bersalah atas semua kemenangan yang kudapatkan ketika bersamamu dulu dengan wajah tenangnya. Itu sudah lama berlalu, bukan? Jadi abaikan!
            Sekarang, di tempat ini aku duduk sendiri. Lebih tepatnya merasa sendiri. Dia tak ada di sini dan kehadiranmu pun hanya sebatas rasa. Pergi tanpa pamit adalah kebiasaannya. Entah di sana kau tertawa atas hati keras yang tak pemaaf ini atau mungkin kau tersenyum kecil memahami kelemahan berpikir rasionalku. Tidak dengan keduanya, karena seharusnya kau tersinggung. Aku baru saja menyinggung kebiasaan terburukmu yang tak akan terlupakan sepanjang masa. Baru saja kutarik napas sedalam-dalamnya dan secepatnya kuhembuskan bersama udara yang menguap agar hati ini bisa memaafkan dan pikiran rasionalku dapat segera kufungsikan kembali.
            Aduh kenapa jadi terbawa suasana seperti ini! Hmm .. menarik mungkin kalau aku kembali bercerita saja.
            Di suatu siang yang biasa-biasa saja, setelah bercengkrama cukup lama, kami bernyanyi dengan suara sumbang dan seadanya. Tidak, tidak ada petikan gitar karena di tempat itu tak satu pun yang memiliki dan bisa memainkannya, tak terkecuali dia. Untuk pertama kalinya aku tak menemukan pertautan kalian di dalam rantai kejadian itu. Jelas kau ada tapi tidak di mata, gerakan tangan, wajah tenang atau pun ucapan-ucapannya. Dia berdiri sendiri dalam terang, tak ada bayangan apa pun yang mengelilinginya. Pun dengan hikayat kehidupannya lagi. Semuanya hilang begitu saja. Menguap, melebur, mengkristal, terpontang-panting terbawa arus deras ke sebuah hulu yang bernama peraasaan dan selanjutnya mengendap di lautan realitas. Kejadian sederhana itu terproses cepat di otak kananku dengan saraf neuron motorik yang bekerja sempurna dan dengan lirih aku berbisik “kau kekasihku dan dia . . .” Aku terhenyak, belum sempat kata itu kutuntaskan sekelebat bayangan serupa ambiguitas berlalu, membuat kosa kataku berkurang setengahnya ─ belum menemukan kata yang pas.
            Oh iya. Pernah loh aku menceritakan kisah kita kepadanya. Beruntung, bukan? Kutahu kau akan tertawa sampai napasmu sesak mendengar ini tapi memang benar dia beruntung, bisa mendengar sebuah kisah super romantis yang tak klise dari narasumbernya langsung. Kepada presiden pun tak akan kuceritakan meski ia memintaku bercerita secara eksklusif dan disiarkan secara live di seluruh stasiun televisi nasional. Hahaha .. narsis ya?
            Kau masih ingat tentang Linkin Park? Band favoritmu yang tak pernah dan tak ingin kuketahui alirannya. Dan tak lupa band Rock and Roll yang foto-fotonya sering kujumpai di wall facebookmu yang sejujurnya lebih mirip setan daripada penyanyi, serta kostum yang lebih pantas dipakai saat perayaan hellowind ketimbang di sebuah konser tunggal. Setiap bertemu kau selalu menggebu-gebu menceritakan tentang kunci gitar hasil eksperimen yang bisa membuatmu seharian mengurung diri di dalam kamar. Sinar matamu berbinar sementara aku lesuh di sampingmu tak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Mungkin kau heran kenapa aku mengungkit hal yang tidak menyenangkan ini tapi aku ingin kau mendengarkan baik-baik yang satu ini.
            Sejak hari di mana aku tak pernah berhasil menunjukkan keantusiasanku terhadap selera bermusikmu, sejak aku tak pernah bisa memberikanmu apa-apa, dan sejak toleransi atas kepergianmu yang selalu tanpa pamit itu mengisi ruang baru yang seharusnya tak pernah ada. Sejak itu pula aku kehabisan nyawa untuk mempertahankan hubungan kita. Benar aku pergi, pergi jauh, sangat jauh. Dan di tempat yang jauh itu aku merindukamu, merindukanmu lagi, sangat merindukanmu. Kusadari satu hal, mungkin tidak akan bersalah jika aku berusaha mencintai apa yang kau cintai. Dan ketika aku berusaha membangun keantusiasanku, kau balas dendam. Kau juga pergi, pergi jauh, sangat jauh. Apakah kau merindukanku di tempat yang jauh itu?
            Kemudian ketika dia datang, ketika aku melihatnya juga melihatmu, kebodohanku berkamuflase dalam sebuah keantusiasan. Aku berusaha sekuat mungkin mencintai apa yang ia cintai, antusias atas apa pun yang ia katakan, menatap matanya ketika ia menjadi lawan bicaraku, menjadi orang lain dan memberikannya sebuah hadiah kecil di hari ulang tahunnya. Itu ntuknya sekaligus untukmu. Entah penebus dosa atau pun keegoisan.
            Hari ini dia tak di sini ketika aku menuliskan cerita ini, tapi kau ada di sini. Dia sahabatku dan kau . . .
Sudahlah, sudah terlalu banyak aku bercerita padahal jelas kau lebih banyak tahu daripada aku. Bukankah semuanya terlihat sangat jelas dari atas sana?